Liputan6.com, Jakarta Sebuah penelitian mengungkap ada dua mainan anak-anak yang bisa memicu penyakit kulit bernama dermatitis kontak.
Kondisi anak yang mengalami dermatitis kontak ditandai berupa ruam merah, gatal karena yang disebabkan kontak kulit dengan zat yang mengiritasi. Meskipun tidak mengancam jiwa, namun hal tersebut akan terasa sangat tidak nyaman.
Baca Juga
Melansir Reader's Digest pada Selasa (14/9/2018), sebuah penelitian di Universitas Alberta, Kanada menemukan hubungan antara ruam yang muncul pada seorang anak dengan waktu lama dirinya bermain sebuah permainan gim di komputer, Minecraft.
Advertisement
Penelitian yang terbit di Journal of Cutaneous Medicine and Surgery itu melaporkan, seorang anak laki-laki 12 tahun datang ke dokter dengan ruam mirip eczemalike di lengan kanannnya.
Tim medis tidak bisa mengidentifikasi penyebabnya sampai sang ibu mengatakan bagaimana dia menghabiskan liburan musim panasnya.
"Kegiatan bermainannya difasilitasi oleh waktu luang yang melimpah selama liburan musim panas dan akses ke meja komputer khusus," tulis ketua penulis studi, John F. Elliott, MD.
Bocah tersebut memainkan permainan gim Minecraft di meja dengan engsel logam yang terbuat dari nikel. Hal tersebut membuat kulitnya iritasi.
Kemudian, setelah engsel ini ditutupi dengan alas mouse, ruamnya menghilang.
Simak juga video menarik berikut ini:
Â
Slime
Sebuah penelitian lain di Universitas Antwerp, Belgia juga menemukan sebuah mainan populer yang mampu menyebabkan dermatitis kontak. Masalah kulit itu ditimbulkan dari mainan slime.
Peneliti menyebutkan pada sebagian anak, slime bisa menyebabkan ruam merah gatal di tangan. Berdasarkan riset, sudah ada dua kasus anak yang mengalami dermatitis kontak kategori berat pada telapak tangan.
Keduanya bermain dengan slime terbuat dari lem tekstil dan deterjen rumah tangga, yang mengandung konsentrasi tinggi bahan kimia dengan potensi iritasi. Ketika mereka berhenti memainkan slime, ruam tersebut hilang.
"Karena slime nampaknya menjadi tren baru di antara anak-anak, kami berharap dapat melihat lebih banyak kasus dalam waktu dekat," ujar Olivier Aerts yang merupakan rekan penulis studi.
Advertisement