Dikenal Cantik dan Kejam, 5 Wanita Ini Pernah Menjabat Sebagai Maharaja

5 kaisar perempuan yang berhasil menyejahterakan negara yang dipimpinnya sepanjang sejarah.

oleh Afra Augesti diperbarui 16 Okt 2019, 20:40 WIB
Diterbitkan 16 Okt 2019, 20:40 WIB
Kaisar Wanita China Wu Zetian
Fan Bingbing memerankan Wu Zetian dalam sebuah serial TV. (Xinhua)

Liputan6.com, Beijing - Wanita telah menguasai dunia selama ribuan tahun silam. Beberapa ratu dan permaisuri ditakdirkan untuk mencapai kejayaan dengan cara semestinya, seperti diberikan takhta berdasarkan keturunan atau karena memang sudah waktunya.

Sementara yang lain, ada yang harus membunuh atau 'menjilat' terlebih dulu agar bisa berkuasa.

Dalam dunia yang kerap dipimpin oleh laki-laki, adalah hal yang tidak biasa bagi seorang wanita untuk menjadi maharaja dan pemegang utama tampuk kekuasaan. Asing pula bagi kaum Hawa untuk membentuk kehidupan rakyatnya.

Namun, itulah yang dilakukan 5 wanita di bawah ini. Mereka meninggalkan jejak dalam sejarah sebagai perempuan 'pewaris tunggal' dari sebuah kerajaan atau negara, seperti dimuat di BBC, yang dikutip Liputan6.com pada Rabu (16/10/2019).

 

* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp10 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS

1. Hatshepsut - Firaun Mesir (1508 - 1458 SM)

Hatshepsut
Firaun Hatshepsut. (Sumber Wikimedia Commons)

Hatshetsup adalah firaun perempuan pertama dan terlama dalam sejarah Mesir. Ia memerintah sendirian selama 20 tahun setelah kematian suaminya, Thurmose.

Semua gambar mengenai dirinya menunjukkan dia memiliki jenggot, simbol pemerintahan kerajaan. Dia memulihkan kemakmuran negaranya dengan membangun kembali rute perdagangan.

Hatshetsup meninggalkan warisan bangunan yang luar biasa, termasuk kuil kamar jenazahnya di pintu masuk Valley of the Kings di Mesir.

Dengarlah, semua orang! Kalian semua, sebanyak mungkin kalian. Saya telah melakukan banyak hal sesuai dengan keinginan hati saya. - Hatshepsut setelah Persia menyerbu Mesir.

2. Ratu Theodora - Bizantium (500 - 548 Masehi)

Ratu Theodora - Byzantium
Ratu Theodora - Byzantium. (Domain Publik)

Theodora adalah pelajur jalanan yang mampu menarik perhatian Kaisar Bizantium, Justinian. Sang raja bahkan rela untuk mengubah hukum negara demi bisa menikahi seorang wanita dengan status rendah seperti Theodora.

Setelah berstatus suami-istri, mereka membangun kembali ibu kota, Konstantinopel (Istanbul hari ini), termasuk katedral Hagia Sophia yang memiliki kubah terbesar dan dibangun di Eropa selama seribu tahun.

Theodora memperluas hak-hak perempuan di negara tersebut, mengesahkan undang-undang yang memungkinkan mereka untuk bercerai dan memiliki harta warisan suami. Tak hanya itu, dia pun menjadikan perkosaan sebagai kejahatan yang bisa dihukum mati. 

Bagi seorang raja, kematian lebih baik daripada turun takhta dan pengasingan. - Theodora pada 532.

3. Wu Zetian - Tiongkok (624 - 705 Masehi)

Wu Zetian - Tiongkok
Wu Zetian - Tiongkok. (Domain Publik)

Satu-satunya wanita yang memerintah Tiongkok dengan haknya sendiri, Kaisar Wu Zetian (sepangjang sejarah) diketahui sebagai wanita yang haus kekuasaan.

Wu tak hanya cantik, orangtuanya yang kaya dan dari kalangan darah biru memberinya bekal pengetahuan menulis dan membaca sastra klasik China.

Wu pun pandai main musik. Kelebihannya itu yang konon membuat Wu 'bersinar' dari perempuan lain di istana dan mampu bersaing dengan selir-selir yang jumlahnya hampir 30 orang. Kaisar pun menjadikannya sebagai wanita favorit.

Pada 649, ketika sang penguasa mangkat, Wu dikirim ke biara untuk menghabiskan masa hidupnya di sana.

Namun, tak butuh waktu lama baginya untuk kembali ke istana. Pesona Wu memikat sang pewaris takhta, Kaisar Gaozong -- yang menjadikannya selir 3 tahun setelah ayahnya tiada. Wu secara bertahap mendapatkan kepercayaan dan dukungan Gaozong.

Setelah melahirkan 2 putra, ia mulai bersaing dengan Ratu Wang dan selir senior Xiaoshu untuk memperebutkan perhatian sang kaisar.

Agar tujuannya tercapai, Wu menghabisi orang-orang yang menghalangi jalannya. Ia bahkan sampai hati membunuh putrinya sendiri yang masih bayi dan menjadikan Ratu Wang -- yang terakhir memegang bocah itu -- sebagai kambing hitam.

Setelah berhasil menjadi ratu pada 655, Wu memerintahkan Wang dan selir Xiaoshu dihabisi. Jasad keduanya bahkan dimutilasi dan dimasukkan dalam tong anggur.

Wu kemudian mengangkat kerabatnya untuk mengisi jabatan penting. Perlahan, perempuan itu ikut memerintah bersama suaminya.

Memerintah pada Abad ke-7 Masehi, Wu menjadi penguasa penuh yang kontroversial dan memegang kekuasaan sedemikian besar. Di bawah pemerintahan Wu, biaya militer dipangkas, pajak dipotong, gaji pegawai berprestasi dinaikkan, pensiun diberi tunjangan, dan tanah luas dekat ibu kota diubah menjadi lahan pertanian.

4. Ratu Eleanor dari Aquitaine (1122 - 1204)

Ratu Eleanor dari Aquitaine
Patung makam Eleanor dan Henry II di Biara Fontevraud. (Creative Commons)

Eleanor adalah wanita terkaya di Eropa pada Abad ke-12 dan satu-satunya perempuan yang menjadi ratu Inggris dan Prancis.

Sebagai pewaris Kadipaten Aquitaine yang makmur, Eleanor memerintah seluruh wilayah barat daya Prancis. Setelah menikah dengan Raja Louis VII, ia memperkenalkan troubadour ke pengadilan Prancis.

Trobadour adalah profesi penghibur yang menggubah dan menyanyikan puisi lirik dalam bahasa Occitan Kuno selama abad pertengahan (1100–1350).

Dia juga menemani Louis di Perang Salib Kedua. Ketika dia gagal memberikan pewaris laki-laki ke takhta Prancis, pernikahannya dengan Louis dibatalkan.

Delapan minggu setelahnya, Eleanor menikah dengan Henry --yang dalam waktu dua tahun menjadi Raja Henry II dari Inggris. Dua putranya menjadi raja Inggris: Richard I dan John I.

5. Ratu Elizabeth I (1533 - 1603)

Pangeran Charles diapit Ibu Suri Ratu Elizabeth dan Putri Margaret. (Instagram/ royalcollectiontrust)
Pangeran Charles diapit Ibu Suri Ratu Elizabeth dan Putri Margaret. (INP / AFP)

Putri bungsu dari Raja Henry VIII dan yang terakhir dari dinasti Tudor, Elizabeth I, mempertahankan kekuasaannya dengan merayu para pangeran dan bangsawan Inggris.

Namun, dia pernah menolak untuk menikah dan berbagi kekuasaan dengan seorang laki-laki yang menjadi suaminya.

Elizabeth menggunakan kekuasaannya untuk menyatukan para pendukungnya melawan musuh-musuh Katolik di Inggris dan di luar negeri.

Pada 1588, ketika Armada Spanyol mengancam untuk menyerang Inggris, dia berhasil mengumpulkan pasukannya untuk mengalahkan mereka.

Saya lebih suka menjadi miskin dan lajang daripada menjadi seorang Ratu dan menikah. - Ratu Elizabeth I kepada duta besar Jerman pada 1564.
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya