Liputan6.com, Jakarta Kesehatan jiwa menjadi salah satu aspek yang harus dipenuhi agar tercapai Indonesia Layak Anak (IDOLA) 2030. Menurut Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kemen PPPA Dra. Lenny Nurhayanti Rosalin, M.Sc, kesehatan jiwa anak mencakup berbagai aspek penting baik fisik maupun mental.
“Kesehatan jiwa adalah kondisi di mana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya,” kata Lenny dalam webinar Kemen PPPA (28/9/2020).
Baca Juga
Ia menambahkan, kesehatan jiwa berhubungan erat dengan proses biologis, proses kognitif, dan proses sosial-emosional.
Advertisement
Proses biologis pada anak melibatkan terjadinya perubahan fisik pada tubuh anak. Seorang anak yang jiwanya sehat dapat melakukan aktivitas yang produktif seperti bermain dan belajar sesuai dengan kapasitas intelektual dan usianya.
“Proses kognitif sangat erat kaitannya dengan perkembangan otak. Proses ini lalu berkembang sampai pada kemampuan anak untuk memecahkan masalah sederhana, memilih dan mengambil keputusan, serta mengendalikan dirinya.”
Proses sosial-emosional yang berkembang dengan baik akan membuat anak mampu menyadari, membedakan, mengelola, serta mengekspresikan emosi secara tepat.
Simak Video Berikut Ini:
Data Kesehatan Jiwa
Lenny juga menyampaikan data situasi global dan nasional terkait kesehatan jiwa. Menurutnya, jika setiap keluarga memiliki kesehatan jiwa yang baik maka hal itu dapat menjadi modal positif bagi pembangunan Indonesia.
Data WHO 2018 menunjukkan, 800 ribu lebih orang meninggal setiap tahun atau sekitar 1 orang dari sekitar 40 detik karena bunuh diri.
“00 ini kesehatan jiwanya sudah berlarut-larut.”
Angka bunuh diri di Indonesia mencapai 1,6 hingga 1,8 persen per 100 ribu jiwa menurut data WHO pada 2010.
“Beban penyakit terbesar di dunia berdasarkan survei adalah gangguan mental sebesar 14,4 persen. Ini data 2017, mungkin dengan COVID-19 ini datanya lebih tinggi lagi hanya kita belum memiliki data itu.”
“Gangguan depresi sudah terjadi di rentang usia remaja 15 sampai 24 tahun sebesar 6,2 persen dan pola prevalensi semakin meningkat seiring bertambahnya usia menurut Riskesdas 2018. Kalau lihat angkanya cuma 6 persen tapi kan akumulasinya kita punya 80 juta anak.”
Menurut Lenny, ini tidak bisa dibiarkan, harus ada pergerakan dan melakukan sesuatu, pungkasnya.
Advertisement