Liputan6.com, Jakarta - Pengungsi dan pencari suaka internasional yang sempat berkemah di Kebon Sirih pada awal Juli 2019 telah direlokasi ke sebuah fasilitas yang disediakan Pemprov DKI di Kalideres, Jakarta Barat.
Relokasi, yang rampung dilaksanakan pada 11 Juli 2019, merupakan usulan dari Kantor Perwakilan Badan PBB urusan Pengungsi (UNHCR), berkoordinasi dengan pemerintah pusat dan daerah.
Advertisement
Baca Juga
Namun, relokasi itu menuai respons negatif dari masyarakat setempat.
Warga Perumahan Daan Mogot Baru, Kalideres misalnya, menolak bekas gedung Kodim di sana dijadikan penampungan sementara para pencari suaka internasional.
Di sisi lain, para pengungsi dan pencari suaka tak punya pilihan. Mereka terpaksa tinggal di fasilitas relokasi itu, selagi menunggu diterimanya permohonan untuk mencari suaka ke negara ketiga (resettlement countries).
Kepala Perwakilan UNHCR di Jakarta memaklumi reaksi masyarakat lokal, selagi menggarisbawahi bahwa keseluruhan respons pemerintah dan masyarakat Indonesia kepada para pengungsi telah "sangat murah hati."
"Sudah ada tradisi humanis selama bertahun-tahun di Indonesia untuk membantu mereka yang membutuhkan ... termasuk para pengungsi ini," ujar Thomas Vargas di Jakarta, Rabu (17/7/2019).
Vargas menyebut aksi Pemprov DKI Jakarta sebagai contoh tradisi humanis tersebut.
"Mereka telah menjadi sangat terlibat dalam membantu para pencari suaka yang paling membutuhkan," lanjut Vargas, yang mereferensi kesediaan Pemprov DKI dalam upaya pemenuhan hak-hak mendasar bagi pengungsi, seperti fasilitas penampungan sementara dan akses pada layanan kesehatan.
Sementara itu, dalam kesempatan terpisah, pejabat kementerian RI menekankan bahwa Indonesia senantiasa berupaya untuk terus menolong UNHCR dalam menolong para pengungsi dan pencari suaka internasional yang transit di Tanah Air. Faktor kemanusiaan menjadi alasan.
"Prinsip pemerintah adalah mengedepankan rasa kemanusiaan. Kita tidak melihat dari mana mereka berasal, gender, negara mana, pihak mana. Tapi kita melihat mereka semua merupakan manusia yang harus kita tolong," kata Direktur HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri RI, Achsanul Habib kepada Liputan6.com, Rabu 10 Juli 2019.
Saksikan video pilihan di bawah ini:Â
Sekilas Situasi Pengungsi Internasional di Indonesia
Menurut data UNHCR awal 2019, setidaknya 13.900 pengungsi internasional tengah berada di Indonesia, di mana mereka transit sementara.
Mereka berasal dari berbagai belahan dunia, seperti Afghanistan, Sudan, Suriah, Somalia, Ethiopia, Sri Lanka, Myanmar, dan lain-lain.
Semua meninggalkan tanah kelahiran masing-masing, demi menyelamatkan diri dari perang, konflik bersenjata dan persekusi menahun.
Para pengungsi itu, yang terdaftar secara resmi di UNHCR, mengajukan permohonan suaka ke negara ketiga (resettlement countries), seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, Selandia Baru dan beberapa negara Eropa.
Namun, kebijakan negara resettlement yang mulai membatasi kuota serta memperketat syarat suaka, telah menimbulkan polemik global. Pada akhirnya, para pengungsi itu tertahan hingga bertahun-tahun di negara-negara transit, seperti: Turki, Yordania, Indonesia, Malaysia, Thailand, dan beberapa lainnya.
Australia misalnya, dilaporkan menurunkan kuota penerimaan pencari suaka dari Indonesia menjadi sekitar 85 orang pada rentang tahun 2017-2018. Pada 2010, angka penerimaan itu sempat mencapai sekitar 400 orang -- Al Jazeera melaporkan, mengutip data dari dewan pengungsi Australia yang dirilis untuk publik berdasarkan mandat Freedom of Information.
Indonesia bukan negara resettlement berdasarkan mandat Konvensi dan Protokol PBB Mengenai Status Pengungsi. Namun, sejak 1970-an, Tanah Air telah menjadi negara transit bagi pengungsi serta pencari suaka internasional. Kala itu, Indonesia membuka pintu bagi arus pengungsi dari Indo-China yang terdampak Perang Vietnam.
Pemerintah Indonesia terus mempertahankan tradisinya untuk menghargai prinsip kemanusian dan non-refoulement perihal pengungsi. Hal itu kemudian dipertegas dengan mengesahkan Peraturan Presiden No. 125 tahun 2016 tentang penanganan pengungsi internasional.
Berdasarkan data UNHCR, ada sekitar 25,9 juta pengungsi global pada tahun 2018. Setiap harinya, 37.000 orang di penjuru dunia terpaksa mengungsi akibat krisis atau konflik di negara masing-masing.
Advertisement
Memecah Implikasi Sosial
Vargas juga memahami bahwa ada sejumlah implikasi isu sosial yang terjadi di Indonesia selagi berperan sebagai negara transit bagi para pengungsi dan pencari suaka internasional tersebut.
Pihaknya, selaku lembaga vital pada penanganan pengungsi internasional, terus berkoordinasi erat dengan pemerintah Indonesia dan daerah untuk memecah implikasi sosial tersebut.
"Kita bekerja sama dengan pemerintah provinsi dan pihak-pihak lain untuk membantu sebanyak yang kami bisa," katanya.
Fokus utama, kata Vargas, adalah bagaimana pemenuhan kebutuhan yang paling mendesak kepada kelompok pengungsi yang paling rentan dapat segera terpenuhi.
"Kita semua bahu-membahu membantu semampu kita untuk memenuhi kebutuhan mendesak dari para pencari suaka yang paling rentan di Indonesia," jelasnya.
Vargas juga menggarisbawahi bahwa UNHCR turut berupaya memberikan para pengungsi kemampuan untuk berdikari selama transit di Indonesia.
"Kita juga bekerja sama dengan pemerintah guna mencari cara agar pencari suaka bisa diberikan kemampuan agar mereka bisa mengurus diri mereka sendiri. Agar para pencari suaka memiliki ‘alat’ atau cara untuk mengurus diri mereka sendiri sehingga mereka tidak perlu bergantung pada sedekah dari orang lain," jelasnya.