Liputan6.com, Jakarta - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memerbarui pedoman perawatan pasien COVID-19 dengan merekomendasikan penghambat reseptor interleukin-6 (IL-6). Kelas obat ini dinilai bisa menyelamatkan pasien gejala parah atau kritis, terutama bila diberikan bersama kortikosteroid.
Temuan ini merupakan hasil analisa studi obat terbesar yang dilakukan oleh WHO, dengan data lebih dari 10 ribu pasien yang terdaftar dalam 27 uji klinis yang dipertimbangkan.
Baca Juga
Dilansir dari laman WHO, Kamis (8/7/2021), ini adalah obat pertama yang dilaporkan efektif melawan COVID-19, sejak kortikosteroid direkomendasikan WHO pada September 2020.
Advertisement
Pasien COVID-19 gejala parah atau kritis sering mengalami reaksi berlebihan dari sistem kekebalan tubuh, yang dapat berbahaya bagi kesehatannya. Obat penghambat interleukin-6, tocilizumab dan sarilumab, bertindak untuk menekan reaksi berlebih ini.
Simak Juga Video Menarik Berikut Ini
Analisa pada Pasien Sakit Parah atau Kritis
Meta-analisis jaringan prospektif dan hidup WHO menunjukkan, pada pasien yang sakit parah atau kritis, pemberian obat ini mengurangi kemungkinan kematian sebesar 13 persen, dibandingkan dengan perawatan standar.
Ini berarti, akan ada 15 kematian lebih sedikit per seribu pasien, dan sebanyak 28 kematian lebih sedikit pada setiap seribu pasien yang mengalami sakit kritis.
Kemungkinan ventilasi mekanis di antara pasien parah dan kritis juga dilaporkan berkurang 28 persen, bila dibandingkan dengan perawatan standar. Ini berarti, 23 lebih sedikit dari seribu seribu yang membutuhkan ventilasi mekanis.
Temuan ini didapatkan dari para peneliti uji klinis di 28 negara yang membagikan datanya dengan WHO, termasuk data pra-publikasi.
Advertisement
Dorong Produsen Turunkan Harga
"Obat-obatan ini menawarkan bagi pasien dan keluarga yang menderita dampak buruk dari COVID-19 parah dan kritis," kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.
"Namun penghambat reseptor IL-6 tetapi tidak dapat diakses dan tidak terjangkau oleh sebagian besar dunia," ujarnya.
Tedros menyebutkan, distribusi vaksin yang tidak merata berarti orang-orang di negara berpenghasilan rendah dan menengah menjadi paling rentan terhadap COVID-19 parah.
"Jadi kebutuhan terbesar obat-obatan ini adalah di negara-negara yang saat ini memiliki akses paling sedikit."
WHO pun meminta produsen untuk menurunkan harga dan menyediakan pasokan ke negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, terutama di mana kasus virus corona sedang melonjak.
WHO juga mendorong perusahaan untuk menyetujui perjanjian lisensi sukarela non-eksklusif yang transparan menggunakan platform C-TAP dan Medicines Patent Pool, atau untuk mengabaikan hak eksklusivitas.
Infografis 11 Aplikasi untuk Konsultasi Online dan Obat Gratis Pasien Isolasi Mandiri Covid-19
Advertisement