Liputan6.com, Jakarta Beberapa tindakan--menguap dan menggaruk misalnya--biasanya menular secara sosial. Artinya, ketika ada satu orang yang melakukan hal ini, kemungkinan orang lain akan mengikuti.
Baru-baru ini, para peneliti dari Washington University School of Medicine di St. Louis telah menemukan, rasa gatal yang menular secara sosial ternyata memang telah tertanam dalam otak. Mengutip Men's Health, Minggu (12/3/2017).
Baca Juga
Mempelajari tikus, para peneliti mengidentifikasi apa yang terjadi pada otak ketika seekor tikus merasa gatal setelah melihat tikus lain menggaruk. Penemuan ini bisa membantu para peneliti memahami sirkuit saraf yang mengontrol tingkah laku yang menular secara sosial.
Advertisement
"Gatal itu sangat menular," ujar pemimpin penelitian, Zhou-Feng Chen, PhD, direktur dari Washington University Center for the Study of Itch. "Terkadang menyebutkan rasa gatal saja sudah membuat seseorang mulai menggaruk. Banyak orang berpikir ini semua hanya sugesti, namun penemuan kami menemukan, ini adalah perilaku yang sudah tertanam dalam otak, dan bukanlah bentuk empati."
Untuk studi ini, tim Chen meletakkan seekor tikus dalam ruangan tertutup yang dilengkapi dengan layar komputer. Para peneliti kemudian memutar video yang menunjukkan seekor tikus lain menggaruk.
"Dalam beberapa detik, tikus di dalam ruangan tadi akan mulai menggaruk juga," ujar Chen. "Ini sangat mengejutkan karena tikus dikenal dengan penglihatan mereka yang buruk. Mereka menggunakan penciuman dan sentuhan untuk mengeksplorasi area, jadi kami sebelumnya tidak yakin dia akan bisa melihat video tadi. Namun, tak hanya tikus itu melihatnya, dia juga tahu bahwa tikus lain dalam video tersebut sedang menggaruk."
Selanjutnya, para peneliti mengindetifikasi sebuah struktur yang disebut suprachiasmatic nucleus (SCN), area otak yang mengontrol kapan seekor binatang tidur atau bangun. SCN tadi sangat aktif setelah si tikus menonton video tikus lain menggaruk tadi.
Hal ini karena, saat menonton video tadi, otak tikus akan melepaskannya senyawa kimia yang disebut GRP (gastrin-releasing peptide). Tahun 2007, tim Chen mengindetifikasi GRP sebagai trasnmitter kunci yang memberi sinyal gatal antara kulit dan saraf tulang belakang.
"Tikus tadi tidak melihat tikus lain menggaruk dan lalu berpikir dia juga perlu menggaruk," ujar Chen. "Alih-alih, otaknya mulai mengirimkan sinyal gatal menggunakan GRP sebagai pengantar pesan.
Artinya, saat melihat tikus lain menggaruk, tikus tadi ikut merasa gatal juga.
Chen juga percaya perilaku yang menular secara sosial ini adalah sesuatu yang tidak bisa dikontrol.