Liputan6.com, Jakarta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memperkenalkan Samarium (Sm) 153 EDTMP sebagai penghilang rasa sakit bagi pasien kanker.
Samarium merupakan sebuah radiofarmaka hasil inovasi di bidang kedokteran nuklir yang diproduksi BRIN melalui Organisasi Riset Tenaga Nuklir (ORTN).
Baca Juga
Plt. Kepala Pusat Riset Teknologi Radioisotop dan Radiofarmaka (PRTRR), Rohadi Awaludin mengatakan Samarium 153 ETDMP merupakan produk penelitian yang sangat bermanfaat di dunia kesehatan. Khususnya, sebagai obat terapi paliatif atau penghilang rasa sakit pada penderita kanker.
Advertisement
Pasalnya, dalam kehidupan sehari-hari pasien kanker akan mengalami nyeri yang luar biasa ketika sudah metastasis ke tulang.
Metastasis merupakan proses penyebaran sel kanker dari satu organ atau jaringan tubuh ke organ atau jaringan tubuh lainnya. Kondisi ini dapat terjadi di mana saja, baik di daerah tempat kanker berasal atau jauh dari tempat awal munculnya kanker.
“Untuk mengurangi rasa sakit itu secara konvensional mereka biasanya menggunakan obat-obatan analgesik atau penghilang rasa sakit seperti morfin. Namun, hal ini tidak bertahan lama, sedangkan apabila menggunakan Sm 153 EDTMP ini bisa bertahan 1-2 bulan,” kata Rohadi, mengutip keterangan pers BRIN Jumat (04/02).
Simak Video Berikut Ini
Kelebihan Lainnya
Kelebihan lain dari Samarium adalah tidak menimbulkan efek ketagihan dan fly seperti bila menggunakan morfin, sehingga pasien kanker dapat beraktivitas dengan normal.
“Dengan pemberian Sm 153 EDTMP ini, pasien kanker tidak merasakan sakit sehingga tidak mengganggu aktivitas keseharian dan tentunya tidak mengurangi kualitas hidupnya.”
Untuk memenuhi kebutuhan radiofarmaka di dalam negeri, pihak Rohadi terus melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan penguasaan teknologi nuklir khususnya dalam memproduksi radiofarmaka. Melalui PT. Kimia Farma, produk ini telah dipasarkan kepada beberapa rumah sakit agar dapat dimanfaatkan masyarakat secara luas.
Advertisement
Selain Samarium
Selain Sm 153 EDTMP, PRTRR juga menghasilkan beberapa kit seperti:
-Kit radiofarmaka MIBI yang digunakan untuk mendeteksi fungsi jantung.
-Kit radiofarmaka MDP yang difungsikan untuk mengetahui adanya kanker tulang primer maupun metastase tulang.
-Kit radiofarmaka DTPA untuk mengetahui fungsi ginjal.
-Kit MIBG bertanda I-131 untuk terapi kanker neuroendokrin.
Dalam memproduksi radiofarmaka tersebut, salah satu kendala yang dihadapi adalah sifat radioaktif yang memiliki waktu paruh yang pendek. Akibatnya produk harus segera digunakan setelah dibuat dan tidak disimpan dalam waktu yang lama.
“Untuk itulah, diperlukan perencanaan produksi yang sangat cermat dengan memperhatikan sarana pengangkutan yang cepat khususnya untuk daerah luar Jakarta. Saat ini produksi radiofarmaka dilakukan di Jakarta,” jelasnya.
Harapan Rohadi
Agar produk radiofarmaka ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang membutuhkannya, Rohadi berharap, fasilitas kedokteran nuklir di Indonesia diperbanyak.
“Mengingat sampai saat ini baru ada 14 fasilitas kedokteran nuklir. Dari jumlah itu pun beberapa di antaranya masih menghadapi kendala pengoperasian yakni Sumber Daya Manusia (SDM) dan peralatan.”
“Kami berharap pihak Kementerian Kesehatan memberikan perhatian yang lebih terhadap kondisi fasilitas kedokteran nuklir, khususnya dalam pengembangan SDM dan pemenuhan peralatan. Ada gagasan bahwa beberapa rumah sakit akan dijadikan sebagai pusat penanganan kanker (oncology center),” tutup Rohadi.
Advertisement