Pengakuan Tentara Myanmar, Terpaksa Jalankan Tugas Junta Demi Keselamatan Keluarga

Sejumlah perwira militer Myanmar telah membelot untuk menghindar dari tugas di bawah rezim yang sejauh ini telah menewaskan lebih dari 700 pengunjuk rasa.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 15 Apr 2021, 21:25 WIB
Diterbitkan 15 Apr 2021, 14:05 WIB
Kudeta Militer di Myanmar.
Kudeta Militer di Myanmar. (Foto: AFP)

Liputan6.com, Yangon - Tentara yang melakukan perbuatan brutal terhadap warga sipil Myanmar mengaku enggan meninggalkan militer.

Dikutip dari laman Myanmar Now, Kamis (15/4/2021) hal itu dikarenakan takut akan keselamatan keluarga mereka jika tak menjalankan tugas dari junta militer.

Terlepas dari ketakutan ini, bagaimanapun, sejumlah perwira militer Myanmar telah membelot untuk menghindar dari tugas di bawah rezim yang sejauh ini telah menewaskan lebih dari 700 pengunjuk rasa.

Dalam sebulan terakhir, empat tentara, termasuk seorang kapten dari Divisi Infanteri Ringan 77, yang telah melakukan penumpasan di Yangon, Myanmar telah bergabung dengan Gerakan Pembangkangan Sipil (CDM).

Yang lainnya juga telah meninggalkan tempat dan sekarang dalam pelarian.

Banyak lagi yang akan bersedia untuk tidak mematuhi kediktatoran jika keluarga mereka tidak secara efektif disandera oleh junta, atau "diculik oleh kelompok geng", seperti yang dikatakan salah satu pembelot baru-baru ini.

"Itulah situasi yang terjadi sekarang. Mereka yang tinggal di militer pada dasarnya telah diculik. Mereka menggunakan anggota keluarga tentara Myanmar untuk mengontrol mereka sehingga mereka tidak dapat bertindak dengan bebas. Jika seorang tentara ingin melarikan diri, dia harus membawa keluarganya bersamanya," jelas Kapten Lin Htet Aung yang mengikuti CDM minggu ini.

 

Saksikan Video Berikut Ini:

Tahu Ada Ketidakadilan

FOTO: Aksi Protes Kudeta Militer Myanmar Terus Berlanjut
Pengunjuk rasa antikudeta memberikan penghormatan tiga jari selama demonstrasi dekat Stasiun Kereta Api Mandalay di Mandalay, Myanmar, Senin (22/2/2021. Sejak kudeta pada 1 Februari 2021, masyarakat Myanmar masih terus menggelar protes. (AP Photo)

Kapten, yang bertugas dengan Light Infantry Battalion 528 di bawah Komando Wilayah Segitiga di kota Mong Ping negara bagian Shan timur itu mengatakan, banyak tentara tidak nyaman dengan kejahatan yang diperintahkan.

Mereka tahu rezim menangkap, menyiksa, dan membunuh warga sipil yang tidak bersalah, katanya, tetapi mereka terlalu khawatir tentang keselamatan keluarga mereka sendiri sehingga mengambil risiko melakukan apa pun.

"Mereka tahu itu tidak adil, tetapi mereka harus menjaga keluarga mereka. Mereka sadar akan ketidakadilan dan saya yakin mereka merasa tidak nyaman karenanya. Namun mereka harus menutup mata," katanya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya