Liputan6.com, Jakarta Anjing adalah sahabat manusia yang ramah, setia dan patuh. Sementara, hubungan manusia dengan kucing seringkali digambarkan lebih transaksional karena sifat kucing yang suka menyendiri, misterius dan mandiri.
Kucing juga sering dianggap tidak loyal seperti anjing. Banyak yang menganggap kucing memiliki hubungan baik dengan pemiliknya karena sering diberi makan.
Baca Juga
Para peneliti menjawab bahwa anggapan ini tidak benar. Mereka melaporkan bahwa kucing terikat erat dengan pemiliknya seperti halnya anjing.
Advertisement
“Saya banyak mengerti. Ya, saya tahu itu, saya tahu bahwa kucing suka berinteraksi dengan saya,” kata Kristyn Vitale, seorang ilmuwan perilaku hewan di Oregon State University, AS mengutip New York Times (24/8/2020).
“Tapi dalam sains, Anda tidak akan tahu itu sampai Anda mengujinya,” tambah penulis utama studi yang diterbitkan di Current Biology itu.
"Ungkapan bahwa kucing tidak terlalu peduli dengan orang itu tidak tepat."
Dalam sebuah penelitian pada tahun 2017, Vitale dan rekan-rekannya menemukan bahwa mayoritas kucing lebih suka berinteraksi dengan seseorang daripada makan atau bermain dengan mainan. Dalam studi tahun 2019, para peneliti menemukan bahwa kucing menyesuaikan perilakunya sesuai dengan seberapa banyak perhatian yang diberikan seseorang.
Simak Video Berikut Ini:
Penelitian Lain
Peneliti lain telah menemukan bahwa kucing sensitif terhadap emosi dan suasana hati manusia, dan kucing tahu nama mereka.
Para ilmuwan telah sampai pada temuan yang bertentangan terkait pertanyaan apakah kucing membentuk keterikatan dengan pemiliknya? Jadi Vitale dan rekannya merancang penelitian untuk menguji hipotesis secara lebih eksplisit.
Peneliti merekrut pemilik 79 anak kucing dan 38 kucing dewasa untuk berpartisipasi dalam "tes dasar yang aman", sebuah eksperimen yang biasa digunakan untuk mengukur ikatan antara anjing dan primata dengan pengasuhnya.
Tes serupa juga digunakan untuk bayi manusia. Hal ini didasarkan pada teori bahwa bayi membentuk ikatan bawaan dengan pengasuh yang terwujud sebagai keinginan kuat untuk dekat dengan orang tersebut.
Dalam percobaan yang berlangsung enam menit tersebut, pemilik kucing dan anak kucing memasuki ruangan yang asing. Setelah dua menit, pemiliknya meninggalkan ruangan, meninggalkan kucing atau anak kucingnya sendirian, ini adalah pengalaman yang berpotensi membuat stres bagi hewan tersebut. Ketika pemiliknya kembali dua menit kemudian, para peneliti mengamati tanggapan kucing tersebut.
Sekitar dua pertiga kucing dan anak kucing datang untuk menyapa pemiliknya ketika mereka kembali, dan kemudian kembali menjelajahi ruangan, secara berkala kembali ke pemiliknya. Para peneliti menyimpulkan bahwa kucing memiliki keterkaitan dengan pemiliknya, dibuktikan dengan sambutan kucing kepada pemilik untuk mencari rasa aman.
“Ini mungkin adaptasi dari ikatan yang akan mereka miliki dengan orangtua mereka ketika mereka masih muda,” kata Vitale. Perilaku ini, tambahnya, dapat berarti bahwa kucing berpikir semuanya baik-baik saja. Pemiliknya kembali, ia merasa dihibur dan diyakinkan, dan sekarang ia dapat kembali menjelajah.
Sekitar 35 persen kucing dan anak kucing menunjukkan keterikatan yang tidak aman. Mereka cenderung menghindari pemiliknya. Ini tidak berarti bahwa hewan peliharaan ini memiliki hubungan yang buruk dengan pemiliknya, kata Vitale, tetapi mereka tidak melihat pemiliknya sebagai sumber keamanan dan pelepas stres.
Penemuan ini mencerminkan apa yang ditemukan dalam penelitian terhadap anjing dan anak manusia. Pada manusia, 65 persen bayi menunjukkan keterikatan yang aman dengan pengasuhnya, seperti halnya 58 persen anjing.
“Hasil ini menunjukkan kesamaan dalam sosialitas pada manusia dan hewan pendamping,” kata Atsuko Saito, seorang ilmuwan perilaku di Sophia University di Tokyo, yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut.
“Menyelidiki fenomena ini akan membantu kita lebih memahami evolusi sosial pada hewan.”
Advertisement
Pelatihan Tidak Berpengaruh Pada Keterikatan
Setelah putaran pertama tes, para peneliti mendaftarkan setengah anak kucing yang digunakan dalam penelitian dalam kursus pelatihan dan sosialisasi. Separuh lainnya bertugas sebagai kelompok kontrol.
Satu hari dalam seminggu selama enam minggu, anak kucing bermain dengan satu sama lain dan dilatih untuk duduk, diam, dan melakukan trik. Setelah kursus selesai, para peneliti mengulangi uji dasar aman dengan anak kucing.
Hasilnya, pelatihan tersebut tidak berpengaruh pada perilaku keterikatan anak kucing terhadap pemiliknya. Ini menunjukkan bahwa begitu kucing membentuk ikatan, ia tampaknya tetap stabil dari waktu ke waktu, seperti disampaikan Vitale.
Pada kucing, bayi dan anjing peneliti masih belum mengetahui semua faktor yang membentuk hubungan pengasuh, tetapi kemungkinan besar merupakan perpaduan yang kompleks antara genetika, kepribadian, dan pengalaman.
Tidak seperti anjing dan bayi, banyak kucing menghabiskan hampir seluruh waktunya di dalam rumah, jadi berada di lingkungan baru bisa menjadi pengalaman yang asing dan menakutkan. Untuk beberapa kucing, respons ketakutan terhadap situasi stres mungkin lebih diutamakan daripada ikatan yang aman dengan pemiliknya, sehingga hasil studi mungkin tidak sepenuhnya menangkap keterikatan beberapa kucing.
Menurut Mikel Delgado, peneliti kebiasaan hewan di the University of California, Amerika Serikat, menguji respons kucing terhadap orang asing, bukan hanya kepada pemiliknya, dapat mengungkap apakah kucing benar-benar terikat dengan orang tertentu atau mudah bergaul dengan manusia secara umum.
Dr. Vitale dan koleganya berencana untuk mempelajari lebih dalam tentang hubungan kucing dengan manusia, dan untuk menguji apakah intervensi tertentu dapat membantu kucing penampungan membentuk ikatan awal yang membantu mereka merasa lebih aman dan lebih cepat diadopsi.
“Semakin banyak kami mengetahui tentang kucing, semakin kami melihat bahwa mereka adalah makhluk sosial dan bahwa ikatan sosial sangat penting bagi mereka,” katanya.