HEADLINE: Putin Akan Hadiri KTT G20 di Bali, Invasi Rusia ke Ukraina Bikin Indonesia Dilema?

Perang Rusia dan Ukraina tak hanya menewaskan ribuan orang, tapi juga menciptakan jutaan pengungsi dan kota-kota yang hancur.

oleh Raden Trimutia HattaTanti YulianingsihTeddy Tri Setio BertyBenedikta Miranti T.VTommy K. Rony diperbarui 26 Mar 2022, 00:02 WIB
Diterbitkan 26 Mar 2022, 00:02 WIB
20160518-Bincang Hangat Jokowi dan Putin di Rusia-Sochi
Presiden RI, Jokowi dan Presiden Rusia, Vladimir Putin (kanan) berbincang disela upacara penandatanganan seusai pertemuan di Sochi, Rusia, Rabu (18/5). Kedua pemimpin negara itu melakukan pertemuan bilateral sebelum KTT ASEAN-Rusia (Host Photo Agency/AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Sudah sebulan lebih, operasi militer Rusia masih menggempur Ukraina. Perang Rusia dan Ukraina tak hanya menewaskan ribuan orang, tapi juga menciptakan jutaan pengungsi dan kota-kota yang hancur.

Serangan kilat pasukan Presiden Rusia Vladimir Putin pada pekan pertama perang, ternyata tidak mampu menguasai Ukraina. Mereka pun mengubah strategi menjadi pemboman kota-kota dengan artileri, serangan udara dan misil. Warga sipil termasuk rumah sakit, gereja dan perumahan diserang, membuat Presiden Amerika Serikat Joe Biden menyebut Putin sebagai "penjahat perang".

Pasukan Rusia telah berulang kali menyerang ibu kota, Kiev, tetapi gagal mengepung kota. Kota pelabuhan Mariupol selatan yang terkepung telah terkena dampak paling parah, menjadi sasaran pemboman selama berminggu-minggu yang telah menewaskan sedikitnya 2.300 orang dan menghancurkan sebagian besar kota, menurut pejabat Ukraina.

Pada Kamis 24 Maret 2022, Presiden Chechnya Ramzan Kadyrov menyatakan pasukan dari wilayahnya di Rusia, telah menguasai balai kota di pelabuhan Mariupol tenggara Ukraina yang terkepung. Pasukannya langsung mengibarkan bendera Rusia.

"Insya Allah sebentar lagi Mariupol akan bersih total," tulisnya di akun Telegram yang memiliki lebih dari 1,4 juta pelanggan seperti dikutip dari AFP, Jumat (25/3/2022).

Di tengah serangan yang dilancarkan ke Ukraina, Duta Besar Rusia Lyudmila Vorobieva mengatakan, Presiden Vladimir Putin ingin datang ke Indonesia untuk menghadiri KTT G20. Namun, ada beberapa catatan, "tergantung kepada banyak sekali hal terkait situasinya," ujar Lyudmila di Jakarta.

Menurutnya, Presiden Vladimir Putin ingin datang ke forum yang diselenggarakan di Bali pada akhir 2022 ini. "Dia ingin datang," tegasnya.

Mengingat bahwa pokok dari G20 adalah meningkatkan situasi ekonomi, menurut Lyudmila, keterlibatan Rusia juga sesuai slogan G20 di Indonesia, yakni Recover Together, Recover Stronger.

Namun, akibat invasi Rusia ke Ukraina, keinginan Putin untuk menghadiri KTT G20 mendapat penolakan dari Amerika Serikat dan sekutunya. Berawal dari Polandia yang meminta Amerika untuk mempertimbangkan untuk mengeluarkan Rusia dari KTT G20 dan mengizinkan Warsawa untuk mengklaim kursi Moskow. 

Presiden AS Joe Biden pun menyatakan, Rusia seharusnya dikeluarkan dari G20 yang akan digelar di Indonesia. Hal itu ia ungkapkan saat menghadiri pertemuan dengan para pemimpin dunia di Brussels, Belgia, Kamis 24 Maret 2022.

"Jawaban saya adalah ya, tergantung pada G20," ucap Biden.

Gayung bersambut, Perdana Menteri Australia Scott Morrison juga terang-terangan meminta Rusia diusir dari G20 2022. Ia menyatakan tak mau duduk dengan negara yang menginvansi negara lain. 

"Rusia menginvasi Ukraina. Maksud saya, ini adalah tindakan berbahaya dan agresif yang merusak aturan hukum internasional," ujar PM Morrison seperti dilansir Sky News.

"Kami telah membuat pernyataan-pernyataan dan perwakilan-perwakilan yang sangat jelas tentang kekhawatiran kami pada keterlibatan Rusia di G20 tahun ini," imbuhnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Infografis Putin Akan Hadiri KTT G20 Bali di Tengah Invasi ke Ukraina. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Putin Akan Hadiri KTT G20 Bali di Tengah Invasi ke Ukraina. (Liputan6.com/Trieyasni)

Direktur Biro Riset Ekonomi Asia Timur di  Australian National University, Shiro Armstrong dan Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies, Rizal Damuri menilai konflik Rusia-Ukraina membuat agenda G20 tentang kerja sama untuk pemulihan pandemi menjadi sulit. 

Karena itu, keduanya berharap agar Indonesia berusaha menjaga G20 tetap berfokus pada kerja samanya. "Indonesia harus menemukan cara untuk menjaga agar G20 tetap fokus pada hasil kerja sama dan diarahkan pada pemulihan ekonomi," kata Shiro Armstrong dan Rizal Damuri. 

Namun, hal itu tentunya tidak mudah, Shiro dan Rizal melihat, tantangannya adalah fokus pada sejumlah kecil hasil strategi daripada sederet keinginan yang tidak dapat dicapai. "Kemajuan yang jelas dalam reformasi WTO akan menjadi warisan monumental kepemimpinan Indonesia di G20," tutur mereka.

Reformasi WTO menjadi penting, jelasnya, karena G20 sebagai satu-satunya kelompok yang dapat memobilisasi dukungan dari negara ekonomi terkuat dunia untuk mereformasi institusi global. Selain itu, "Indonesia memiliki otoritas moral yang hanya sedikit dimiliki negara lain untuk menetapkan arah strategis yang jelas bagi reformasi WTO."

Hal itu terlihat ketika Indonesia melangkah maju mengartikulasikan rencana komprehensif untuk Reformasi WTO pada KTT G20 di Osaka pada tahun 2019. Inisiatif ini disambut dan menarik dukungan dari negara-negara G20 lainnya, yang mengarah ke Inisiatif Riyadh untuk Masa Depan WTO pada tahun 2020.

Terpisah, Pengamat Hubungan Internasional Hikmahanto Juwana meminta Indonesia melalui Kemlu harus segera bertindak untuk suksesnya KTT G20 dan memastikan semua kepala pemerintahan dan kepala negara hadir. Menurutnya ada tiga langkah yang perlu dilakukan.

"Pertama, Kemlu harus turun menjadi juru damai atas konflik yang terjadi di Ukraina dan saat ini meluas antara AS dengan sekutunya dan Rusia," katanya saat dihubungi Liputan6.com.

Kemlu, sambung Hikmahanto, bisa meminta perwakilan Indonesia di AS dan negara-negara sekutunya untuk mengidentifikasi apa yang diminta terhadap Rusia. Sementara perwakilan Indonesia di Rusia melakukan hal yang sama.

"Selanjutnya Menlu berdasarkan masukan dari perwakilan Indonesia merumuskan solusi yang tepat untuk ditawarkan baik ke AS dan sekutunya dan ke Rusia," jelasnya.

Langkah kedua adalah Menlu atau utusan khusus Indonesia harus melakukan shuttle diplomacy atau diplomasi ulang alik untuk membicarakan solusi yang ditawarkan. "Ketiga, bila diperlukan Menlu dapat meminta Presiden untuk melakukan pembicaraan langsung dengan Presiden Putin dan Presiden Joe Biden agar konflik segera diakhiri demi kemanusiaan dan keselamatan serta perekonomian dunia," ungkap Hikmahanto.

Sementara itu, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu) telah menyatakan akan bersikap secara netral dan tak memihak dalam penyelanggaraan KTT G20 yang nantinya akan dihadiri atau tidak oleh Presiden Rusia Vladimir Putin. Staf Khusus Program Prioritas Kemlu dan Co-Sherpa G20 Indonesia Dian Triansyah Djani mengatakan, Presidensi G20 Indonesia bersifat imparsial dan netral, "Sesuai dengan presidensi sebelumnya, adalah untuk mengudang semua anggota G20."

"Hal harus di-underline juga adalah bahwa diplomasi Indonesia selalu didasarkan pada based of principal," ujarnya.

Triansyah menyatakan, Indonesia dalam mengetuai berbagai konferensi, forum, atau organisasi baik itu dalam konteks badan-badan PBB, atau pada saat kami memimpin DK PBB, ASEAN atau dewan lainnya, selalu berpegang pada rules of procedur dan aturan yang berlaku. "Demikian juga di G20. Oleh karena itu, sudah kewajiban presiden G20 untuk mengundang seluruh anggotanya."

"Saya ingin underline juga, bahwa penting bagi kita untuk fokus pada G20 menangani global recovery yang jadi prioritas warga dunia," ia menambahkan.

Seperti diketahui, sambung Triansyah, duni belum sepenuhnya keluar dari krisis pandemi COVID-19. Banyak negara berkembang mengalami kesulitan ekonomi. "G20 berupaya mendorong recovery tersebut. Jadi, saya pikir akan melangsungkan tugas kita seperti presidensi sebelumnya," ia memungkasi. 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Bukan Pertama Terjadi

20160905-Jokowi-Hadiri--KTT-G20-Tiongkok-Setpres
Presiden RI Joko Widodo, Presiden Prancis Francois Hollande, Presiden China Xi Jinping, Presiden Rusia Vladimir Putin, Kanselir Jerman Angela Merkel tiba untuk menghadiri upacara pembukaan KTT G20 di Hangzhou di Tiongkok, (4/9). (Setpres/Bey Machmudin)

Presiden Rusia Vladimir Putin kemungkinan akan menepati undangannya untuk bergabung dengan KTT G20 di Bali akhir 2022, meskipun ada seruan dari Amerika Serikat dan negara lain untuk melarangnya menghadiri pertemuan pada November 2022, buntut dari invasinya ke Ukraina.

Ancaman yang dilemparkan pada Rusia bukan kali pertama terjadi. Dikutip dari laman Fortune, Jumat (25/3/2022), ada kejadian serupa pernah terjadi juga sebelumnya.

Pada 2014 -- setelah Putin mencaplok Krimea -- anggota G8 setuju untuk mengecualikan Rusia dari pertemuan mereka, kembali menjadi G7.

Pada saat itu, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov meremehkan pentingnya pengusiran Rusia, dengan mengatakan G8 "tidak memberikan kartu keanggotaan dan, menurut definisinya, tidak dapat menghapus siapa pun."

Australia, yang menjadi tuan rumah G20 pada 2014, sebelumnya juga mengancam akan mendorong penghapusan Rusia dari KTT tersebut. Namun akhirnya Rusia diizinkan untuk bergabung karena anggota G20 lainnya tidak memiliki konsensus untuk mengecualikan Moskow.

Sekarang, sekali lagi, anggota G20 terbagi. Apakah Putin harus diizinkan untuk hadir, atau apakah Ukraina harus diundang juga, seperti yang disarankan Joe Biden. Kehadiran Putin akan "sangat bermasalah" bagi anggota Eropa, kata salah satu sumber Uni Eropa kepada Reuters. Perdana Menteri Australia Scott Morrison menyebut duduk dengan Putin di Bali "langkah yang terlalu jauh", dan mengatakan dia telah berbicara langsung dengan Presiden Indonesia Joko Widodo mengenai masalah tersebut.

Polandia sebelumnya mengatakan bahwa mereka meminta AS untuk mempertimbangkan untuk mengeluarkan Rusia dari G20 dan mengizinkan Warsawa untuk mengklaim kursi Moskow. Presiden AS Joe Biden pun menyatakan, Rusia seharusnya dikeluarkan dari G20 yang akan digelar di Indonesia. Hal itu ia ungkapkan saat menghadiri pertemuan dengan para pemimpin dunia di Brussels, Belgia, Kamis 24 Maret 2022.

"Jawaban saya adalah ya, tergantung pada G20," jawab Biden, ketika ditanya apakah Rusia seharusnya dikeluarkan dari kelompok tersebut.

Biden juga mengatakan, apabila negara-negara seperti Indonesia dan lainnya tidak setuju untuk mengeluarkan Rusia, maka menurut pandangannya, Ukraina juga seharusnya diizinkan untuk menghadiri pertemuan tersebut.

Menurut Joe Biden, alat paling efektif untuk mengakhiri invasi ke Ukraina adalah menjaga persatuan NATO dan Eropa dan menghukum negara-negara yang menentang sanksi terhadap Rusia.

Jjika negara-negara G20 lainnya tidak mendukung pengusiran Rusia dari kelompok, Joe Biden akan membuat Ukraina dapat berpartisipasi dalam pertemuan itu, seperti dikutip dari NBC News, Jumat (25/3/2022).

"Satu-satunya hal yang paling penting adalah bagi kita untuk tetap bersatu dan dunia untuk terus fokus pada betapa kejamnya orang ini (Presiden Rusia Vladimir Putin) dan semua nyawa orang tak bersalah yang akan hilang dan hancur dan apa yang terjadi," kata Biden. 

"Jika Anda adalah Putin dan Anda berpikir bahwa Eropa akan retak dalam satu bulan atau enam minggu atau dua bulan, mengapa tidak. Mereka dapat mengambil apa pun untuk satu bulan lagi. Tapi alasan saya meminta pertemuan itu, kita harus tetap sepenuhnya, benar-benar bersatu," imbuh Biden.

Berbeda dengan Amerika, China menyatakan bahwa Rusia adalah anggota penting dari G20. Maka tidak sepantasnya Rusia dikeluarkan dari G20.

"G20 adalah forum utama dari kerja sama ekonomi internasional. Ia membawa semua ekonomi besar di dunia, termasuk Rusia, yang merupakan anggota penting dari grup tersebut. Tidak ada anggota yang punya hak untuk mencopot negara lain dari keanggotaannya," ujar Jubir Kemlu China Wang Wenbin. 

Meski lebih banyak negara yang menolak Rusia, namun sepertinya G20 tidak akan mengeluarkannya dari kelompok, mengingat keputusan apa pun tentang keanggotaan perlu dicapai semua anggota.

Infografis Pro-Kontra Rencana Kehadiran Putin di KTT G20 Bali. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Pro-Kontra Rencana Kehadiran Putin di KTT G20 Bali. (Liputan6.com/Trieyasni)

Negara Penolak Rusia di KTT G20

Pertemuan Presiden Jokowi dan Presiden Putin di Beijing
Pertemuan Presiden Jokowi dan Presiden Putin di Beijing (http://eng.kremlin.ru)

Beredar ide agar Rusia diusir dari G20. Kabar itu muncul di tengah invasi Rusia ke Ukraina, dan ketika Indonesia akan menjadi tuan rumah G20. 

Saat ini, anggota G20 adalah Argentina, Australia, Brazil, Kanada, China, Prancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Korea Selatan, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Turki, Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.

Rusia mendapat pembelaan dari China yang berkata bahwa Rusia adalah anggota penting dari G20. 

"G20 adalah forum utama dari kerja sama ekonomi internasional. Ia membawa semua ekonomi besar di dunia, termasuk Rusia, yang merupakan anggota penting dari grup tersebut. Tidak ada anggota yang punya hak untuk mencopot negara lain dari keanggotaannya," ujar Jubir Kemlu China Wang Wenbin, Rabu (23/3). 

Berikut tiga negara yang diduga mendukung agar Rusia diusir dari G20:

1. Polandia

Tak disangka, Polandia justru menjadi salah satu negara yang berani meminta agar Rusia diusir. Polandia ingin menggantikan posisi Rusia. 

Dilaporan Polskie Radio, Kamis (24/3/2022), gagasan itu diungkapkan oleh Menteri Pembangunan dan Teknologi, Piotr Nowak. Ia bahkan sudah membahas ini dengan Amerika Serikat. 

"Proposal kami untuk mencopot Rusia dari grup G20 dan menggantikannya dengan Polandia diterima dengan pemahaman besar oleh perwakilan-perwakilan administrasi Amerika," ujarnya. 

Polandia merupakan negara yang berbatasan dengan Rusia (Kaliningrad) dan Ukraina. Dulu Polandia juga anggota blok timur bersama Uni Soviet, tetapi kini mengambil posisi anti-Rusia.

2. Amerika Serikat

Amerika Serikat belum terang-terangan mengambil sikap tentang pencopotan Rusia sebagai anggota G20. Ia hanya berkata hubungan dengan Rusia tak bisa lagi berjalan seperti biasa.

"Pada pertanyaan G20, saya akan mengatakan ini: Kami percaya bahwa ini tak bisa lagi bisnis seperti biasa bagi Rusia di institusi-institusi dan di komunitas internasional," ujar Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan dalam konferensi pers di Gedung Putih. 

Sullivan berkata bahwa AS ingin lebih dahulu melakukan konsultasi kepada para sekutu-sekutunya terkait respons terhadap Rusia di satu institusi tertentu.

Sementara, Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Vorobieva, menyatakan bahwa Presiden Vladimir Putin ingin hadir di G20. Namun, pihak Rusia berkata masih melihat situasi.

3. Australia

Perdana Menteri Australia Scott Morrison juga terang-terangan agar Rusia diusir dari G20 tahun ini. Ia berkata tak mau duduk dengan negara yang menginvansi negara lain. 

"Rusia menginvasi Ukraina. Maksud saya, ini adalah tindakan berbahaya dan agresif yang merusak aturan hukum internasional," ujar PM Morrison seperti dilansir Sky News.

"Kami telah membuat pernyataan-pernyataan dan perwakilan-perwakilan yang sangat jelas tentang kekhawatiran kami pada keterlibatan Rusia di G20 tahun ini," lanjutnya.


Apa Itu G20?

FOTO: Presidensi G20 Indonesia Resmi Dibuka
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (kiri) bersama sejumlah pejabat tinggi negara dan Chair Business 20 Shinta Widjaja Kamdani dan Co Chair Youth 20 Michael Victor Sianipar saat Opening Ceremony Presidensi G20 Indonesia 2022 di Jakarta, Rabu (1/12/2021). (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Indonesia memegang presidensi G20 pada 2022 dan menjadi tuan rumah dalam perhelatannya di akhir tahun. Sebenarnya, apa itu G20?

Dilansir dari laman resmi G20, Jumat (25/2/2022), G20 adalah platform multilateral strategis yang menghubungkan negara-negara maju dan berkembang di dunia. G20 memiliki peran strategis dalam mengamankan pertumbuhan dan kemakmuran ekonomi global di masa depan. 

Secara akumulatif, anggota G20 mewakili lebih dari 80 persen PDB dunia, 75 persen perdagangan internasional, dan 60 persen populasi dunia. 

Dimulai pada 1999 sebagai pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral, G20 telah berkembang menjadi pertemuan puncak tahunan yang melibatkan Kepala Negara dan Pemerintahan.

Selain itu, pertemuan Sherpa (yang bertugas melakukan negosiasi dan membangun konsensus di antara para Pemimpin), kelompok kerja, dan acara khusus juga diselenggarakan sepanjang tahun.

Negara Anggota G20

Negara anggota G20 meliputi Argentina, Australia, Brasil, Kanada, China, Prancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Republik Korea, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Turki, Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Spanyol juga diundang sebagai tamu tetap.

Setiap tahun, Kepresidenan mengundang negara-negara tamu, yang mengambil bagian penuh dalam latihan G20. 

Beberapa organisasi internasional dan regional juga berpartisipasi, memberikan forum tersebut representasi yang lebih luas.

Alur Kerja G20

Kepresidenan G20 berputar setiap tahun di antara para anggotanya, dengan negara yang memegang kepresidenan bekerja sama dengan pendahulu dan penerusnya, juga dikenal sebagai Troika, untuk memastikan kesinambungan agenda. 

Saat ini Italia, Indonesia, dan India adalah negara Troika.

G20 tidak memiliki sekretariat tetap. Agenda dan koordinasi kerja tersebut diselesaikan oleh perwakilan pribadi pemimpin G20 yang dikenal dengan sherpa bersama para menteri keuangan dan gubernur bank sentral.

Puncak kerja G20 di setiap siklus adalah komunike yang mengungkapkan komitmen dan visi anggota untuk masa depan, yang disusun dari rekomendasi yang dipilih dan hasil dari pertemuan tingkat menteri dan alur kerja lainnya.

Sejarah G20

G20 dibentuk pada tahun 1999 dengan tujuan untuk membahas kebijakan dalam rangka mencapai stabilitas keuangan internasional. 

Forum ini dibentuk sebagai upaya untuk mencari solusi atas kondisi ekonomi global yang dilanda krisis keuangan global tahun 1997-1999 dengan melibatkan negara-negara berpenghasilan menengah dan memiliki pengaruh ekonomi sistemik, termasuk Indonesia.

Atas saran para Menteri Keuangan G7, para Menteri Keuangan G20 dan Gubernur Bank Sentral mulai mengadakan pertemuan untuk membahas tanggapan terhadap krisis keuangan global yang terjadi. Setelah itu, pertemuan tingkat Menteri Keuangan diadakan secara rutin pada musim gugur.

Sembilan tahun kemudian, pada 14-15 November 2008, para pemimpin negara-negara G20 berkumpul untuk KTT G20 yang pertama. 

Pada kesempatan itu, para pemimpin negara tersebut mengkoordinasikan respon global terhadap dampak krisis keuangan yang terjadi di AS saat itu dan sepakat untuk mengadakan pertemuan lanjutan.

Untuk mempersiapkan KTT tahunan, para Menteri Keuangan G20 dan Gubernur Bank Sentral, bersama dengan para Sherpa bertemu beberapa kali dalam setahun.


Infografis Ragam Komentar Polemik Kehadiran Putin di KTT G20 Bali

Infografis Ragam Komentar Polemik Kehadiran Putin di KTT G20 Bali. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Ragam Komentar Polemik Kehadiran Putin di KTT G20 Bali. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya