Liputan6.com, Jakarta - Pada acara peringatan yang digelar untuk mengenang almarhum Prof. Hasjim Djalal, Wakil Menteri Luar Negeri Republik Indonesia (Wamenlu RI) Arief Havas Oegroseno, menyampaikan penghormatan dan kenangan mendalam atas kontribusi besar yang diberikan oleh sosok tersebut terhadap hukum laut internasional.
Prof. Hasjim, yang wafat pada 12 Januari 2025 lalu, bukan hanya seorang diplomat berpengalaman, tetapi juga seorang akademisi tajam dan negarawan sejati yang telah banyak meninggalkan jejak penting bagi bangsa Indonesia dan masyarakat internasional.
Havas mengungkapkan rasa kehilangan yang mendalam atas kepergian Prof. Hasjim, yang bagi banyak kalangan di dunia hukum laut dan internasional adalah sosok yang tak tergantikan.
Advertisement
Dalam sambutannya, Havas mengingat kembali pengalaman pribadinya saat pertama kali diminta untuk memimpin perundingan batas maritim dengan Filipina pada tahun 2003.
Sebagai seorang yang masih baru dalam dunia hukum laut, Havas merasa cemas menghadapi tantangan tersebut. Namun, berkat bimbingan dan dukungan Prof. Hasjim, Havas dapat menjalani perundingan tersebut dengan baik hingga akhirnya Indonesia berhasil menetapkan batas maritim dengan Filipina, yang kini tercatat sebagai salah satu batas maritim terpanjang di dunia.
Menurut Havas, banyak pengetahuan tentang hukum laut yang ia dapatkan langsung dari Prof. Hasjim.
"Saya belajar banyak tentang hukum laut dari Pak Hasjim, beliau adalah arsitek utama perjuangan Indonesia dalam Konvensi Hukum Laut 1982," kata Havas dalam sambutannya di acara peringatan Prof. Hasjim Djalal di Kementerian Luar Negeri (Kemlu RI), Selasa (25/2/2025).
Prof. Hasjim, bersama dengan tokoh lainnya, dinilainya telah berperan penting dalam mengubah hukum internasional, khususnya yang berkaitan dengan status negara kepulauan, yang pada waktu itu belum diakui oleh hukum internasional yang berlaku sejak 1958.
Tantangan di Hukum Laut Internasional
Salah satu momen penting yang sering ditekankan oleh Prof. Hasjim adalah tiga kali proklamasi besar bagi Indonesia.
Proklamasi pertama terkait dengan identitas nasional Indonesia yang tercermin dalam Sumpah Pemuda 1928, proklamasi kedua adalah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, dan proklamasi ketiga adalah pengakuan Indonesia sebagai negara kepulauan oleh hukum internasional, yang tercapai melalui perjuangan panjang, salah satunya dalam Konvensi Hukum Laut 1982.
Havas juga menambahkan, bahwa Prof. Hasjim adalah inisiator dan pelaksana dari workshop mengenai pengelolaan potensi konflik di Laut China Selatan, yang hingga kini masih berjalan. Workshop tersebut telah menghasilkan berbagai dokumen penting yang dapat menjadi panduan dalam menyelesaikan sengketa di kawasan tersebut, serta harapan untuk melahirkan suatu Code of Conduct yang dapat diterima oleh semua pihak yang terlibat.
Namun, Havas menyadari bahwa tantangan dalam melanjutkan legasi Prof. Hasjim masih sangat besar.
Salah satu tugas yang harus dilaksanakan adalah terus mengedukasi generasi muda tentang pentingnya hukum laut, agar hukum laut tetap menjadi bagian integral dari kurikulum pendidikan dan menjadi perhatian serius bagi para diplomat, militer, serta generasi penerus bangsa.
Di tengah masalah polusi laut, keamanan maritim, eksploitasi sumber daya alam, dan geopolitik yang semakin kompleks, Indonesia dihadapkan pada tantangan besar untuk menjaga dan memaksimalkan pemanfaatan wilayah lautnya.
"Sebagai penerus perjuangan beliau, kita harus terus bekerja keras untuk memastikan bahwa hasil perjuangan Prof. Hasjim dapat dilaksanakan dengan baik, meskipun tantangan yang dihadapi sangat besar," pungkas Havas.
Advertisement
