Liputan6.com, Jakarta - Kurang lebih dua tahun berjibaku menghadapi virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19, sejumlah negara mulai bersiap melakukan transisi dari pandemi menuju endemi. Demikian pula dengan Indonesia. Bukan karena virus telah hilang, melainkan karena hidup harus terus berjalan.
Pandemi COVID-19 diakui tak hanya menghantam sektor kesehatan, melainkan juga hampir semua sektor lainnya termasuk ekonomi. Pembatasan wilayah, aktivitas, dan perjalanan selama masa pandemi sangat berpengaruh terhadap perekonomian negara. Karenanya, sejumlah negara kini mulai melonggarkan, bahkan mencabut pembatasan terkait COVID-19.
Baca Juga
Wacana mengenai masa transisi menuju endemi di Indonesia pun telah terdengar selepas pertengahan 2021. Kehadiran varian Omicron yang dinilai berdampak relatif lebih ringan dibandingkan varian sebelumnya seolah menjadi pemantik dugaan pandemi segera beralih menjadi endemi. Selain itu, vaksinasi COVID-19 yang terus digencarkan pun turut mempertebal keyakinan Indonesia dapat mulai bertransisi menuju endemi.
Advertisement
Mengutip laman Sehatnegeriku Kementerian Kesehatan RI, hingga 20 Maret 2022, vaksinasi dosis 1 telah diberikan kepada 194.654.514 (93,46%) penduduk. Kemudian vaksinasi dosis 2 telah diberikan kepada 153.832.549 (73,86%) penduduk. Lalu vaksinasi dosis 3 juga telah diberikan kepada 16.242.588 (7,80%) penduduk.
Di Indonesia, pemerintah telah mulai melonggarkan beberapa pembatasan, di antaranya tes COVID-19 antigen maupun PCR tidak lagi menjadi syarat perjalanan, kompetisi olahraga boleh dihadiri penonton yang telah mendapat vaksinasi booster dan jumlahnya disesuaikan dengan level PPKM masing-masing daerah. Selain itu, karantina tak lagi wajib bagi pelaku perjalanan luar negeri (PPLN) dengan destinasi tertentu seperti misalnya Bali.
Pemerintah juga telah menerapkan visa on the arrival pada 23 negara yakni ASEAN, Australia, Amerika, Inggris, Jerman, Belanda, Prancis, Qatar, Jepang, Korea Selatan, Kanada, Italia, Selandia Baru, Turki, dan Uni Emirat Arab. Apabila uji coba ini berhasil, maka pemerintah akan memberlakukan pembebasan karantina bagi seluruh PPLN pada 1 April atau lebih cepat dari 1 April 2022.
"Perlu kami tegaskan bahwa semua kebijakan dalam proses transisi yang akan kita lalui bersama bukan karena terburu-buru, kita harus sudah siap untuk menuju satu proses transisi secara bertahap dengan menerapkan kebijakan berdasarkan data yang ada," kata Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan beberapa waktu lalu.
Sementara itu, Ketua Satgas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban berharap Indonesia dapat masuk ke fase endemi dalam tiga bulan lagi. Dalam fase menuju endemi tersebut, masyarakat diminta bersabar karena ada sejumlah indikator yang harus terpenuhi.
"Apakah Indonesia sudah masuk endemi? Belum. Kita dalam perjalanan ke sana. Sabar sedikit. Mungkin pas bulan puasa atau kita harapkan paling lambat 3 bulan dari sekarang kita mulai masuk endemi," ucap Zubairi saat acara Pembukaan Monumen Pengabdian Dokter Indonesia di Kantor PB IDI Jakarta, Kamis (17/3/2022).
Lebih lanjut, Zubairi menyebut, syarat memasuki endemi turut dipengaruhi penyebaran varian virus SARS-CoV-2 dan capaian vaksinasi COVID-19. Pemerintah juga terus mengejar cakupan vaksinasi, baik vaksinasi dua dosis maupun booster demi terbentuknya antibodi.
"Syaratnya, pertama harus turun drastis, kita baru turun sedikit ya hampir drastis. Kedua, soal penyebaran varian. Sekarang kan memang benar sebagian besar Omicron," katanya.
"Ketiga, vaksinasi COVID-19. Memang benar bahwa vaksinasi sudah 70 persen dosis kedua, namun itu bukan untuk usia lanjut. Yang usia lanjut belum mencapai 70 persen. Jadi, kita memang perlu bersabar, sebentar lagi endemi."
Dalam kesempatan berbeda, Zubairi menyoroti penurunan jumlah kasus harian COVID-19 di Tanah Air dalam lima hari terakhir, 16 - 20 Maret 2022.
Adapun jumlah kasus harian yang disampaikan Zubairi melalui cuitannya pada 20 Maret 2022, sebagai berikut,
- 16 Maret 2022: 13.018
- 17 Maret 2022: 11.532
- 18 Maret 2022: 9.528
- 19 Maret 2022: 7.951
- 20 Maret 2022: 5.922
Penurunan kasus yang tampak dari data tersebut diharapkannya menjadi pertanda pandemi benar mereda.
"Indonesia tampak jauh lebih baik. Kasus harian terus turun. Bahkan, tiga hari belakangan, kasus baru selalu di bawah 10 ribu. Semoga ini pertanda pandemi benar-benar mereda," demikian bunyi cuitan Zubairi pada Minggu, 20 Maret 2020.
Kasus harian COVID-19 pun kembali menunjukkan penurunan pada Senin, 21 Maret 2022. Tercatat, ada 4.699 kasus positif baru di Indonesia. Angka tersebut lebih rendah dari angka kasus harian pada 20 Maret yang mencapai 5.922 kasus.
Prediksi Fase Endemi Berdasarkan 5 Poin
Bukan tanpa alasan Zubairi memprediksi Indonesia akan dapat mencapai fase endemi dalam 3 bulan ke depan. Ada lima poin yang dicermati oleh Zubairi yang dapat menjadi landasan prediksi.
"Saya menduga bahwa endemi akan tidak lama lagi, mungkin tiga bulan lagi. Pertama, adalah jumlah kasus baru harian COVID-19 turun terus," kata Zubairi melalui pesan suara ketika dikonfirmasi Health-Liputan6.com, Senin (21/3).
Poin kedua menurut Zubairi yakni positivity rate yang kini juga menunjukkan tren penurunan. Demikian pula dengan keterisian rumah sakit yang ikut menunjukkan penurunan yang menjadi poin ketiga.
"Keempat, hampir semua virus yang ada di RI virus penyebab COVID-19 sudah Omicron," tuturnya.
Kelima dan menurut Zubairi menjadi hal yang terpenting yakni vaksinasi.
"Terakhir dan paling penting adalah vaksinasi. Vaksinasi untuk usia yang lain sudah lebih dari 70 persen, namun untuk usia 60 tahun lebih kan baru mendekati 60 persen. Sedangkan endemi diharapkan terjadi kalau sudah di atas 70 persen, sehingga diharapkan dalam waktu 2-3 bulan lagi tercapai 70 persen dari masyarakat usia lebih dari 60 tahun yang sudah divaksinasi," jelasnya.
Dengan data yang tersedia, Zubairi menilai saat ini Indonesia tengah dalam proses menuju endemi.
"Jadi, kalau sudah lebih dari 70 persen usia di atas 12-60 tahun dan lebih dari 70 persen 60 tahun ke atas sudah divaksinasi diharapkan akan masuk sudah masuk ke endemi. Sekarang sedang proses masuk ke sana," lanjutnya.
Menanggapi prediksi tersebut, Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, dr Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan bahwa persyaratan untuk Indonesia menuju endemi masih terus dibahas.
"Persyaratannya masih terus dibahas dengan para pakar ya terutama ahli epidemiologi. Masih terus didiskusikan dan dimonitor perkembangannya," ujar Nadia pada Health Liputan6.com, Senin (21/3/2022).
Nadia menjelaskan bahwa pemerintah tidak mau terburu-buru untuk menyatakan Indonesia dalam kondisi endemi. Mengingat hal tersebut membutuhkan persiapan yang matang.
"Pemerintah tidak terburu-buru untuk menyatakan kita dalam kondisi endemi, perlu persiapan baik dari sisi masyarakat maupun dari sisi fasilitas kesehatan termasuk membangun sistem surveilans yang aktif," kata Nadia.
Nadia pun menjelaskan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk Indonesia dapat dinyatakan masuk dalam masa endemi. Seperti capaian vaksinasi dan level PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) yang ada dalam tiap daerah.
"Setidaknya capaian vaksinasi kita 70 persen dari populasi dan PPKM pada level 1 transmisi komunitas dan CFR (case fatality rate) kurang dari 3 persen dalam kurun waktu tertentu," ujar Nadia.
"Saat ini kasus kita masih tinggi ya dan masih banyak yang level PPKM bukan level 1," tambahnya.
Mengenai berapa banyak daerah yang harus dinyatakan Level 1 untuk Indonesia dapat dinyatakan aman dan siap masuk endemi, Nadia menuturkan bahwa hal tersebut juga masih didiskusikan dengan para epidemiolog.
Sementara itu, Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengatakan, penetapan endemi COVID-19 melalui sejumlah pertimbangan, tidak hanya berdasarkan sisi kesehatan.
"Endemi itu pertimbangannya tidak hanya kesehatan, tapi juga sosial, politik, dan budaya. Kita sudah mengalami pandemi lebih dari 10 kali sejak abad ke-13 dan 14, selalu pertimbangannya banyak," ujar Budi Gunadi saat kegiatan vaksinasi booster dan donor darah di City Hall Pondok Indah Mall, Jakarta.
Pernyataan Menkes Budi merujuk pada sejarah penetapan status endemi.
Budi Gunadi Sadikin juga menekankan bahwa keputusan mengubah status pandemi ditetapkan oleh pemimpin negara atau pemimpin dunia seperti Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO.
"Jadi, bukan keputusan dari media atau dari Menteri Kesehatan atau Menteri Dalam Negeri saja," dia menambahkan.
Dari segi kesehatan, Pemerintah telah menyiapkan sejumlah skenario menuju endemi sesuai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Diharapkan transmisi virus SARS-CoV-2 semakin rendah sehingga penyebarannya dapat semakin ditekan.
"Bapak Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menyiapkan skenario-skenario (endemi). Kita ingin kalau bisa indikator transmisi yang WHO ada 3, yakni level 1 dalam 6 bulan berturut-turut," terang Budi Gunadi.
"Usulan epidemiolog, kalau bisa reproduction number-nya (rata-rata orang yang terinfeksi COVID-19) di bawah 1 selama 6 bulan berturut-turut juga minimal vaksinasi lengkapnya dua kali."
Advertisement
Endemi Seharusnya Tidak Menjadi Tujuan
Ahli epidemiologi dari Griffith University Australia Dicky Budiman menjelaskan bahwa salah satu indikator perubahan pandemi menjadi endemi memang rendahnya kasus positif. Namun, syaratnya tidak berhenti sampai di situ.
“Endemi artinya negara masuk ke dalam indikator di mana angka reproduksinya paling tinggi satu, dengan test positivity rate di bawah 5 persen. Kasus kematian juga tidak dalam tren meningkat, semakin menurun atau dalam angka yang rendah.”
“Ini adalah kondisi yang memadai untuk masuk ke status endemi. Ini endemi dalam kondisi real-nya, tapi secara global masih pandemi,” kata Dicky.
Menurutnya, endemi mungkin saja terjadi di beberapa wilayah dalam 3 bulan mendatang. Namun, menurutnya, endemi tidak seharusnya menjadi tujuan lantaran sifatnya dinamis dan fluktuatif.
“Dalam 3 bulan akan menjadi endemi, beberapa wilayah mungkin, tapi ini jangan sampai jadi tujuan kita mengendemikan COVID ini.”
“Endemi bersifat fluktuatif dan dinamis. Artinya, tergantung pada situasi. Jika ada varian baru yang menyebar maka akan menjadi epidemi lagi,” kata Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara Senin (21/3/2022).
Epidemi adalah pandemi dalam skala kecil. Jadi, ketika pandemi dicabut maka ada tiga kategori, epidemi, endemi, dan sporadis atau terkendali.
“Dengan demikian, endemi tidak boleh menjadi tujuan. Endemi harus dihindari sama seperti epidemi, yang harus kita tuju adalah yang terkendali.”
Menurutnya, cakupan vaksinasi yang memadai untuk suatu negara keluar dari situasi pandemi dan mendekati status terkendali adalah:
- 90 persen total populasi sudah divaksinasi lengkap
- 70 persen populasi sudah vaksinasi lengkap ditambah booster
- 90 persen populasi berisiko sudah vaksinasi lengkap.
“Jika ingin mendekati status terkendali maka setidaknya 90 persen total populasi sudah vaksinasi lengkap, 70 persen sudah tiga dosis, atau 90 persen kelompok berisiko sudah vaksin.”
Peluang pencabutan status pandemi juga tergantung pada surveilans yang terus meningkat ditambah perilaku masyarakat sudah lebih disiplin menerapkan protokol kesehatan.
“Dan jangan melakukan pelonggaran yang berisiko tinggi seperti tidak diwajibkan memakai masker dan membiarkan masyarakat terlalu euphoria,” kata Dicky.
Dicky menambahkan, penetapan dan pencabutan status pandemi adalah kewenangan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO). Hal ini diatur dalam konvensi International Health Regulation.
“Jadi apapun yang terjadi, sebelum WHO mencabut status pandemi ya secara hukum global COVID ini tetap pandemi,”
Dari sisi epidemiologi, indikator pencabutan status pandemi menjadi endemi salah satunya ketika sepertiga dari negara di dunia masuk dalam level terkendali.
“Jadi kalau bicara endemi, itu adalah kondisi faktual atau kondisi pengendalian di suatu negara atau wilayah di mana angka kasusnya stabil sehingga dikategorikan endemi.”
Di sisi lain, pencabutan status pandemi memerlukan upaya bersama yang dimulai dari masing-masing negara.
Endemi Tidak Berarti Bebas dari COVID-19
Apabila Indonesia sudah masuk fase endemi, Zubairi mengingatkan bukan berarti bebas COVID-19. Virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 akan tetap ada, namun dengan laju penyebaran rendah.
"Apakah kalau sudah endemi, maka selesai (bebas COVID-19)? mohon diingat, ada kemungkinan selesai. Ada kemungkinan tidak," kata Zubairi saat acara Pembukaan Monumen Pengabdian Dokter Indonesia di Kantor PB IDI Jakarta.
Masyarakat perlu juga memahami bahwa virus SARS-CoV-2 masih bermutasi. Saat ini, varian Omicron mulai mendominasi di Indonesia sejak terdeteksi pada Januari 2022. Kemunculan varian ini menimbulkan kekhawatiran lantaran virus tersebut menjadi pemicu lonjakan COVID-19 di sejumlah negara.
"Tolong diingat, pada bulan Desember 2021, jumlah kasus COVID-19 setiap hari rendah sekali, kurang dari 300. Bahkan kematian harian banyak yang nol," lanjut Zubairi.
"Kalau waktu itu kita terapkan pada hari ini, kita yakin pasti sudah endemi COVID-19. Namun, tiba-tiba muncul mutasi baru Omicron. Karena Omicron ini mutasinya banyak dan mudah menyebar. Maka, kita tidak menduga."
Dalam fase endemi, kata Zubairi, kasus COVID-19 masih tetap ada tapi statis. "Maksudnya tidak terlalu meningkat, tidak terlalu turun. Jadi, kira-kira proporsi perbandingan orang yang bisa sakit sebanding dengan jumlah reproduksi virus," jelasnya pada Health-Liputan6.com, Senin (21/3).
Ia mencontohkan penyakit endemis TBC dan malaria yang masih sebabkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Pada 2020 malaria sebabkan 600 ribu kematian. Lalu, TBC pada tahun yang sama membuat sekitar 1,5 juta orang meninggal dunia dengan estimasi 10 juta orang kena TBC.
"Jadi, kita harus tetap waspada bila nanti pemerintah menyatakan endemik. Tetap waspada karena masih bisa menular, masih bisa sakit dan meninggal karena COVID-19 meski penularannya tidak secepat tahun lalu," kata dia.
Pernyataan Zubairi senada dengan pernyataan Direktur Eksekutif World Health Organization's (WHO) Health Emergencies Programme, Mike Ryan. Melihat fakta akan penyakit endemi yang masih ada, Ryan mengaskan bahwa, "Tolong jangan mengartikan endemi sama dengan kondisi yang baik."
Maka dari itu Ryan mengatakan pada penyakit endemik perlu program pengendalian yang kuat untuk mengurangi angka infeksi, kesakitan dan kematian.
"Pandemi ke endemi itu hanya mengubah nama tapi tidak mengubah tantangan yang kita hadapi," kata Ryan saat menjawab pertanyaan reporter pada 10 Maret 2022
Hal senada juga disampaikan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Budi Gunadi menekankan, pada fase endemi, bukan berarti virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 hilang sepenuhnya. Masyarakat akan tetap hidup berdampingan dengan COVID-19.
"Virusnya tetap ada, tapi penularannya rendah terkendali. Jadi, bisa saja yang masuk dirawat sedikit sekali," jelasnya.
Terpenting, kata Budi Gunadi, adalah budaya masyarakat sudah paham bagaimana menangani penyakit itu sendiri tanpa dipaksa oleh Pemerintah.
"Sama seperti kalau sakit demam berdarah, rumah disemprot. Kalau ada demam, panasnya naik turun, kita cek darah sendiri, sehingga kalaupun masuk rumah sakit tertangani dengan baik."
Dalam cuitannya pada Sabtu, 19 Maret 2022, Zubairi mengatakan semua pihak harus bertanggung jawab melindungi diri dan orang terdekat ketika status menjadi endemik.
"Ketika COVID-19 berubah status menjadi endemik, artinya kita semua harus mengambil tanggung jawab untuk melindungi diri sendiri dan orang yang kita cintai. Sementara pemerintah bertanggung jawab memastikan sistem perawatan kesehatan dapat beradaptasi," tulisnya.
Advertisement
Protokol Kesehatan Harus Terus Dilakukan
Menurut Budi Gunadi, edukasi masyarakat terhadap protokol kesehatan harus terus dilakukan di masa menuju transisi endemi, pun setelah masuk endemi. Diharapkan ada kesadaran masyarakat untuk melakukan tes COVID-19 jika merasa bergejala.
"Karena itu kita harus pakai masker. Kalau kena (bergejala), misalnya, harus PCR, kemudian kalau sudah PCR dan positif mesti isolasi untuk tidak menularkan. Itu yang paling penting dipenuhi sebagai syarat menjadi endemi," ucap Menkes.
Zubairi Djoerban pun sepakat akan hal itu. Zubairi meminta masyarakat tetap mematuhi protokol kesehatan tatkala menuju transisi endemi. Di tengah pelonggaran mobilitas, seperti tidak diwajibkannya lagi tes PCR dan antigen sebagai syarat perjalanan hingga bebas karantina, Zubairi mengingatkan masker harus dipakai.
"Tolong berusaha, jangan lepas masker. Ya, kita memang sekarang tidak perlu tes PCR dan antigen ketika di area umum, karantina dihilangkan. Tapi mengenai masker, mohon lebih baik hati-hati tetap dipakai daripada nanti tertular," jelasnya.
"Walaupun sudah vaksinasi tiga kali, yang namanya tertular itu tidak nyaman."
Zubairi menyoroti beberapa negara lain yang sudah menyatakan diri endemi dengan ditandai lepas masker dan pembebasan karantina, malah kembali terjadi kenaikan kasus COVID-19. Oleh karena itu, Indonesia harus waspada meski kasus COVID-19 nasional menurun.
"Ada konsekuensi dari negara-negara yang menyatakan diri endemi. Contohnya, beberapa hari lalu setelah menyatakan endemi ternyata ada negara yang timbul kenaikan kasus COVID-19 tinggi sekali," ujarnya.
"Finlandia itu pernah naik sampai 80 persen kasus, demikian pula Belanda naik sampai 50 persen juga Prancis dan Inggris. Tolong kita tetap hati-hati, tetap waspada, jangan jumawa," pesan Zubairi.