Sesudah Nonton Avengers: Infinity War, Salahkah Jika Merasa Setuju dengan Thanos

Thanos, penjahat utama dalam Avengers: Infinity War, punya ambisi menciptakan keseimbangan dalam semesta.

oleh Liputan6.com diperbarui 03 Mei 2018, 09:00 WIB
Diterbitkan 03 Mei 2018, 09:00 WIB
Avengers Infinity War
Aktor Josh Brolin saat beradegan dalam film Avengers Infinity War. Josh Brolin berperan sebagai Thanos di film tersebut. (Marvel Studios via AP)

Liputan6.com, Jakarta Spoiler alert

Sedih seusai menonton Avengers: Infinity War sudah menjadi rahasia umum. Sebagian bahkan bilang depresi dan patah hati karena kematian lebih dari 12 pahlawan super dalam satu serial merupakan kejutan yang tidak diantisipasi.

Di antara orang-orang yang kecewa karena akhir cerita Avengers: Infinity War, ada juga orang-orang yang bingung harus bersikap karena mereka sepaham dengan Thanos, bahwa semesta ini butuh keseimbangan.

Salahkah kita jika setuju dengan villain atau penjahat dari sebuah film?

Baik dan Jahat Tidak Sesederhana Hitam Putih

Dunia perfilman belakangan ini mengajak kita memasuki area abu-abu, menipiskan batas antara yang baik dan yang jahat. Film-film Marvel dan DC berusaha menjabarkan alasan di balik sosok antagonis, tentang mengapa mereka menjadi “jahat”, atau mengapa mereka memutuskan untuk berbuat “jahat”.

Dalam Avengers: Infinity War, kematian 12 pahlawan super adalah kenyataan pahit yang harus diterima. Ditambah lagi kematian separuh populasi semesta. Akan tetapi, Thanos melakukan genosida (pembunuhan massal) untuk alasan yang baginya "benar", bahwa semesta ini butuh keseimbangan.

Dalam kacamata Thanos, populasi makhluk hidup yang terlalu banyak pada akhirnya akan menciptakan ketidakseimbangan, seperti kemiskinan dan kelaparan. Manusia dan makhluk-makhluk di semesta lain akan menggunakan segala cara untuk mendapatkan makanan dan kekuasaan.

Thanos tidak menginginkan kekacauan itu. Thanos tidak mengingkan manusia saling membunuh untuk mendapatkan makanan dan kekuaasan. Maka dari itu, Thanos memilih menghilangkan separuh manusia dengan kekuatan enam infinity stones yang tersebar di berbagai penjuru semesta.

Saksikan juga video menarik berikut ini:

 


Sense of Purpose dan Pengorbanan Seorang Villain

[Bintang] Thanos
Thanos sendiri adalah musuh utama dalam film Avengers: Infinity War. Jadi nggak heran kalau banyak yang ingin tahu siapa yang memerankan tokoh itu. (Sideshow Collectibles)

Berbeda dengan tokoh pahlawan dalam sebuah film yang tujuannya "hanya" menjaga kedamaian dunia. Tujuan seperti itu terasa membosankan dan terlalu utopis, terlebih lagi dalam sebuah film. Sosok-sosok pembela dunia tidak ada dan tidak bisa dibayangkan hadir di dunia nyata.

Sebaliknya, sosok villain memiliki tujuan yang teramat nyata. Sebuah ambisi yang diyakininya baik untuk dirinya dan juga untuk banyak orang. Siapa pun di luar sana yang memiiki ambisi hidup yang kuat, sedikit banyak bisa memahami perasaan itu.

Sense of purpose tersebut digambarkan sangat kuat dalam film melalui kematian Gamora, putri asuh Thanos. Demi mendapatkan soul stone, Thanos harus mengorbankan seseorang yang ia cintai untuk ditukarkan jiwanya dengan soul stone. Di saat itulah kita menyaksikan air mata mengalir dari mata Thanos. Di saat itulah kita tahu bahwa Thanos bukanlah sekadar sosok jahat. Ada sisi-sisi manusiawi dari seorang Thanos yang digambarkan dalam film Avengers: Infinity War.

Film ini membuat kita bisa memahami fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kita sering mengabaikan orang yang kita cintai untuk ambisi dan pencapaian lain dalam hidup kita. Demikian yang digambarkan oleh Thanos.

Ia rela mengorbankan nyawa anak asuhnya, Gamora, untuk mendapatkan soul stone. Meski tidak seekstrem itu, ada sisi-sisi manusiawi yang berhasil disentuh film ini yang bisa membuat kita merefleksikan kehidupan.

 


Redefinisi Moral

Avengers Infinity War
(baris depan dari kiri) Danai Gurira, Chadwick Boseman, Chris Evans, Scarlet Johansson dan Sebastian Stan beradu akting dalam film Avengers Infinity War. Film ini dijadwalkan dirilis di Indonesia pada 25 April 2018. (Chuck Zlotnick/Marvel Studios via AP)

Orang-orang jahat tidak menyadari dirinya jahat karena di kepala mereka selalu ada berjuta alasan bahwa yang mereka lakukan adalah hal baik dan benar. Bahkan, mereka merasa bahwa mereka adalah pahlawan yang telah melakukan perbuatan baik demi greater goods.

Orang-orang yang berbuat jahat telah menjustifikasi perilakunya, sehingga mereka merasa bahwa yang mereka lakukan adalah tindakan yang baik. Sekali pun mereka tahu bahwa tindakannya tidak baik, justifikasi moral tersebut membantu mereka memisahkan diri dari perbuatan itu. Hal ini membuat mereka merasa bahwa bukan mereka yang melakukan perbuatan itu, tetapi mereka harus melakukan perbuatan itu.

Semua hal ini membuat kita kemudian mempertanyakan, apa itu sebenarnya jahat? Apa itu buruk? Apakah ‘normal’ memang sesuatu yang nyata? Pada akhirnya, film ini tidak se-hitam putih yang kita bayangkan. Jika memang kita mau cukup terbuka untuk memahami perilaku orang lain, maka kita bisa menemukan hal lain di balik perilaku seseorang.

Di balik sosok jahat Thanos, ternyata ada sisi humanis yang ia simpan, meski perwujudan kebaikan itu diselimuti oleh cara-cara jahat. Setiap orang tetap memiliki alasan mengapa ia berbuat jahat. Bagaimana kita mampu memahami alasan di balik itu semua yang menentukan.

Tulisan Regis Machdy dari Pijar Psikologi untuk Liputan6.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya