Liputan6.com, Jakarta - Khutbah Pertama
الله أكبر الله أكبر الله أكبر -- الله أكبر الله أكبر الله أكبر -- الله أكبر الله أكبر الله أكبر
Baca Juga
الحمد لله وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله وَحْـدَهُ لاَ شَـرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُـوْلُهُ لَا نَبِيَّ بَعْدَهْ. اَللَّهُمَّ صَّلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ ابْنِ عَبْدِ اللهْ وَعَلَى الِهِ وَأَصْـحَابِهِ ومَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَة أَمَّا بَعْدُ: فَيَا مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِيْنَ أُوصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَا اللهَ فَقْدْ فَازَ الْـمُتَّقُوْنَ. وَقَدْ قـَالَ اللهُ تَعاَلَى فِي الْـقُرْاَنِ الْكَرِيْمِ: " وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ " (البقرة: 186) وقال النبي: "اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ اْلحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ. (رواه الترمذي)
Advertisement
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar wa Lilahil HamdHadirin, Jamaah Shalat 'Id –rahimakumullah-
Marilah dalam kesempatan mengawali bulan Syawal 1446 H/2025 M ini, kita bersama-sama meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah SWT dengan senantiasa berusaha melaksanakan segala perintah-Nya dan terus berupaya meninggalkan larangan-Nya.
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar wa Lilahil HamdHadirin, Jamaah Shalat 'Id –rahimakumullah-
Hari ini seluruh semesta bertakbir, mengagungkan asma Allah SWT, dan pada saat yang sama kita mengakui akan kecilnya kita di hadapan Sang Maha Pencipta, seberapa tinggi kekuasaan dan jabatan kita. Di hari yang fitri ini, umat Islam seluruh dunia menyambutnya dengan penuh suka cita. Gema takbir mengumandang di seluruh jagad. Jutaan suara manusia, desiran ombak, tiupan angin, gerakan tetumbuhan, binatang, semuanya mengumandangkan takbir memuji kebesaran-Nya.
وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ“Dan hendaknya kamu bertakbir mengagungkan nama Allah atas hidayah yang diberikan padamu dan semoga kamu bersyukur (al-Baqarah: 185)
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar wa Lilahil HamdHadirin, Jamaah Shalat 'Id –rahimakumullah-
Alhamdulillah, selama sebulan penuh kita berada di Madrasah Ramadhan, sebuah kawah candradimuka untuk penempaan diri sebagai pembuktian ketaatan dan ketertundukan kita kepada Ilahi Rabbi. Hubungan hamba dengan Rabbnya, yang dimanifestisikan dalam komitmen menjalankan kewajiban. Puasa Ramadhan mengajarkan kedisiplinan soal waktu, mengajarkan kejujuran, mengajarkan keikhlasan, menghindarkan diri dari yang syubhat dan meragukan; membangun empati dan solidaritas kepada sesama, dengan komitmen berbagi untuk kebahagiaan bersama. Semua nilai-nilai luhur itu ditanamkan dengan pola pembiasaan, selama penuh satu bulan. Hari ini kita masuk pada fase inaugurasi, hari raya Idul Fitri, menandai berakhirnya pelatihan diri. Jika dilakukan dengan penuh keimanan dam keikhlasan, maka dosa kita akan diampuni oleh Alah SWT.
Dalam hadits yang sangat terkenal disebutkan : من صام رمضان ايمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه. )رواه الشيخان (“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh iman dan mengharap Ridha Allah, dosanya yang telah lampau diampuni”. (HR. al-Bukhari dan Muslim) Jika telah diampuni, maka diri kita kembali kembali ke fitrah dan jati diri, jati diri kemanusiaan kita saat dilahirkan, sebagaimana dijelaskan dalam hadis lainnya: فمن صامه وقامه إيماناً واحتسابا خرج من ذنوبه كيوم ولدته أمه (رواه النسائي) “Barang siapa saja yang berpuasa dan qiyam Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap ridha Allah maka dia akan keluar seperti orang yang baru dilahirkan ibunya”. Ini berarti orang tersebut kembali kepada fitrahnya. Inilah mengapa hari raya sesudah puasa disebut sebagai Idul Fitri, yang artinya kembali kepada fitrahnya atau kembali kepada kesuciannya, sebagaimana suci bayi. Kita berharap mudah-mudahan semua ibadah kita selama satu bulan itu diterima dan dicatat oleh Allah swt sebagai amal saleh dan ikhlas semata-mata karena Allah.
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar wa Lilahil HamdHadirin, Jamaah Shalat 'Id –rahimakumullah-
Setelah sebulan kita melaksanakan ibadah ramadhan, dan setelah melaksanakan Takbir sebagai pengagungan asma Allah SWT serta ibadah zakat fitri, maka kita semua hari ini berharap dapat menyempurnakan ibadah dengan berhari raya idul fitri. Esensi dari Idul Fitri di bulan Syawwal ini adalah semangat saling memaafkan, kerelaan hati untuk mengakui kesalahan untuk kemudian membuka diri untuk saling memberi dan menerima. Sikap saling memaafkan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ibadah puasa. Ibadah puasa mempunyai tujuan penciptaan pribadi yang taqwa, sementara sifat pemaaf mendekatkan pada ketaqwaan, sebagaimana firman-Nya:
وَاَنْ تَعْفُوْٓا اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۗ وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ (البقرة: 237)“Dan permaafan kamu itu lebih dekat pada taqwa, dan janganlah kau lupakan keutamaan antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas apa yang kamu lakukan”. Dengan demikian, kesempurnaan fitrah yang kita harapkan ini adalah dengan saling memberikan maaf antar sesama, sebesar apapun dosa itu. Penghapusan dosa kepada Allah jauh lebih mudah dari pada dosa kepada manusia. Hal ini karena manusia mempunyai kecenderungan untuk tidak berbuat baik, akibat nafsunya. Untuk itu, melalui momentum ‘Idul Fitri, kita buka pintu maaf seluas-luasnya, kepada siapapun, dengan tanpa syarat apapun.
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar wa Lilahil HamdHadirin, Jamaah Shalat 'Id –rahimakumullah- Idul Fitri merupakan sebuah inaugurasi atas kesucian diri, setelah penempaan mental spiritual kita secara pribadi, menjadi pribadi dengan keimanan kuat, keyakinan kokoh, dan hati yang bersih. Instrumen ibadah Ramadhan dan Idul Fitri itu harus menjelma dalam integritas diri; dalam ucapan dan tindakan, yang senantiasa melahirkan kebaikan bagi sesama. Bukan hanya kepada sesama manusia, tetapi kepada sesama makhluk ciptaan-Nya.Integritas diri yang dihasilkan dari Ibadah Ramadhan setidak meliputi tiga hal; (i) komitmen menjaga lisan; (ii) komitmen kejujuran dan kedisiplinan; serta (iii) menjaga diri dari yang syubhat dan melanggar etika.
Yang pertama, Integritas diri dimulai dengan komitmen menjaga lisan kita agar selalu berkata benar, adil, dan tidak menipu. Hubungan kita dengan Allah dan hubungan kita dengan sesama harus seimbang, tidak boleh timpang. Dengan Allah SWT baik, rajin shalat dan seluruh ibadah mahdlah terlaksananya secara baik, tapi dengan kerabat, tetangga, ataupun sahabat kurang baik, ini tidak dibenarkan. Puasa kita akan sia-sia sungguhpun kita tunaikan secara baik, seluruh syarat rukunnya kita jaga, jika ternyata kita tidak menjaga lisan dan tindakan kita menyakiti sesama. Warning nabi saw:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan kotor, maka Allah SWT tidak butuh dia meninggalkan makan dan minum”.
Dalam praktek kehidupan keseharian kita, seringkali kehormatan dan keselamatan diri terletak pada kemampuannya dalam mengendalikan lisan. Dalam maqolah arab disebutkan:
سلامة الإنسان في حفظ اللسان “Keselamatan manusia itu terdapat pada ia menjaga lisannya”.
Ini menunjukkan kepada kita bahawa ketika seseorang mampu menjaga lisannya dari perkataan yang tidak baik maka ia akan selamat, baik hidup di dunia maupun di akhirat, dan sebaliknya ketika seseorang tidak mampu menjaga lisannya dari perkataan yang tidak baik, maka hidupnya tidak akan selamat, baik hidup di dunia maupun hidup di akhirat.Selain itu, Nabi Muhammad SAW bersabda :من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرًا أو ليصْمُت“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaknya katakanlah perkataan yang baik, atau lebih baik diam”. Dalam konteks era digital seperti hari ini, kemampuan menjaga lisan dapat termanifestasikan dalam kehati-hatian kita dalam produksi konten di media digital, khususnya media sosial, meliputi komentar, like, subscribe, dan penyebaran konten-konten yang berisi hoax, fitnah, ghibah, dan hal-hal yang tidak sejalan dengan ketentuan agama serta bisa jadi merugikan orang lain. Tidak jarang muncul masalah yang bisa mengganggu harmoni, bahkan mencelakakan diri, karena bermula dari lisan yang tak terjaga. Karena lisan dan jempol yang tidak terkontrol, bisa menjerumuskan seseorang ke dalam dosa dan hina, bahkan bisa berhadapan dengan hukum dan berakhir di penjara.
Saat momentum mudik lebaran; bertemu dengan keluarga, dan sanak saudara, tujuan utamanya adalah silaturrahim, merekatkan hubungan kekeluargaan. Akan tetapi, tujuan mulia silaturrahim bisa sirna hanya karena lisan yang tak terjaga. Karena itu, bagian dari taruhan integritas kita adalah jaga lisan kita, dengan cara tidak menjelek-jelakan orang lain, tidak menyakiti perasaan orang lain, tidak melakukan body shaming kepada orang lain, dan tidak menghina orang lain. Karena orang yang menghina belum tentu ia lebih mulia di hadapan Allah. Allah SWT berfirman dalam QS al-Hujurat ayat 11:يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُوا۟ خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَآءٌ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا۟ بِٱلْأَلْقَٰبِ ۖ بِئْسَ ٱلِٱسْمُ ٱلْفُسُوقُ بَعْدَ ٱلْإِيمَٰنِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar wa Lilahil HamdHadirin, Jamaah Shalat 'Id –rahimakumullah-
Yang kedua, komitmen kejujuran. Kita dituntut untuk senantiasa berlaku jujur dalam setiap aspek kehidupan, baik dalam hubungan pribadi, keluarga, pekerjaan, maupun masyarakat. Rasulullah SAW juga mengajarkan kita untuk selalu menjaga kejujuran dan amanah, karena dalam kejujuran terdapat keberkahan.Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا زَالَ رَجُلٌ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِندَ اللَّهِ صِدِّيقًا."Kalian harus berlaku jujur. Karena sesungguhnya kejujuran itu akan membawa kepada kebaikan, dan kebaikan akan membawa kepada surga. Seseorang yang senantiasa berkata jujur dan berusaha menjaga kejujuran akan dicatat sebagai orang yang sangat jujur di sisi Allah." (HR. Bukhari dan Muslim) Puasa mengajarkan nilai kejujuran yang ditanamkan dalam diri setiap orang yang berpuasa. Setiap orang yang berpuasa karena Allah, ia jujur kapan memulai dan kapan mengakhiri. Tidak berani untuk khianat, dengan mengurangi durasi waktu, walau sedetik saja.
Tak ada yang mengetahui hakekat puasanya setiap kita kecuali diri kita dan Allah SWT. Karena itulah Allah SWT memberikan balasan spesial terhadap ibadah puasa, dalam hadis qudsinya:كل عمل ابن آدم له إلا الصوم فإنه لي وأنا أجزي به )رواه البخاري ( “Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa, sebab ia hanyalah untukku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran padanya secara langsung ”. (HR Bukhari). Bagaimana firman itu dipahami? Imam An-Nawawi telah menyebutkan beberapa pendapat para Ulama salaf dalam penjelasan mengenai hal ini. Dijelaskan bahwa puasa adalah ibadah yang hanya dilakukan untuk Allah SWT semata, tidak ada orang musyrik yang mendekatkan diri kepada berhala-berhala mereka dengan cara berpuasa. Ibadah puasa juga jauh dari riya' (pamrih, ingin dilihat orang) karena sifatnya yang tersembunyi. Tidak ada yang mengetahui hakekat puasa kecuali dirinya dan Allah SWT. Puasa berbeda dengan shalat, zakat, dan juga haji, yang memungkinkan orang menunaikannya karena pamrih manusia. Salah satu sifat jujur yang diapresiasi adalah kejujuran untuk mengakui kesalahan.
Tidak ada seorangpun terbebas dari kesalahan dan dosa; baik penguasa maupun rakyat jelata; ulama dan orang awamnya; pejabat maupun pegawainya. Seluruh kita pernah berbuat salah dan dosa, baik dosa kepada Pencipta maupun kepada sesama manusia. Namun, sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat. Nabi saw bersabda:
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ“Setiap anak adam itu memiliki kesalahan, dan sebaik-baik orang yang salah adalah mereka yang bertaubat” (HR. Ahmad dan Ibn Majah)
Imam al- Nawawi dalam kitab Al-Adzkar (2/845) menjelaskan, ada 3 (tiga) syarat dalam melaksanakan taubat nasuha atas dosa yang dilakukan kepada Allah:
اعلم أن كل من ارتكب معصية لزمه المبادرة إلى التوبة منها ، والتوبة من حقوق الله تعالى يشترط فيها ثلاثة أشياء : أن يقلع عن المعصية في الحال . وأن يندم على فعلها . وأن يعزم ألا يعود إليها
Ketahuilah bahwa setiap orang yang melaksanakan dosa maka wajib baginya segera melakukan taubat (nasuha). Adapun taubat dari dosa kepada Allah (haqqullah) ada tiga syarat; (i) berhenti dari perbuatan dosa itu seketika itu juga. (ii) menyesali perbuatannya; dan (iii) berkomitmen untuk tidak mengulangi lagi.
Sementara itu, jika kesalahan itu terhadap sesama manusia, maka di samping ketiga syarat di atas, harus ada syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu membebaskan diri dari hak manusia yang dizalimi dengan cara, apabila menyangkut harta dengan cara mengembalikan harta tersebut atau meminta diikhlaskan; dan apabila menyangkut non-materi seperti memfitnah, melakukan ghibah, menipu, dan sejenisnya maka hendaknya meminta maaf kepada yang bersangkutan.Komitmen integritas diri kita diuji, sejauh mana kemauan, kemampuan dan keberanian kita untuk mengakui kesalahan, bertaubat, dan kemudian memberi maaf kepada orang lain, sekalipun orang lain tidak memintanya. Dalam konteks ini, sebagai orang yang memiliki kesalahan harus terlebih dahulu berinisiatif untuk meminta maaf. Sebaliknya, tanpa diminta, kita berinisiatif untuk membuka pintu maaf dan selalu siap memaafkan.
Bisa jadi, saat interaksi sosial, termasuk pekerjaan profesional kita, kita menyinggung, menyindir, dan/atau menyakiti orang lain, sengaja atau tidak sengaja, saatnya kita proaktif meminta maaf dan melakukan perbaikan diri. Sebaliknya, kita buka dada kita lebar-lebar untuk memaafkan orang yang bersalah kepada kita, memfitnah kita, menjelekkan kita, tanpa harus menunggu orang lain meminta maaf. Sikap kesatria ini akan menyebabkan kemuliaan dan integritas kita, sebagaimana sabda baginda Rasulullah saw:"مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا. وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ ِللهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ”.“Tidaklah sedekah itu mengurangi harta dan Tidaklah Allah menambah seorang yang suka memberi maaf kecuali kemuliaan, dan tidaklah seorang yang tawadlu’ (merendahkan diri) kepada Allah kecuali ditinggikan derajatnya oleh Allah”. (HR. Muslim)Kejujuran juga merupakan salah satu tanda ketakwaan seseorang kepada Allah SWT, yang menjadi ciri utama dari integritas, sebagaimana dijelaskan dalam Surah At-Taubah ayat 119:يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا"Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar."
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar wa Lilahil HamdHadirin, Jamaah Shalat 'Id –rahimakumullah- Yang ketiga adalah, komitmen untuk sikap wara’, menjaga diri dari yang syubhat, atau ketidakjelasan. Wara’ dalam bahasa Arab berarti menjaga diri, khususnya dari perkara yang tidak jelas atau meragukan. Dalam konteks agama, wara' adalah berhati-hati agar tidak terjerumus dalam perbuatan yang haram atau yang syubhat (meragukan). Orang yang memiliki sifat wara' adalah orang yang menjaga diri dengan sangat hati-hati dalam setiap tindakannya, memastikan bahwa apa yang dilakukannya sesuai dengan syariat dan tidak mendekati hal yang dilarang oleh Allah.Nabi Muhammad SAW bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim:إِنَّ الحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ استَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنِ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الحَرَامِ) رواه البخاري ومسلم("Yang halal itu jelas, yang haram itu jelas, dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa yang menjaga dirinya dari perkara-perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjatuh dalam perkara syubhat, maka ia telah jatuh dalam yang haram." (HR. Bukhari dan Muslim)Hadits ini mengingatkan kita untuk selalu berhati-hati dalam memilih tindakan dan menghindari segala bentuk yang meragukan.
Dalam konteks konsumsi, jika ada ketidakjelasan mengenai status halal-haramnya, maka untuk kepentingan kehati-hatian, maka perlu dihindari hingga ada kejelasan halal-haramnya. Ketika kita menjadikan pusat kuliner menjadi salah satu destinasi untuk bersilaturrahmi, tempat bertemu dan menjamu sanak saudara, maka harus dipastikan pusat kuliner tersebut telah jelas kehalalannya. Pada saat kita hendak memilih pusat jajanan atau restaurant untuk makan, sementara belum jelas halal-haramnya, belum ada tanda sertiikat halalnya, maka sudah seharusnya kita menghindarinya, sebagai upaya menjaga diri dari yang syubhat. Ini bagian dari sifat wara’ yang menjadi elemen penting dalam menjaga integritas diri, agar tidak terjerumus kepada yang dilarang. Demikian juga dalam konteks tindakan, khususnya dalam hal penghukuman. Jika ada keraguan dalam memperoleh bukti apakah seseorang bersalah atau tidak, maka langkah yang hati-hati adalah mengambil jalan untuk memaafkan dan tidak menghukum. Tidak boleh memaksakan diri menghukum seseorang tanpa bukti yang meyakinkan. Ada kaedah hukum Islam yang dapat dijadikan panduan, yaitu:الحدود تسقط بالشبهات Hukum gugur karena sesuatu yang syubhat.
Hal ini didasarkan pada hadis nabi SAWادرؤوا الحدود بالشبهات عن المسلمين ما استطعتم فان وجدتم المسلم مخرجا فخلوا سبيله
Hindarilah hukuman-hukuman sebab adanya sesuatu yang syubhat (ketidakjelasan) dari orang-orang Islam semampumu. Apabila engkau menemui jalan keluar (selain hukuman), maka tempuhlan jalan itu.
Jika ada keraguan dalam pengumpulan bukti mengenai dugaan kesalahan, maka kita dilarang memaksakan diri untuk menghukum seseorang, hingga ada bukti-bukti valid yang menunjukkan kesalahannya. Bahkan, ketika ada kesalahan, sementara orang yang bersalah tersebut mengakui dan ada komitmen untuk melakukan perbaikan, maka sedapat mungkin mencari jalan keluar perbaikan tanpa harus dengan pendekatan penghukuman. Karenanya, kesalahan dalam memberikan permaafan lebah baik dari pada kesalahan dalam menjatuhkan hukuman, sebagaimana kaedah hukum Islam yang bersumber dari hadis nabi saw:
الخطأ في العفو خير من الخطأ في العقوبة“Salah dalam memaafkan lebih baik dari pada salah dalam menghukum”
Dalam konteks relasi sosial, orang yang bersikap wara’ cenderung untuk lebih banyak diam dan mendengar, menghindarkan diri dari ucapan dan perbuatan yang sia-sia. Orang yang wara' akan berhati-hati dalam perkataan dan perbuatannya, tidak menyebarkan kebohongan atau fitnah. Ia akan memastikan bahwa kata-katanya tidak mengarah kepada hal yang merusak atau menyesatkan orang lain. Rasulullah saw mengingatkan kita: مَن لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ) رواه البخاري("Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dengannya, maka Allah tidak membutuhkan puasa orang tersebut." (HR. Bukhari) Dalam pelayanan sosial, orang yang bersikap wara’ cenderung memberikan kemudahan dalam urusan orang lain, serta menutup aib orang lain dengan tidak mengumbarnya menjadi bahan gunjingan. Ini sejalan dengan tuntunan Rasulullah saw:
وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ، يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ. وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِماً سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ. وَاللهُ في عَوْنِ العَبْدِ مَا كَانَ العَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ. “Barangsiapa yang memberi kemudahan orang yang kesulitan, maka Allah akan memberi kemudahan baginya di dunia dan akhirat. Barang siapa yang menutup aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan di akhirat. Siapa saja yang menolong saudaranya, maka Allah akan menolongnya sebagaimana ia menolong saudaraya. (HR. Muslim)
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar wa Lilahil HamdHadirin, Jamaah Shalat 'Id –rahimakumullah- Sebagai catatan akhir khutbah ini, usai Ramadhan, akan ada sebelas bulan ke depan sebagai ujian lapangan atas kegagalan dan/atau keberhasilan Diklat Ramadhan yang telah kita tempuh dalam sebulan. Jangan sampai puasa kita tak memperoleh apa-apa, kecuali hanya sekedar lapar dan dahaga. Sebagaimana disindir oleh baginda Rasulillah saw dalam hadisnya:كم من صائم ليس له من صومه إلا الجوع والعطش “Berapa banyak orang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain lapar dan dahaga,” (HR An-Nasai dan Ibnu Majah).
Puasa yang berkualitas merupakan puasa istimewa yang dapat dicapai bukan sekadar menggeser waktu makan dan minum, tetapi juga mengendalikan nafsu, mampu menjaga lisan, membiasakan kejujuran, dan sifat wara’ dalam kehidupan. Mari kita manfaatkan momentum pasca Ramadhan untuk terus membangun peribadi berintegritas. Puasa yang telah kita jalani seharusnya menjadi bekal untuk hidup yang lebih baik, menjaga lisan, lebih jujur, amanah, wara’ dan penuh dengan akhlak yang mulia. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kita kekuatan untuk menjaga integritas dan terus memperbaiki diri dalam setiap aspek kehidupan. بَارَكَ اللهَ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَ جَعَلَنَا اللهُ مِنَ الْعَائِدِيْنَ وَالْفَائِزِيْنَ ، وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ.
Oleh: Prof. Dr. KHM. Asrorun Niam Sholeh, MA
Ketua MUI Pusat Bidang Fatwa dan Pengasuh Pesantren al-Nahdlah Depok