Asteroid Sebesar Big Ben Melewati Bumi pada Malam Ini, Berbahaya?

Asteroid sepanjang 85,3 meter dikabarkan akan meluncur melewati Bumi pada malam ini. Seperti apa penjelasan astronom?

oleh Afra Augesti diperbarui 19 Feb 2019, 20:10 WIB
Diterbitkan 19 Feb 2019, 20:10 WIB
Asteroid ʻOumuamua
Kesan seorang seniman yang dirilis oleh European Space Agency menunjukkan objek antar bintang pertama yang ditemukan di Tata Surya, 'Oumuamua. (Sumber: AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah asteroid raksasa, yang diyakini berdiameter 85,3 meter dan setara dengan Menara Big Ben di London, dilaporkan akan terbang melewati Bumi pada malam ini dengan kecepatan 30.422 mil per jam.

Asteroid tersebut, yang dijuluki MD8 2013, diperkirakan meluncur melintasi planet ini dengan jarak hanya lebih dari 3 juta mil jauhnya, atau sekitar 13 kali jarak antara Bumi dan Bulan, pada pukul 12.55 (ET) pada Selasa siang atau 00.55 (WIB) Rabu dini hari.

Batu angkasa luar tersebut diperkirakan akan membuat 'pendekatan' ke Bumi, tetapi lintasannya disebut 'aman', demikian menurut Kepala Bidang Diseminasi Pusat Sains Antariksa LAPAN, Emmanuel Sungging Mumpuni.

"Diperkirakan seukuran menara Big Ben, tapi dengan perkiraan jarak yang cukup jauh, kemungkinan papasan masih sangat kecil, sehingga tidak berpotensi bencana," ujarnya melalui pesan singkat kepada Liputan6.com, Selasa (19/2/2019).

Sementara itu, NASA menganggap asteroid tersebut 'berbahaya', jika datang dalam jarak 4.600.000 mil dari Bumi.

MD8 2013 termasuk dalam kategori 'objek dekat-Bumi' (Near-Earth Object atau NEO), yang digambarkan oleh lembaga antariksa tersebut sebagai 'seluruh asteroid dan komet yang mengorbit dalam jarak 30 juta mil dari Bumi.'

NASA melacak ini dan objek dekat-Bumi lainnya (NEO) untuk melacak setiap ancaman potensial yang masuk. Namun, ada sedikit yang perlu dikhawatirkan.

"Tidak ada manusia dalam 1000 tahun terakhir yang diketahui telah terbunuh oleh meteorit atau karena dampak dari satu hantaman (meteorit)," para ilmuwan di Jet Propulsion Laboratory NASA menjelaskan.

NASA tahu bahwa tidak ada asteroid atau komet yang saat ini berada di jalur tabrakan dengan Bumi, sehingga kemungkinan terjadinya benturan cukup kecil.

"Faktanya, sebaik yang bisa kita katakan, tidak ada benda besar yang kemungkinan akan menabrak Bumi kapan saja dalam beberapa ratus tahun mendatang," mereka melanjutkan.

Badan milik pemerintah AS ini percaya bahwa dari 600.000 asteroid --atau lebih-- yang diketahui berada di tata surya ini, sekitar 16.000 adalah NEO.

MD8 2013 juga termasuk dalam kategori 'objek yang berpotensi berbahaya,' yaitu benda langit yang mencapai jarak minimum kurang dari 0,05 au dari Bumi dan memiliki magnitudo absolut (H) 22,0 atau lebih cerah.

Sedangkan asteroid MD8 2013 memiliki magnitudo absolut 24,2.

 

Saksikan video ppilihan berikut ini:

Jumlah Asteroid yang Menabrak Bumi Meningkat Sejak Zaman Dinosaurus

Ilustrasi asteroid Bennu
Ilustrasi asteroid Bennu (NASA)

Sementara itu, selama 290 juta tahun terakhir, jumlah asteroid yang menabrak Bumi dan Bulan disebut telah meningkat sebanyak tiga kali, menurut sebuah studi baru yang diterbitkan di jurnal Science pada Kamis 17 Januari 2019.

Meski terdengar seperti skala waktu yang panjang, itu adalah peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan 700 juta tahun sebelumnya.

Temuan baru itu, menurut penulis jurnal, mengubah cara ilmuwan dalam meninjau kembali sejarah Bumi.

Selama beberapa dekade, para ilmuwan telah mencoba untuk menentukan tingkat dampak asteroid terhadap Bumi. Mereka mempelajari kawah tumbukan di Bumi dan usia bebatuan di sekitar mereka. Tetapi penelitian itu punya masalah terbesar: kawah hasil asteroid jatuh yang paling awal telah hilang.

Sebelum studi itu ada, para ilmuwan percaya bahwa mereka tidak dapat menemukan kawah tumbukan tertua di Bumi karena erosi atau proses geologis lain yang menghapusnya dari permukaan. Dan dibandingkan dengan planet lain di tata surya, Bumi memiliki lebih sedikit kawah tumbukan yang lebih tua dari yang diperkirakan.

Jadi mereka memutuskan untuk mempelajari Bulan sebagai gantinya, analogi yang sempurna untuk Bumi, karena keduanya terkena dampak yang sama dari waktu ke waktu. Kawah juga lebih terawetkan di Bulan karena tidak mengalami proses gangguan yang sama seperti Bumi.

"Satu-satunya kendala untuk melakukan ini adalah menemukan cara yang akurat untuk melakukan penanggalan kawah besar di Bulan," William Bottke, rekan penulis studi dan pakar asteroid di Southwest Research Institute, mengatakan dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip dari CNN, Jumat 18 Januari 2019.

Lunar Reconnaissance Orbiter NASA, yang memulai misinya mengelilingi Bulan satu dekade lalu, mengumpulkan data dan gambar termal yang dapat digunakan oleh para peneliti.

Data termal menunjukkan berapa banyak panas yang terpancar dari permukaan Bulan.

Batuan yang lebih besar mengeluarkan lebih banyak panas daripada regolith, atau tanah halus di permukaan.

Rebecca Ghent, rekan penulis studi dan ilmuwan planet di University of Toronto, menentukan tingkat di mana batu terurai menjadi tanah. Dia juga menemukan bahwa kawah yang lebih tua ditutupi oleh lebih sedikit batu dan kerikil daripada kawah yang lebih muda.

Itu karena, meteorit kecil yang mengenai Bulan membantu untuk menghancurkan bebatuan dari waktu ke waktu.

Apa yang mereka temukan adalah bahwa kawah hasil tabrakan asteroid paling awal di Bumi bukannya hilang, tapi memang tidak ada. Dan mereka juga tidak ada di Bulan.

"Bumi memiliki lebih sedikit kawah berusia tua di daerah yang paling stabil bukan karena erosi, tetapi karena tingkat dampak tabrakannya lebih rendah sebelum 290 juta tahun yang lalu," kata Bottke.

"Bulan seperti kapsul waktu, membantu kita memahami Bumi. Kami menemukan bahwa Bulan memiliki sejarah tabrakan asteroid yang sama, yang berarti jawaban untuk tingkat dampaknya di Bumi ada di depan wajah kita sendiri," tambahnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya