Liputan6.com, Jakarta - Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Dante Saksono Harbuwono mengatakan bahwa pemerintah mengupayakan skrining kesehatan jiwa di Puskesmas dan Posyandu.
Menurutnya, layanan kesehatan jiwa adalah salah satu fokus dari dua pilar transformasi sistem kesehatan yakni transformasi layanan primer dan transformasi sistem rujukan.
Baca Juga
Untuk itu, Kementerian Kesehatan terus melakukan penguatan dan peningkatan layanan untuk masyarakat yang memiliki masalah kesehatan jiwa. Penguatan ini berkaitan dengan upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Advertisement
Upaya promotif dan preventif yang merupakan pilar transformasi layanan primer diperkuat dengan memperluas layanan kesehatan di 7.230 Puskesmas, 85 ribu Posyandu Prima, serta 300 ribu Posyandu di seluruh Indonesia.
Di fasilitas pelayanan kesehatan tersebut, Kemenkes akan menggencarkan promosi kesehatan melalui berbagai media dan pendekatan berbasis masyarakat. Serta melakukan skrining penyakit di setiap sasaran usia baik untuk masalah kesehatan fisik maupun masalah jiwa.
“Skrining kesehatan jiwa nantinya akan ada di seluruh unit seperti Puskesmas, Posyandu Prima maupun Posyandu. Jenis layanannya ada edukasi, penemuan kasus kesehatan jiwa, Strength And Difficulties Questionnaire (SDQ) dan Self Reporting Questionnaire (SRQ).”
“Untuk proses skrining, nantinya akan kita buat lebih mudah, sehingga bisa dilakukan di seluruh fasyankes,” kata Wamenkes dalam webinar “Transformasi Kesehatan Jiwa di Indonesia” yang digelar secara daring pada Rabu 10 Agustus mengutip Sehat Negeriku, Minggu (14/8/2022).
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kuratif dan Rehabilitatif
Selanjutnya, terkait upaya kuratif dan rehabilitatif dilakukan dengan mengubah konsep layanan kesehatan dari perawatan konvensional menjadi lebih nyaman.
Tak hanya itu, fokus perawatan pasien juga akan diubah dari yang sebelumnya fokus pada kontrol dan pengurangan gejala menjadi pelayanan yang fokus pada pemulihan dan peningkatan kualitas hidup pasien.
“Kalau dulu Rumah Sakit Jiwa (RSJ) konvensional sifatnya institusional, kalau sekarang RSJ mengusung konsep home line, di mana pasien yang dirawat di RSJ merasa tinggal di rumah. Ini membuat masyarakat lebih nyaman dan aman saat tinggal di RS.”
"Selain itu, hak pasien juga diperhatikan. Kalau zaman dulu pasien harus dikerangkeng, sekarang sudah masuk ke perawatan yang lebih baik dan komprehensif,” kata Dante.
Ia menambahkan, saat ini implementasi transformasi kesehatan jiwa sedang dilaksanakan di 4 RSJ vertikal di antaranya RSJ Marzoeki Mahdi Bogor, RSJ Soeharto Heerdjan Jakarta, RSJ Soerojo Magelang dan RSJ Radjiman Lawang.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Peran 4 RSJ Vertikal
Keempat RSJ vertikal ini akan menjadi “pilot-pilot” transformasi kesehatan jiwa di Indonesia.
Nantinya, RSJ pilihan tersebut diharapkan bisa melaksanakan pembinaan dan pengampuan jejaring layanan kesehatan jiwa di seluruh RSJ di Indonesia, lanjutnya.
“Mudah-mudahan pengampuan dari RSJ vertikal ini bisa dikembangkan RSJ dengan model dan konsep perubahan yang memberikan kenyamanan sehingga proses pelayanan pada pasien lebih optimal,” harap Dante.
Sebelumnya, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Dr. Celestinus Eigya Munthe mengatakan bahwa rumah sakit jiwa di Indonesia masih terbatas.
Belum semua provinsi mempunyai rumah sakit jiwa sehingga tidak semua Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) mendapatkan pengobatan sebagaimana mestinya.
Menurutnya, permasalahan lain, adalah terbatasnya sarana prasarana dan tingginya beban akibat masalah gangguan jiwa.
“Masalah sumber daya manusia profesional untuk tenaga kesehatan jiwa juga masih sangat kurang, karena sampai hari ini jumlah psikiater sebagai tenaga profesional untuk pelayanan kesehatan jiwa kita hanya mempunyai 1.053 orang,” ucapnya dalam keterangan pers, Selasa (12/10/2021).
Kurangnya SDM
Artinya, satu psikiater melayani sekitar 250 ribu penduduk. Menurutnya, ini suatu beban yang sangat besar dalam upaya meningkatkan layanan kesehatan jiwa di Indonesia, sambungnya.
Tak hanya itu, masalah kesehatan jiwa di Indonesia juga terkendala stigma dan diskriminasi.
“Kita sadari bahwa sampai hari ini kita mengupayakan suatu edukasi kepada masyarakat dan tenaga profesional lainnya agar dapat menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan gangguan jiwa, serta pemenuhan hak asasi manusia kepada orang dengan gangguan jiwa,” tutur Celestinus.
Celestinus juga menjelaskan tingginya prevalensi ODGJ berkaitan dengan masalah kesehatan jiwa.
Untuk saat ini Indonesia memiliki prevalensi orang dengan gangguan jiwa sekitar 1 dari 5 penduduk, artinya sekitar 20 persen populasi di Indonesia itu mempunyai potensi-potensi masalah gangguan jiwa.
“Ini masalah yang sangat tinggi karena 20 persen dari 250 juta jiwa secara keseluruhan potensial mengalami masalah kesehatan jiwa,” katanya.
Dalam keterangan yang sama, Plt. Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes dr. Maxi Rein Rondonuwu mengatakan, situasi tersebut mendorong pemerintah untuk memastikan isu kesehatan jiwa bisa lebih diprioritaskan dari sebelumnya.
Pemerintah daerah harus menjadikan program dan pelayanan kesehatan jiwa menjadi fokus perhatian, tentunya dengan menyediakan berbagai sarana dan prasarana terkait kesehatan jiwa yang memadai.
“Kepada masyarakat, agar menjaga kesehatan diri dan tetap patuh dan disiplin dengan protokol kesehatan agar tidak tertular COVID-19, serta selalu menjaga kesehatan jiwa dengan mengelola stres dengan baik, menciptakan suasana yang aman, nyaman bagi seluruh anggota keluarga,” ujarnya.
Advertisement