Kisah Perempuan Usia 20-an yang Ragu untuk Menikah dan Punya Anak

Faktanya, menikah atau mempunyai anak bukanlah keinginan semua orang.

oleh Diviya Agatha diperbarui 24 Des 2021, 14:00 WIB
Diterbitkan 24 Des 2021, 14:00 WIB
Ilustrasi wanita | Andre Furtado dari Pexels
Ilustrasi wanita | Andre Furtado dari Pexels

Liputan6.com, Jakarta Menikah atau mempunyai anak bukanlah keinginan semua orang. Termasuk dua perempuan dalam tulisan ini, yang sedang ragu-ragu melangkah masuk dalam proses kehidupan berkeluarga.

Penyebabnya pun begitu beragam, mulai dari keraguan, juga rasa takut yang tercipta dari gambaran soal keluarga bahagia yang ternyata gagal tercapai saat menjadi seorang anak.

Menurut Mawar (nama disamarkan), seorang karyawan swasta berusia 23 tahun, pikiran terkait tidak mau menikah sudah muncul sejak dirinya berusia 20 awal.

"Awalnya sih belum langsung mikir enggak mau, tapi ngeliat ternyata sesulit itu ya berumah tangga karena bukan tentang lo dan suami doang, tapi tentang anak, keluarga besar, dan lain-lain juga," ujar Mawar pada Health Liputan6.com ditulis Kamis, (23/12/2021).

"Gue liat bokap nyokap tuh berantem. Terus kayak rempong gitu, yang mana ngambeknya dua-duanya, diam-diaman, bela diri masing-masing. Sedangkan anaknya yang harus berusaha nyatuin," kata Mawar.

Mawar mengungkapkan, rasa kesal dan sedih kerap muncul saat melihat orangtuanya bertengkar. Hal tersebut pun akhirnya menimbulkan keraguan tersendiri baginya terkait pernikahan.

Hal serupa pun dirasakan oleh Melati (nama disamarkan), perempuan 23 tahun asal Tangerang. Menurutnya, pernikahan jadi momok yang menyeramkan dan tidak seindah yang dibayangkan.

"Gue dari kecil lihat nyokap sama bokap berantem, teriak-teriak. Enggak pernah sekalipun kelihatan saling sayang. Gue juga bingung kenapa dulu mereka memutuskan untuk menikah," kata Melati pada Health Liputan6.com, Kamis (23/12/2021).

"Nyokap bokap juga dingin ke anak-anaknya. Enggak ada gambaran keluarga hangat yang saling sayang. Gue jadi takut aja mulai hubungan, apalagi nikah. Takut kayak nyokap bokap gue," tambahnya.

 

Ketakutan lain yang terlintas

Ketakutan dua perempuan tersebut akan pernikahan juga tak menepis rasa takut akan sepi dan kehidupan mereka di hari tua kelak. Mawar mengungkapkan, meskipun takut, ia pun tahu bahwa pernikahan tak hanya soal bertengkar.

"Gue tahu sih, nikah enggak selalu soal berantem. Hal-hal indah bisa jadi jauh lebih banyak. Di satu sisi juga sebenarnya gue agak takut, gue tua gimana ya nanti? Nanti ponakan ada yang mau urus enggak ya? Nanti gue kesepian enggak ya," ujar Mawar.

Menurut Melati, ketakutannya saat ini juga tak berarti ia akan menutup segala kemungkinan yang ada di depan terkait pernikahan. Keinginan untuk memiliki teman sehidup semati tentu pernah terlintas. 

"Pasti ada jugalah kepikiran kayaknya kalau punya pasangan sefrekuensi, mungkin akan seru. Ragu dan takut iya, tapi kalau didepan nanti jalannya berbeda, gue juga enggak mau saklek nutup diri," kata Melati. 

Faktor penyebab

Health Liputan6.com pun menanyakan kondisi ini pada psikolog anak dan keluarga, Anna Surti Ariani. Menurut psikolog yang akrab dipanggill Nina ini, relasi suami dan istri memang sangat berpengaruh pada pandangan anak nantinya pada sebuah hubungan.

"Bisa pengaruh dari cara mereka (orangtua) membesarkan, apa yang sering mereka katakan kepada anak, harapan mereka terhadap anak, dan bagaimana mereka sendiri menjalin hubungan antara satu sama lain," ujar Nina pada Health Liputan6.com melalui pesan teks pada Kamis (23/12/2021).

Nina menjelaskan, takut punya anak bukan berarti seseorang takut menikah, begitupun sebaliknya. Meskipun keduanya pun bisa berhubungan.

Menurut Nina, fenomena takut menikah dan punya anak juga memiliki beragam faktor penyebab. Berikut diantaranya.

1. Selama ini belum pernah mendapat pasangan yang dianggap baik, justru mendapat pasangan yang dianggap merugikan dirinya.

2. Anggapan bahwa menikah atau punya anak itu memberikan begitu banyak hambatan untuk karir atau masa depannya.

3. Punya banyak pengalaman tidak menyenangkan saat diri sendiri menjadi seorang anak, atau pengalaman tidak menyenangkan melihat perkawinan yang ada di sekitarnya.

4. Terjadi banyak perceraian di sekitar orang ini atau terjadi banyak kekerasan kepada anak-anak di sekitarnya, sekaligus tak yakin bahwa ia bisa menjadi orang yang membantu anak-anak menjadi lebih baik.

Bisa berubah

Nina menambahkan, keinginan untuk tidak menikah atau punya anak juga sewaktu-waktu bisa berubah. Tergantung pada kondisi yang dialami orang tersebut selanjutnya.

"Bisa berubah, bisa jadi yang tadinya takut untuk menikah, namun kemudian merasa ada harapan baik untuk menikah, bisa. Bisa juga karena merasa menemukan pasangan yang dianggap baik," ujar Nina.

"Atau kondisi di sekitarnya berubah. Bisa juga tidak berubah (keinginan untuk tidak menikah)nya, karena tidak ada perubahan kondisi yang ia alami, dan tidak ada perubahan pada dirinya juga," tambahnya.

Apapun alasannya, menurut Nina, melakukan konsultasi ke psikolog klinis saat memiliki ketakutan bisa dijadikan pilihan. Sehingga ketakutan yang dialami tidak merembet pada sisi kehidupan yang lain.

"Kalau banyak trauma akibat masa lalu, biasanya enggak begitu saja bisa memaafkan, walaupun itu yang disarankan. Ada baiknya berkonsultasi dengan psikolog klinis secara berkala," kata Nina. 

Infografis

Infografis Rahasia Sukses Memulai Hubungan Baru
Infografis Rahasia Sukses Memulai Hubungan Baru. (Liputan6.com/Lois Wilhelmina)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya