Liputan6.com, Jakarta COVID-19 subvarian BA.4 dan BA.5 memiliki karakter yang lebih efektif lantaran terdiri dari kombinasi kecepatan menginfeksi Omicron dan kemampuan mengikat sel dari Delta. Hal ini disampaikan ahli epidemiologi Dicky Budiman. Menurutnya, BA.4 dan BA.5 adalah subvarian Omicron, jadi masih bagian dari Omicron walaupun karakternya sudah sangat berbeda dari BA.1 dan BA.2.
“BA.4 atau khususnya BA.5 ini dia memiliki karakter yang merupakan kombinasi antara kecepatan menginfeksi yang dia warisi dari Omicron leluhurnya.”
Baca Juga
PDIP Kritik Polisi Baru Ungkap Kasus Judi Online Alwin Kiemas: Contoh Nyata Politisasi Hukum
Prabowo Teken Keppres Tetapkan Pilkada 27 November 2024 Jadi Hari Libur Nasional
Muka-Muka Baru di Barisan Kiper Timnas Indonesia untuk Kualifikasi Piala Dunia 2026 tanpa Maarten Paes, Ernando hingga Nadeo dan Riyandi
“Dan dia mengadopsi juga mutasi dari Delta L452 yang membuat dia mudah terikat di receptor ACE2 dan mudah masuk ke dalam sel tubuh manusia untuk menginfeksi dan akhirnya mudah untuk bereplikasi di paru,” kata Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara Selasa (14/6/2022).
Advertisement
Ini yang membuat sebagian gejala orang yang terinfeksi BA.4 dan BA.5 khususnya yang belum divaksinasi lengkap terlihat hampir mirip dengan gejala Delta.
“Misalnya hilang penciuman, rasa lelah, dan pada kasus yang berat bisa seperti Delta, harus dibawa ke rumah sakit, ini merujuk data di Portugal.”
Selain itu, BA.4 dan BA.5 ini bisa menginfeksi ulang. Jadi, meskipun sudah terinfeksi oleh Omicron sebelumnya, tapi tetap bisa terinfeksi lagi dengan BA.4 dan BA.5.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Akan Banyak yang Tidak Bergejala
Mengingat karakter subvarian BA.4 dan BA.5 lebih efektif, maka tidak heran jika akan ada banyak kasus infeksi baru, lanjut Dicky.
“Namun, bedanya dalam konteks Indonesia, 2 tahun ini kita sudah membentuk modal imunitas yang artinya orang akan banyak yang tidak bergejala.”
Dari hasil analisis yang dilakukan Dicky, ia menemukan bahwa cakupan vaksinasi berbagai dosis sudah tinggi di berbagai negara, tapi kasus baru bisa tetap tinggi.
Ini terutama bagi negara dengan populasi lanjut usia (lansia) tinggi dan tidak memiliki bekal imunitas hibrid. Imunitas hybrid didapatkan ketika seseorang sudah sempat terinfeksi dan juga sudah divaksinasi.
“Pada negara yang belum terdampak besar Delta, ini akan memiliki risiko yang lebih besar karena modal imunitas hybrid-nya untuk memblokade dan meredam BA.4 dan BA.5 tidak memadai. Ini yang harus diwaspadai.”
Pada negara yang saat gelombang Delta terdampak besar dan sudah vaksinasi, maka akan ada proteksi silang terhadap BA.4 dan BA.5.
Advertisement
Kondisi Setiap Negara Berbeda
Kondisi setiap negara yang berbeda menjadi alasan mengapa kasus di suatu negara tidak bisa serta-merta dibandingkan dengan negara lain.
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa kasus COVID-19 di Indonesia lebih rendah ketimbang negara lain.
Menurutnya, berdasarkan evaluasi dalam ratas, kondisi pandemi COVID-19 di Indonesia secara keseluruhan masih dalam tahap yang baik. Ini bila dibandingkan dengan kondisi di berbagai negara lain.
"Jadi kalau kasus kita sekitar 574 harian. Kalau kita lihat Australia bisa 16 ribuan, India 8.530 Singapura 3.100, Thailand 2.404 bahkan Malaysia 1.700," jelas Menko Airlangga saat konferensi pers bersama Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin di Jakarta, Senin (13/6/2022).
Menanggapi hal ini, Dicky mengatakan, jika ingin membandingkan data atau indikator antar negara maka yang dilihat bukan hanya angka absolutnya. Namun, juga perlu dilihat dari sistem kesehatan, kualitas, kekuatan manajemen data, dan kapasitas testing serta tracing-nya
“Jadi tidak bisa misalnya angka kasus kita dibandingkan dengan negara lain seperti Amerika karena ini tidak apple to apple,” ujar Dicky Senin (13/6/2022).
Strategi Testing Pasif
Dicky juga mengatakan bahwa strategi testing di Indonesia terbilang pasif, artinya mayoritas masyarakat tidak akan terdeteksi.
“Strategi testing kita (Indonesia) kan pasif jadi ya mayoritas memang tidak akan terdeteksi memang. Jadi tidak bisa dibandingkan langsung. Tidak bisa langsung disimpulkan seperti itu.”
Ia tidak memungkiri, kondisi Indonesia memang lebih baik ketimbang dua tahun terakhir. Namun, kondisi modal imunitas dan kondisi demografi setiap negara berbeda.
“Singapura lansianya lebih banyak secara proporsi dia 11 persen kurang lebih dari total populasi dan tinggal di wilayah yang risikonya tinggi. Kita, kurang lebih di 9 persenan (populasi lansianya) dan geografisnya luas.”
Dicky juga menyampaikan, memasuki tahun ke-3 ada berbagai hal yang perlu dipahami terkait pandemi COVID-19.
“Memasuki tahun ke-3 ini kita harus memahami perubahan baik dari sisi situasi global, dari sisi modal imunitas, dari sisi karakter virus itu sendiri dan strain yang ada, juga perubahan dari sisi kebijakan intervensi kesehatan,” kata Dicky.
Semua hal itu saling terkait dan memiliki dampak. Di tahun ke-3 ini akan sangat logis dan wajar jika kasus meningkat tinggi. Pasalnya, COVID-19 varian Omicron dan turunannya memiliki angka reproduksi mendekati 10 yang artinya sangat tinggi.
Advertisement