Petani Tembakau Cuma Jadi Tameng Industri Rokok Ogah Setujui FCTC

Permasalahan tembakau, buruh atau pekerja, isu ini digunakan untuk mengeksploitasi dan menakut-nakuti pemerintah

oleh Fitri Syarifah diperbarui 27 Agu 2014, 13:30 WIB
Diterbitkan 27 Agu 2014, 13:30 WIB
Presiden SBY Diharapkan Segera Setujui FCTC
Ratifikasi FCTC merupakan kado indah untuk anak Indonesia

Liputan6.com, Jakarta Menggunakan para petani tembakau sebagai benteng untuk menghambat penandatanganan Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) ternyata juga dialami oleh negara lain seperti Brasil. Negara yang belum lama ini menjadi tuan rumah Piala Dunia tersebut pernah mengalami isu yang sama sebelum akhirnya menandatangani perjanjian internasional FCTC.

Seperti disampaikan National Profesional for Tobacco Free Initiative Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Dina Kania, isu ini selalu digunakan oleh mereka yang berkepentingan mengingat aturan ini berlaku secara global.

"Ini terjadi di seluruh negara. Seperti misalnya ketika Brasil ingin meratifikasi, hal yang sama juga dialami. Permasalahan tembakau, buruh atau pekerja digunakan untuk mengeksploitasi dan menakut-nakuti pemerintah untuk mengambil kebijakan. Ini sudah jadi praktik umum. Mereka selalu menaruh petani sebagai tameng padahal yang mereka perjuangkan industri mereka sendiri," kata Dina disela-sela acara forum media FCTC versus RUU Pertembakauan di Hotel Sahid, Jakarta, ditulis Rabu (27/8/2014).

Lantas apa yang membuat 178 negara di seluruh dunia mau menerapkan FCTC dalam kebijakan nasional?

Menurut Dina, kebijakan politik suatu negara sangat memengaruhi keputusan dalam hal mengatur rokok. Seperti halnya di China, India , Brasil. Sebagai tiga negara yang memproduksi daun tembakau tertinggi di dunia, keputusan politik pemerintah setempat rupanya akhirnya memenangkan kepentingan masyarakat.

"Pergolakan di setiap negara pasti terjadi. Tapi pada akhirnya keberpihakan pada kepentingan masyarakat lah yang menang. FCTC ini untuk melindungi kesehatan, sosial dan ekonomi generasi bangsa," tukasnya.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya