Fenomena Mengungsi ke Hotel Selama Ditinggal Mudik Pembantu

Dampak dari fenomena mengungsi ke hotel saat ditinggal mudik pembantu untuk si kecil

oleh Aditya Eka Prawira diperbarui 24 Jun 2017, 10:00 WIB
Diterbitkan 24 Jun 2017, 10:00 WIB
Ngungsi hotel selama pembantu mudik
Dampak dari fenomena mengungsi ke hotel saat ditinggal mudik pembantu untuk si Kecil

Liputan6.com, Jakarta Marsha dan Fitri adalah dua orang ibu yang akan "mengungsi" ke hotel selama ditinggal mudik pembantu. Fitri memilih hotel di Sukabumi karena sambil mudik selama empat hari. Sedangkan Marsha memang sudah menjadikan "mengungsi ke hotel" sebagai rutinitas selama tiga tahun belakangan ini.

Mereka punya alasan yang mirip. Baik Marsha maupun Fitri memilih menginap agak lama karena malas jika harus pulang ke rumah tetapi tak ada sosok si mbak yang siap membantu membereskan rumah.

"Karena enggak sanggup mengurus anak plus rumah sendirian. Kalau di hotel enggak usah beberes rumah. Habis makan tinggal tinggalin saja," kata Fitri. Selain tentunya agar anak-anaknya merasa senang dan bahagia selama liburan.

"Aku itu bukannya enggak mau mengurus rumah dan anak. Namun, semenjak anak kedua lahir, semangat buat mengurus rumah itu kendur. Sudahlah, semuanya aku serahkan ke si Mbak," kata Marsha yang seorang akuntan di sebuah perusahaan swasta di Jakarta.

Fenomena mengungsi di hotel ini disadari betul oleh psikolog anak, Yeti Widiati. Di satu sisi, itu adalah hak masing-masing orang, tetapi dilihat dari kacamata psikolog tentu amat disayangkan.

Menurut Yeti, ditinggal mudik pembantu selama Lebaran seharusnya dijadikan kesempatan oleh para orangtua untuk lebih dekat dengan anak-anaknya.

"Untuk orangtua dengan anak yang masih berumur balita bisa memilih mengurangi pekerjaan di kantor dan main lebih banyak bersama anak. Untuk anak yang sudah besar, kesempatan bagi para orangtua mengajarkan buah hati tercinta untuk tanggung jawab. Melakukan sesuatu yang biasa dikerjakan oleh pembantu," kata Yeti.

Kerugian lain dari fenomena mengungsi di hotel ini adalah anak jadi tidak diajarkan sebuah proses. Dalam hidup, kata Yeti, ada sebuah proses yang harus dilalui untuk mau mencapai sesuatu. Misal, mengajarkan anak bagaimana piring yang semula kotor bisa kembali bersih.

"Anak yang masih balita bisa diajarkan kalau habis makan piringnya taruh saja di tempat pencucian piring. Ketika anak sudah lebih besar, biarkan dia untuk mengambil makanannya sendiri, dan cuci piring tersebut sampai bersih. Begitu seterusnya. Karena dengan begitu anak bisa mengenal yang namanya proses," kata Yeti menekankan.

Menurut Yeti, anak-anak yang diajak mengungsi ke hotel oleh orangtuanya selama ditinggal mudik pembantu pun akan kehilangan kesempatan belajar tentang keterampilan diri.

"Yang akan tertanam di benak seorang anak, semuanya bisa selesai dengan uang. Baju kotor mau kembali rapi tinggal ke laundry. Enggak mau repot karena tak ada pembantu, menginap di hotel," kata Yeti.

Kita, kata dia, tidak pernah tahu sampai kapan akan berada di posisi atas. Tidak akan kebayang kalau tiba-tiba saja uang yang tadinya banyak mendadak hilang. Yang terjadi kemudian adalah anak akan "mundur" lagi ke belakang untuk belajar.

"Yang ditakutkan adalah anak jadi tidak siap atau bahkan tidak bisa menerima kalau dia harus hidup mandiri," kata Yeti.

Semua itu dikembalikan lagi ke orangtua masing-masing. Sebagai psikolog, Yeti hanya mengingatkan jangan sampai hal-hal yang tidak diinginkan itu terjadi.

Seharusnya, dengan ketiadaan pembantu rumah tangga, orangtua lebih leluasa dalam mengajarkan anak untuk mandiri dengan cara beres rumah atau cuci kendaraan pribadi bersama-sama.

Belum lagi untuk orangtua yang super sibuk, yang dalam kehidupan sehari-hari menyerahkan sepenuhnya pengasuhan ke pembantu.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya