Liputan6.com, Tokyo - Issei Sagawa, seorang kanibal Jepang yang membunuh dan memakan tubuh seorang mahasiswa Belanda tetapi tidak pernah dipenjara, dilaporkan meninggal pada usia 73 tahun.
Sagawa meninggal karena radang paru-paru pada 24 November 2022 dan diberikan pemakaman yang hanya dihadiri oleh kerabat.
Kepergiannya juga dilakukan tanpa upacara publik yang direncanakan, kata adik laki-lakinya dan seorang teman dalam sebuah pernyataan, dikutip dari NST.com, Jumat (2/12/2022).
Advertisement
Pada tahun 1981, Sagawa sedang belajar di Paris ketika dia mengundang mahasiswa Belanda Renee Hartevelt ke rumahnya.
Dia menembak leher korban dan menyerangnya dengan kekerasan seksual, kemudian memakan bagian tubuhnya selama beberapa hari.
Sagawa kemudian berusaha membuang jenazahnya di taman Bois de Boulogne dan ditangkap beberapa hari kemudian dan mengakui kejahatannya kepada polisi.
Sagawa tidak merahasiakan kejahatannya dan memanfaatkan ketenarannya, termasuk dengan memoar mirip novel berjudul "In the Fog" di mana dia mengenang pembunuhan itu dengan detail dan jelas.
Terlepas dari perincian pembunuhan yang keji, dan kurangnya penyesalannya, Sagawa mendapatkan tingkat popularitas dan secara teratur memberikan wawancara kepada media domestik dan internasional pada tahun-tahun setelah dia kembali.
Dia ditampilkan di majalah untuk lukisan wanita tanpa busana dan muncul dalam film porno serta menghasilkan buku komik manga yang menggambarkan kejahatannya dalam grafik.
Daya tariknya terkait pembunuhan itu bahkan tercatat pula di majalah Rolling Stones dan The Stranglers.
Sagawa menjalani tahun-tahun terakhirnya bersama saudara laki-lakinya, dilaporkan duduk di kursi roda setelah serangkaian masalah kesehatan termasuk stroke.
Tapi dia tidak menunjukkan tanda-tanda penyesalan dan mengatakan kepada Vice dalam wawancara tahun 2013 saat dia melihat poster wanita Jepang: "Saya pikir rasanya seru."
Dia juga menceritakan detail insiden tersebut dan obsesinya yang berkelanjutan terhadap kanibalisme dalam wawancara dan film dokumenter tahun 2017, "Caniba."
Ilmuwan Soal Perubahan Iklim: Manusia Bisa Jadi Kanibal
Agustus 2019, peneliti perilaku Magnus Soderlund mengajukan pertanyaan kontroversial di sebuah seminar di Swedia: Bisakah Anda bayangkan memakan daging manusia ketika hewan-hewan di muka Bumi ini musnah karena perubahan iklim?
Ketika suhu global terus meningkat, Soderlund menegaskan dalam sebuah pembicaraan di Gastro Summit di Stockholm, pertanian adalah salah satu sektor yang paling terdampak, menyebabkan sumber makanan menjadi lebih langka, yang mungkin memaksa manusia untuk mempertimbangkan sebuah alternatif.
Manusia mungkin akan melihat kanibalisme sebagai hal yang tak lagi tabu.
Soderlund, seorang pakar perilaku di Stockholm School of Economics, tidak meneliti ilmu gizi atau ekonomi pasokan makanan global. Dia mempelajari reaksi psikologis, seperti erangan yang terdengar dari para peserta seminar ketika ia bertanya: "Apakah kalian akan mempertimbangkan makan mayat manusia?"
"Saya akan memberikan jawaban pribadi: ya, saya setidaknya mencicipinya," ungkap Soderlund kepada saluran TV Swedia State TV4, dikutip dari Science Alert, Sabtu (14/9/2019).
Gagasan kanibalisme sebagai dampak dari hilangnya persediaan makanan manusia bukanlah hal baru. Pada tahun 2018, ahli evolusi biologi Richard Dawkins bertanya-tanya: "Apakah mungkin untuk menanam daging dari sel manusia yang dipanen di laboratorium?"
Seperti Soderlund, ia menyebut ide itu sebagai "uji kasus yang menarik" yang mungkin menunjukkan apakah manusia dapat mengatasi faktor "merasa jijik" untuk melakukan sesuatu yang mereka anggap bermoral, seperti mengurangi emisi gas rumah kaca.
Tapi tentu saja, kesimpulan tentang menjadi kanibal penuh dengan kontroversi.
Advertisement
Budaya Berubah Jadi Barbar
Bagi Dawkins dan Soderlund, kanibalisme bisa menjadi cara untuk mempersiapkan masa depan di mana pasokan beberapa bahan makanan pokok lenyap.
Ketika bencana terkait iklim seperti banjir, kekeringan, dan panas ekstrem semakin sering terjadi dan parah, produsen pertanian akan merasa lebih sulit untuk menanam tanaman.
Dalam waktu kurang dari satu dekade, dunia bisa gagal memberi pasokan makanan bagi setiap orang di planet ini, dengan 214 triliun kalori per tahun atau sekitar 28.000 kalori per orang.
Soderlund menyarankan pengangkatan daging dari jasad manusia dan disajikan kembali untuk manusia. Sementara Dawkins memberi masukan untuk mengambil sel punca dari manusia yang hidup, membiakkannya di laboratorium, dan menumbuhkan sel dewasa tersebut menjadi daging.
Tetapi ada banyak sekali masalah etika untuk dipertimbangkan. "Gagasan bahwa kita akan dapat mengelola ini dengan cara rasional dan sistemik, sangat tidak masuk akal," ucap Genevieve Guenther, direktur End Climate Silence (organisasi nirlaba yang mengadvokasi perwakilan media perubahan iklim)
"Itu berarti seluruh budaya kita akan menjadi barbarisme," lanjutnya. Sebuah laporan baru-baru ini dari United Nations' Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menemukan seperempat dari seluruh makanan di dunia akan raib atau terbuang sia-sia.
Â
Emisi Global Berkurang
Dengan meningkatkan cara panen, penyimpanan, pengemasan, dan pengangkutan, produsen dapat mengatasi permasalahan kekurangan makanan di waktu mendatang.
Mengurangi emisi global secara dramatis juga membantu dunia menghindari Bumi dari suhu tinggi dan kondisi cuaca yang lebih ekstrem, yang menyulitkan petani untuk menanam bahan pangan.
Laporan IPCC menemukan, cara manusia menggunakan tanah, melalui praktik-praktik seperti bertani, pertambangan, penebangan, menyumbangkan 23 persen emisi gas rumah kaca yang diproduksi manusia.
Mengurangi deforestasi dan pengolahan lahan dapat membantu menurunkan emisi ini, seperti juga dapat mengurangi konsumsi daging merah.
Advertisement