Kiprah Penyandang Tuli Jadi Relawan Bencana Alam

Penyandang disabilitas bisa dilatih agar tangguh menghadapi bencana alam.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 11 Nov 2019, 11:00 WIB
Diterbitkan 11 Nov 2019, 11:00 WIB
Penyandang Disabilitas
Rafika, penyandang disabilitas asal Sulawesi Tengah dilatih tangguh hadapi bencana alam dan tergabung dalam Ageing dan Disability Focal Point (ADFP). (Printscreen Video CBM Humanitarian Response)

Liputan6.com, Jakarta Walaupun masuk kategori penyandang disabilitas, Rafika rupanya ikut andil dalam menghadapi bencana alam yang terjadi di daerah tempat tinggalnya. Di tengah keterbatasan pendengaran (tuli), semangat Rafika menolong antar-sesama yang senasib dan orang lanjut usia (lansia) terpancar dari matanya.

Penyandang disabilitas pun bisa dilatih tanggap bencana layaknya relawan dan petugas kemanusiaan lainnya. Rafika ikut andil menangani korban gempa Palu, Sulawesi Tengah pada 28 September 2018.

Ia tergabung dalam anggota CBM Indonesia, Humanitarian Response, Ageing dan Disability Focal Point (ADFP) sebagai Fasilitator Lapangan.

 

 “Nama saya Rafika. Saya ini tuli. Sebagai anggota ADFP, saya bertugas mengumpulkan data lansia dan penyandang disabilitas,” tutur Rafika melalui video singkat yang diterima Health Liputan6.com, ditulis Minggu (10/11/2019).

 

Video berdurasi 3 menit 12 detik menunjukkan, Rafika sedang mendata nama-nama lansia dan penyandang disabilitas. Tak terlihat ia kesulitan berbicara. Rifai Diamaludin, ayah dari Rafika senang anak perempuannya mengikuti kegiatan ADFP.

“Setelah ikut kegiatan di ADFP, anak saya terlihat percaya diri,” komentar Rifai. “Dia jadi lebih percaya diri dalam berinteraksi dengan masyarakat.

Simak Video Menarik Berikut Ini:

Pelatihan Pengurangan Risiko Bencana

Penyandang Disabilitas
Rafika, penyandang disabilitas asal Sulawesi Tengah dilatih tangguh hadapi bencana alam dan tergabung dalam Ageing dan Disability Focal Point (ADFP). (Printscreen Video CBM Humanitarian Response)

Rafika pun mengaku, tidak malu dan berani mengobrol dengan masyarakat. “Saya senang bisa berinteraksi dengan orang banyak,” lanjutnya.

Rasa percaya diri diperoleh Rafika setelah dirinya mendapatkan pelatihan pengurangan risiko bencana. Pelatihan tersebut mempelajari cara berkomunikasi dan pengetahuan terkait bencana. Simulasi tanggap bencana juga dibutuhkan bagi lansia dan penyandang disabilitas.

Apalagi penyandang disabilitas yang ikut terlibat menangani bencana. Lansia dan penyandang disabilitas merupakan kelompok rentan saat bencana alam terjadi. Butuh kesiapsiagaan tanggap darurat bencana.

 

"Penyandang disabilitas dapat lebih bermanfaat di lingkungannya. Jika sudut pandang ini diubah, mereka juga bagian dari kita", ucap aktivis Humanitarian Inclusion Advisor, CBM, Cucu Saidah yang sudah 19 tahun terlibat dalam inklusi disabilitas. 

"Sebaiknya dalam pelatihan kesiapsiagaan, penyandang disabilitas digabungkan dengan yang lain (non-disabilitas), sehingga mereka dapat pembelajaran baru.”

 

 

Indonesia sudah mempunyai peraturan untuk penyandang disabilitas, di antaranya, Peraturan Pemerintah UU Nomor 8 Tahun 2016 dan Peraturan Kepala BNPB Nomor 14 tahun 2014.

Peraturan berisi penanganan, perlindungan, dan partisipasi penyandang disabilitas dalam penanggulangan bencana. Mereka berhak mendapatkan informasi yang benar soal bencana dan pengetahuan yang sama dalam penanggulangan bencana.

Terlibat dalam Kesiagsiagaan Bencana

Penyandang Disabilitas
Rafika, penyandang disabilitas asal Sulawesi Tengah dilatih tangguh hadapi bencana alam dan tergabung dalam Ageing dan Disability Focal Point (ADFP). (Printscreen Video CBM Humanitarian Response)

Ketua Gerakan Kesejahteraan untuk Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin) Provinsi Jawa Timur, Maskurun menyampaikan, penyandang disabilitas butuh informasi lebih banyak terkait informasi kebencanaan. Penyandang disabilitas juga tidak hanya menunggu bantuan pemerintah, tapi berperan aktif berpartisipasi mengurangi risiko bencana.

 

"Sudah empat tahun saya terlibat dalam kegiatan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Inklusif. Saya banyak belajar dan butuh banyak informasi untuk disampaikan kepada kaum tuli," jelas Yuyun, sapaan akrabnya dalam bahasa isyarat.

 

Dari pemaparan yang diterima Health Liputan6.com, Yuyun mendirikan lembaga keterampilan menjahit untuk meningkatkan kapasitas serta membuka peluang kerja bagi penyandang disabilitas di Kediri, Jawa Timur. Wanita kelahiran, Kediri, 30 April 1973 ini aktif terlibat mengurangi risiko bencana.

Berbagai pelatihan ia ikuti dan selenggarakan. Di tingkat kabupaten/kota dan provinsi, ia pernah bekerjasama dengan BPBD Kediri menyelenggarakan pelatihan relawan bagi penyandang disabilita. Pemerintah Kota Kediri berkomitmen meningkatkan kapasitas tenaga relawan untuk memberikan bantuan yang tepat bagi penyandang disabilitas jika terjadi situasi darurat.

Yuyun menjadi fasilitator PRB Inklusif tentang disabilitas dengan Walikota Kediri dan Bupati Kediri tahun 2017. Pada tahun 2016, ia ikut latihan PRB Inklusif di Yogyakarta. Di tahun yang sama, ia ikut pelatihan manajemen PRB Inklusif di Sulawesi Utara.

Serupa dengan Yuyun, Desderdea Kanni menceritakan kesuksesannya berpartisipasi pengurangan bencana. Salah satu penggiat disabilitas dari Timur Indonesia ini melibatkan pemerintah daerah, yang mana penyandang disabilitas dapat diangkat menjadi staf ahli gubernur.

 

"Ini merupakan salah satu pembangunan berbasis PRB inklusif dari beberapa capaian di NTT. Intinya, konsep disabilitas harus dimengerti dan dipahami pemerintah terlebih dahulu," ujar wanita yang akrab dipanggil Desi.

 

Jika terjadi bencana, ada potensi masyarakat (normal dan sehat) menjadi disabilitas. Ini terjadi karena terdampak kena reruntuhan bangunan. Jika semua terlibat dalam upaya meningkatkan kesiapsiagaan, "semua akan selamat,” ujar Desi optimis.

Keluarga Tangguh Bencana

Penyandang Disabilitas
Ada posko yang mengkoordinasikan lansia dan penyandang disablitias pada gempa Sulawesi Tengah pada 28 September 2018. (Printscreen Video CBM Humanitarian Response)

Demi mempersiapkan lansia dan penyandang disabilitas, konsep usulan Keluarga Tangguh Bencana (Katana) perlu dipahami. Salah satu poin utama, mewujudkan Katana juga harus melibatkan kelompok rentan dan seluruh anggota keluarga (anak-anak, ibu hamil).

 

“Katana harus melibatkan kelompok rentan, anak-anak, ibu hamil, lansia dan perempuan, yang dimulai dari keluarga untuk ketangguhan dalam menghadapi bencana. Poin penting lainnya, yakni Katana dapat menjadi sokoguru ketangguhan komunitas dan keluarga terhadap risiko bencana,” jelas Kasubdit Peran Lembaga Usaha BNPB Firza Ghozalba

“Kemudian Katana menggunakan informasi berbasis teknologi untuk memperkuat upaya-upaya ketahanan keluarga dan lingkungan. Pada akhirnya, membentuk ketahanan bangsa dari bencana.”

 

Sasaran prioritas Katana adalah masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana. Dalam hal ini, bagaimana cara keluarga meningkatkan keselamatan, ketangguhannya dalam menghadapi kemungkinan atau potensi bencana.

Adapun tiga tahapan dalam Katana, antara lain, pertama, sadar risiko bencana. Mengetahui dan sadar akan risiko bencana di lingkungannya ‌ Kedua, pengetahuan. Mengetahui dan memperkuat struktur bangunan paham manajemen bencana, edukasi bencana.

Ketiga, berdaya, yang mana mampu menyelamatkan diri sendiri keluarga dan tetangga. “Akar permasalahan di lapangan yang ditemukan berupa pemahaman dan kesiapsiagaan menghadapi bencana yang masih perlu ditingkatkan. Jika masalah-masalah tersebut teratasi, maka korban menjadi kecil,” Firza melanjutkan.

Program yang Ramah Disabilitas

Penyandang Disabilitas
Nenek Fatimah, korban gempa Sulawesi Tengah yang harus mengalami amputasi kakinya akibat kena reruntuhan tembok. (Printscreen Video CBM Humanitarian Response)

Ketika bencana terjadi, bantuan kemanusiaan seringkali tidak memiliki metode yang tepat, bagaimana menolong disabilitas. Sebut saja, informasi peringatan dini, tempat pengungsian aman, layanan kesehatan, dan distribusi bantuan saat bencana, baik makanan maupun minuman mungkin tidak bisa diakses.

Berdasarkan informasi dari CBM, untuk menolong penyandang disabilitas saat bencana terjadi, ada satu aplikasi bernama Humanitarian Hands on Tool (HHoT). Aplikasi ini tidak hanya membuat lebih aksesibel terhadap orang dengan disabilitas , tetapi juga lebih ramah pada kelompok rentan lainnya, seperti lansia.

Alhasil, tidak akan ada orang yang terkucilkan atau tertinggal dalam masa darurat bencana. Aplikasi ini menjadi pedoman singkat dan sederhana dari program tanggap darurat bencana. Seluruh informasi soal tanggap bencana ada di dalam aplikasi.

Anda bisa mencari pelayanan kesehatan di lokasi bencana. Apabila tidak ada internet di lokasi bencana, akses internet dapat diunduh secara offline. CBM adalah organisasi pembangunan internasional yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup difabel.

Mereka yang selamat dari bencana kerap kesulitan mendapat bantuan. Salah satu upaya masa tanggap darurat penanganan lansia dan penyandang disabilitas tampak pada gempa Palu.  Ada posko khusus untuk lansia dan penyandang disabilitas didirikan. Bantuan memperbaiki ekonomi dilakukan.

“Naman saya Fatimah usia 74 tahun. Saya memeroleh bantuan dari ADFP. Saat gempa, (satu) kaki saya tertimpa batako, lantas diamputasi.Ya,  harus dibantu ke kamar mandi,” cerita nenek Fatimah

“Saya diberikan kaki palsu dan dibikinin kamar mandi yang kloset duduk. Di dalam kamar mandi juga ada pegangan di dindingnya.” 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya