Liputan6.com, Jakarta - Dulu, 66 juta tahun lalu, asteroid raksasa menghantam Bumi. Memicu kepunahan dinosaurus, yang telah bertahan hidup selama 180 juta tahun.
Asteroid adalah batu angkasa yang mengorbit Matahari. Ukuran diameternya bisa mencapai ratusan meter.
Sejumlah astronom memprediksi, ada lebih dari 20 asteroid yang mendekati Bumi pada 2019. Sebagian hanya melintas, sejumlah kecil lainnya diperkirakan menghantam planet ini.
Advertisement
Salah satunya adalah asteroid 2006 QV89. Asteroid ini awalnya diprediksi menghantam Bumi pada 9 September 2019. Namun, temuan terbaru para astronom mengungkap, batu angkasa itu hanya numpang lewat. Tak sedang menuju planet manusia.
Asteroid yang ditemukan pada 29 Agustus 2006 oleh Catalina Sky Survey dekat Tucson, Arizona ini berdiameter 40 meter. Ukurannya jauh lebih kecil dari asteroid yang membunuh dinosaurus pada 66 juta tahun silam yang memiliki ukuran diameter 10 kilometer.
European Southern Observatory (ESO) menyatakan, setelah penemuannya pada 2006, asteroid ini sempat teramati selama 10 hari sebelum akhirnya menghilang dari pandangan para astronom. Berdasarkan pengamatan kembali pada 4-5 Juli, para astronom tidak dapat menemukan asteroid tersebut.
Namun, pengamatan terakhir yang dilakukan pada 11 Agustus 2019 menggunakan Canada-France-Hawaii Telescope (CFHT), para astronom melihat penampakan 2006 QV89 di salah satu area (angkasa luar), yang menjadi lokasi paling sering dijumpai adanya banyak asteroid.
"Target prioritas tertinggi kami adalah 2006 QV89. Meskipun ada sedikit awan tipis dan banyak cahaya Bulan, kami hanya membutuhkan empat menit untuk mendapatkan bukti bahwa kami sudah menemukan objek yang tepat," kata David Tholen, seorang astronom yang memimpin upaya untuk menemukan 2006 QV89.
Setelah pengumuman itu disampaikan kepada komunitas astronom di seluruh dunia, tim di JPL NASA dan University of Pisa mulai menggambarkan lintasan terbaru asteroid 2006 QV89 dan memeriksa apakah batu ini masih menimbulkan bahaya untuk Bumi.
Hasilnya, asteroid 2006 QV89 dinyatakan tidak akan bertabrakan dengan Bumi dalam waktu dekat bahkan dalam abad selanjutnya.
Meski begitu, hantaman asteroid masih mengancam Bumi. Paling dekat adalah asteroid berukuran gedung Empire State setinggi 1.454 kaki atau lebih dari 318 meter yang akan berpapasan dengan Bumi pada Jumat 6 September sekitar pukul 12.21 waktu Eropa.
Center for Near Earth Object Studies (CNEOS) menyebut, asteroid ini diidentifikasi sebagai 2019 GT3. Menurut CNEOS, kini asteroid 2019 GT3 melaju dengan kecepatan 30.500 mil per jam. Asteroid ini diperkirakan punya diameter 1.241 kaki dan membuatnya lebih tinggi dari menara Eiffel di Paris, Prancis.
Melihat dari besarnya, asteroid 2019 GT3 ini bisa membuat kawah seluas tiga mil jika bertabrakan dengan Bumi. Karena persilangan 2019 GT3 dengan orbit Bumi, CNEOS mengklasifikasikan asteroid ini sebagai benda yang berpotensi bahaya terhadap Bumi.
"Asteroid yang berpotensi membawa bahaya pada Bumi kini didefinisikan berdasarkan parameter bahwa asteroid tersebut bisa mengancam karena jaraknya yang dekat dengan Bumi," kata CNEOS dalam pernyataannya.
Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Jamaluddin menilai, ada kalanya asteroid berbahaya bagi Bumi. Tapi hal itu tergantung dengan klasifikasi batu angkasa tersebut.
"Asteroid memang membahayakan kalau bertabrakan dengan Bumi. Tetapi sampai saat ini belum ada yang diidentifikasi membahayakan Bumi," tutur pria lulusan S3 Astronomi Kyoto University itu saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (5/9/2019).
Menurutnya, asteroid ukuran belasan meter sulit terdeteksi, tetapi bila bertabrakan dengan Bumi dampaknya cukup membahayakan.
"Misalnya, pada 2008 asteroid berukuran 10 meter jatuh di perairan Bone (Sulawesi), yang menimbulkan getaran di rumah-rumah penduduk. Pada 2017 asteroid berukuran 17 meter menimbulkan kerusakan bangunan di Siberia akibat gelombang kejutnya," papar pria kelahiran Purwokerto 57 tahun lalu ini.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Upaya Melindungi Bumi
Karena dampak asteroid cukup berbahaya bila bertumbukan dengan Bumi, para peneliti astronomi merancang sejumlah upaya perlindungan. Salah satunya dengan membelokkan orbit asteroid.
"Upaya yang sedang dipikirkan adalah dengan membelokkan orbit asteroid. NASA dan ESA akan melakukan uji coba untuk persiapan kalau ada asteroid yang berpotensi mengancam Bumi," ungkap Thomas.
Mengutip laman resmi ESA (European Space Agency), Badan Antariksa Eropa itu dikabarkan akan bekerja sama dengan NASA. Keduanya akan menghelat pertemuan di Roma, Italia, untuk menjalankan misi bersama mengalihkan asteroid yang diperkirakan akan menabrak Bumi pada 2027.
Salah satu cara yang dilakukan untuk membelokkan asteroid berukuran jumbo itu dengan menabrakan pesawat antariksa ke permukaan asteroid.
Kedua badan antariksa dunia itu akan mempersiapkan dua unit pesawat ruang angkasa. Salah satunya akan ditabrakkan ke permukaan asteroid, sementara yang lainnya melakukan pengumpulan data terkait dampak tumbukan tersebut.
Misi gabungan untuk membelokkan asteroid melalui tumbukan satu pesawat ruang angkasa dengan analisa dan armada lainnya, dikenal sebagai Asteroid Impact Deflection Assessment (AIDA) atau Penilaian Defleksi Dampak Asteroid.
Pesawat ruang angkasa kedua yang dikerahkan akan mensurvei lokasi kecelakaan dan mengumpulkan data semaksimal mungkin tentang dampak tabrakan ini.
Lokakarya AIDA Internasional selama tiga hari itu akan berlangsung pada 11-13 September, di lingkungan bersejarah 'Aula Ottagona' di Roma, bagian dari Baths of Emperor Diocletian yang kemudian berfungsi sebagai planetarium pada beberapa tahun terakhir.
Pesertanya akan berbagi kemajuan saat ini dari dua pesawat ruang angkasa yang dipakai AIDA -- ditambah pesawat ruang angkasa nano yang lebih kecil yang akan mereka bawa di atasnya -- serta hasil terbaru dari kampanye astronomi global yang dilakukan untuk mempelajari lebih lanjut tentang Asteroid Didymos.
Sementara kontribusi NASA untuk AIDA, Uji Dampak Asteroid Ganda, atau pesawat ruang angkasa DART, sudah dalam tahap konstruksi untuk diluncurkan pada musim panas 2021, untuk ditabrakkan dengan targetnya pada kecepatan 6,6 km / detik pada September 2022.
Miniatur buatan Italia CubeSat bernama LICIACube (Light Italian CubeSat untuk Imaging of Asteroids) akan terbang bersama dengan DART untuk merekam momen tumbukan.
Kemudian tugas ESA menjalankan sebuah misi bernama Hera, untuk survei close-up asteroid pasca-tumbukan, memperoleh pengukuran seperti massa asteroid dan bentuk kawah terperinci. Hera juga akan menggunakan sepasang CubeSats untuk survei asteroid close-up dan penyelidikan kendaraan ruang angkasa radar pertama dari asteroid.
Hasil yang didapat oleh Hera akan memungkinkan para peneliti untuk memodelkan efisiensi tabrakan dengan lebih baik, untuk mengubah percobaan skala besar ini menjadi teknik yang dapat diulang sesuai kebutuhan jika terjadi ancaman nyata.
Advertisement
Sepasangan Asteroid Dekati Bumi pada 14 September
NASA tengah mengamati sepasang asteroid yang akan mendekati Bumi dalam periode 24 jam pada 14 September 2019.
Asteroid itu bernama 2000 QW7 dan 2010 CO1 yang diklasifikasikan sebagai Objek Dekat-Bumi (near earth object atau NEO) oleh Pusat Studi Objek Dekat Bumi NASA (CNEOS).
Asteroid 2000 QW7 akan menjadi yang pertama melewati Bumi pada 14 September. Asteroid ini pertama kali terdeteksi pada 26 Agustus 2000 dan diperkirakan memiliki lebar 650 meter dan tinggi 290 meter yang tidak jauh dari ketinggian Menara Shanghai.
Sementara di jalurnya di sekitar Bumi dan Matahari, kemunculan terdekatnya adalah 0,035428 unit astronomi (AU). Seperti dikutip dari Mashable, asteroid itu diperkirakan kembali di sekitar Bumi pada 19 Oktober 2038 dan melewati Bumi setiap 6.956 hari atau 19,04 tahun.
Asteroid ini diklasifikasikan NASA sebagai asteroid Armor karena merupakan Asteroid Dekat Bumi dengan perihelion orbital yang hampir sama tetapi sedikit lebih besar dari aphelion orbital Bumi. Asteroid ini akan berpapasan dengan jalur orbit Mars di sekitar Matahari.
2000 QW7 akan meluncur dengan kecepatan 14.361 mil per jam. Jarak terdekatnya dengan Bumi saat melintas adalah 3.312.944 mil pada 14 September 2019.
Meski ukurannya besar dan melintas di dekat Bumi, astronom percaya asteroid ini tidak berpotensi bahaya. Demikian menurut Pusat Studi Benda-Benda di Dekat Bumi NASA yang telah berhasil melacak keberadaan asteroid ini.
Sedangkan 2010 CO1 akan menjadi asteroid kedua yang terbang melintasi Bumi pada 14 September. Asteroid ini terdeteksi para astronom pada 31 Januari 2010.
Lebarnya 260 meter dengan panjang 120 meter dan melintas dengan kecepatan sekitar 51.696 km/jam.
Asteroid ini telah diklasifikasikan NASA sebagai Asteroid Apollo, karena merupakan Asteroid Dekat-Bumi dengan orbit yang sangat lebar dengan jarak perihelion kurang dari 1,017 AU, dan sumbu semi-mayor lebih besar dari 1 AU.
Meningkat Sejak Zaman Dinosaurus
Selama 290 juta tahun terakhir, jumlah asteroid yang menabrak Bumi dan Bulan disebut telah meningkat sebanyak tiga kali, menurut sebuah studi baru yang diterbitkan di jurnal Science pada Kamis 17 Januari 2019.
Meski terdengar seperti skala waktu yang panjang, itu adalah peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan 700 juta tahun sebelumnya. Temuan baru itu, menurut penulis jurnal, mengubah cara ilmuwan dalam meninjau kembali sejarah Bumi.
Selama beberapa dekade, para ilmuwan telah mencoba untuk menentukan tingkat dampak asteroid terhadap Bumi. Mereka mempelajari kawah tumbukan di Bumi dan usia bebatuan di sekitar mereka. Tetapi penelitian itu punya masalah terbesar: kawah hasil asteroid jatuh yang paling awal telah hilang.
Sebelum studi itu ada, para ilmuwan percaya bahwa mereka tidak dapat menemukan kawah tumbukan tertua di Bumi karena erosi atau proses geologis lain yang menghapusnya dari permukaan. Dan dibandingkan dengan planet lain di tata surya, Bumi memiliki lebih sedikit kawah tumbukan yang lebih tua dari yang diperkirakan.
Jadi mereka memutuskan untuk mempelajari Bulan sebagai gantinya, analogi yang sempurna untuk Bumi, karena keduanya terkena dampak yang sama dari waktu ke waktu. Kawah juga lebih terawetkan di Bulan karena tidak mengalami proses gangguan yang sama seperti Bumi.
"Satu-satunya kendala untuk melakukan ini adalah menemukan cara yang akurat untuk melakukan penanggalan kawah besar di Bulan," William Bottke, rekan penulis studi dan pakar asteroid di Southwest Research Institute.
Lunar Reconnaissance Orbiter NASA, yang memulai misinya mengelilingi Bulan satu dekade lalu, mengumpulkan data dan gambar termal yang dapat digunakan oleh para peneliti.
Data termal menunjukkan berapa banyak panas yang terpancar dari permukaan Bulan. Batuan yang lebih besar mengeluarkan lebih banyak panas daripada regolith, atau tanah halus di permukaan.
Rebecca Ghent, rekan penulis studi dan ilmuwan planet di University of Toronto, menentukan tingkat di mana batu terurai menjadi tanah. Dia juga menemukan bahwa kawah yang lebih tua ditutupi oleh lebih sedikit batu dan kerikil daripada kawah yang lebih muda.
Itu karena, meteorit kecil yang mengenai Bulan membantu untuk menghancurkan bebatuan dari waktu ke waktu.
Apa yang mereka temukan adalah bahwa kawah hasil tabrakan asteroid paling awal di Bumi bukannya hilang, tapi memang tidak ada. Dan mereka juga tidak ada di Bulan.
"Bumi memiliki lebih sedikit kawah berusia tua di daerah yang paling stabil bukan karena erosi, tetapi karena tingkat dampak tabrakannya lebih rendah sebelum 290 juta tahun yang lalu," kata Bottke.
"Bulan seperti kapsul waktu, membantu kita memahami Bumi. Kami menemukan bahwa Bulan memiliki sejarah tabrakan asteroid yang sama, yang berarti jawaban untuk tingkat dampaknya di Bumi ada di depan wajah kita sendiri," tambahnya.
Advertisement