Liputan6.com, Jakarta Kehamilan umumnya berlangsung 40 minggu. Sementara bayi prematur biasanya lahir saat usia kehamilan baru 34 dan 37 minggu. Tak heran bila kelahiran prematur memberi dampak emosi tak hanya pada ibu yang melahirkan, tapi juga sang ayah.
Baru-baru ini sebuah studi yang dilaporkan dalam JAMA Pediatrics, seperti dikutip dari Foxnews, Senin (25/7/2016) mengungkap para ibu yang melahirkan bayi prematur berpeluang 10 kali lebih tinggi mengalami depresi sesaat setelah melahirkan dibandingkan para ibu yang melahirkan bayinya dalam usia kandungan normal.
Baca Juga
Tak hanya ibu, ayah bayi prematur pun memiliki tingkat depresi yang tinggi yakni 11 kali.
Advertisement
Depresi yang dialami orang tua karena munculnya masalah-masalah yang sering dialami bayi prematur seperti kesulitan bernapas dan mencerna makanan, gangguan penglihatan, pendengaran, dan keterampilan kognitif serta masalah sosial dan perilaku.
Studi ini melibatkan 113 ibu dan 101 ayah dari bayi prematur, serta 117 ibu dan 151 ayah dari bayi yang lahir cukup bulan (37-40 minggu). Semua bayi dilahirkan di Rumah Sakit Royal Children di Melbourne, Australia tahun 2011-2013.
Hasilnya 40 persen ibu, dan 36 persen ayah dengan bayi prematur mengalami depresi. Sementara orang tua dengan bayi yang lahir dengan usia kehamilan normal hanya mengalami depresi 6 persen pada ibu dan 5 persen pada ayah.
Sementara untuk periode pasca kelahiran, 48 persen ibu, 47 persen ayah dengan bayi prematur mengalami kecemasan, 13 persen ibu, dan 10 persen ayah dengan bayi lahir non prematur.
"Temuan kami ini menunjukkan bahwa umum bagi setiap orang tua untuk tertekan saat menghadapi proses kelahiran, tetapi juga penting untuk dicatat bahwa kecemasan dan tekanan ini cenderung tidak meningkat dari waktu ke waktu bagi kebanyakan orangtua," kata penulis utama studi Dr Carmen Pace dari Rumah Sakit Royal Children di Melbourne, Australia.
“Penelitian ini memang lebih banyak difokuskan pada ibu dan depresi pasca kelahiran. Bagaimanapun, penelitian telah menunjukkan bukti baru dari kebutuhan untuk lebih memahami dampak emosional pada ayah, kata Dr Karen Benzies, seorang peneliti pediatri di University of Calgary di Kanada yang tidak terlibat dalam penelitian ini.
Â
Â
Â