Liputan6.com, Jakarta Istilah darah biru seperti yang pernah diuraikan dalam artikel "Dari Sinilah Istilah Darah Biru Muncul"Â secara turun temurun dicekokkan pada masyarakat. Orang diberi pemahaman keliru bahwa kaum bangsawanlah yang memiliki darah biru.
Ini, menurut mereka, untuk membedakan posisi atau kedudukan unggul, mulia dibandging rakyat biasa, jelata yang berdarah merah. Dan parahnya idiom ini diterapkan pula untuk memberi sebutan bagi para pendeta (pandhita), kaum kiai masjid keraton sebagai kaum suci dengan darah putih.
Mereka ini dianggap sebagai kaum suci, tak berdosa. Berkat laku yang dijalankannya memeroleh peringkat iman dan takwa yang unggul sehingga mereka juga disebut kaum putihan.
Advertisement
Menurut Budiono Herusatoto dalam Seks Para Leluhur, pernyataan kaum bangsawan sebagai pemilik tunggal 'darah biru' hanyalah pernyataan politik untuk menguatkan posisi.
Sudah saatnya situasi dikembalikan sesuai kenyataan yang sesungguhnya karena pengertian 'darah biru' sebenarnya adalah 'kualitas manusia unggul' (berbudi pekerti, jujur, toleran, pekerja keras, murah hati, rendah hati, bersahaja, dan masih banyak sifat lain yang bisa disebut) yang berlaku untuk siapa saja, tanpa pandangan bulu, semua orang yang berkemampuan tinggi melebihi kemampuan manusia lain yang dalam bahasa Jawa disebut memiliki rah adi (darah yang indah).
Dalam sejarah Indonesia, banyak pemimpin yang berasal dari rakyat jelata. Sebut saja Jenderal Soedirman, Presiden Soekarno, Soeharto, KH. Abdurrahman Wahid dan sekarang Joko Widodo. Tentu masih banyak tokoh yang bisa disebut.
Tentu saja, tak hanya rakyat jelata yang bisa jadi pemimpin, warga biasa dengan kualitas manusiawi yang unggul pun banyak kita temui sekarang ini.
Tujuan utama bicara darah biru dalam pendidikan seks pranikah menurut konsep spiritual leluhur Jawa ini adalah untuk membangunkan kita dari kekeliruan pemahaman dan untuk meletakkan dasar pemahaman baru tentang rahasia 'syarat dan cara melahirkan generasi berdarah biru'.