Liputan6.com, Jakarta - Saat melihat seseorang marah di media sosial, Anda mungkin jadi salah satu yang pernah berpikir bahwa hal tersebut hanyalah tindakan untuk mencari perhatian. Ternyata cari perhatian bukanlah satu-satunya penyebab.
Psikolog anak, remaja, dan keluarga Universitas Kristen Maranatha Bandung, Efnie Indrianie mengungkapkan bahwa penyebab marah-marah di media sosial dapat didukung oleh berbagai hal. Salah satunya adalah perasaan bebas tanpa adanya penghakiman (judgement) secara umum dari orang lain.
Baca Juga
Terlebih, siapapun di ranah media sosial bisa menggunakan akun yang tidak diketahui identitas aslinya atau anonim. Seseorang akhirnya dapat merasa lebih leluasa untuk melakukan berbagai hal termasuk meluapkan emosi.
Advertisement
"Hal yang membuat seseorang nyaman untuk meluapkan marah di media sosial adalah karena mereka bisa melakukan itu, namun wujud keberadaan fisik mereka tidak bisa diamati oleh pihak lain," ujar Efnie melalui keterangan pada Health Liputan6.com, Minggu (28/8/2022).
"Mereka bisa bebas melakukan itu, namun identitasnya pun terkadang tidak diketahui oleh orang lain karena menggunakan akun anonim atau akun yang disamarkan namanya," tambahnya.
Menurut Efnie, hal tersebutlah yang membuat seseorang secara psikologis merasa nyaman untuk meluapkan emosi di media sosial. Sehingga menjadi viral atau cari viral bukanlah dua alasan utama dibaliknya.
"Hal itulah yang membuat mereka secara psikologis merasa bebas dari judgement umum. Bukan karena sekadar mendapatkan perhatian atau barangkali menjadi viral," kata Efnie.
Marah di Dunia Nyata Lebih Terbatas
Efnie menjelaskan, akan berbeda halnya jika seseorang marah secara langsung di dunia nyata. Siapapun yang meluapkan amarahnya di dunia nyata sangat mungkin untuk menerima protes ataupun dihentikan oleh orang lain.
"Jika di dunia nyata, saat mereka meluapkan marah secara berlebihan tentunya akan banyak yang protes atau berusaha untuk menghentikannya," kata Efnie.
Berkaitan dengan hal tersebut, Efnie juga mengungkapkan bahwa tindakan untuk marah-marah di media sosial sebenarnya hal yang kurang tepat. Hal tersebut lantaran media sosial sebaiknya digunakan untuk terkoneksi dengan orang lain dalam suasana yang netral.
"Idealnya memang media sosial adalah wadah yang bisa membantu manusia untuk terkoneksi antara yang satu dengan yang lainnya dalam suasana yang netral. Sehingga marah-marah secara impulsif di media sosial sebenarnya kurang tepat," kata Efnie.
Apalagi beberapa orang mungkin merasa menyesal usai marah-marah di media sosial, karena merasa tindakan tersebut merupakan hal yang impulsif akibat emosi semata.
Advertisement
Marah Secara Tidak Langsung Sudah Jadi Ciri Khas
Di sisi lain, Efnie menjelaskan bahwa kebiasaan marah-marah tanpa menyelesaikan persoalan langsung dengan orang yang bersangkutan memang telah menjadi ciri khas dan kebiasaan pada masyarakat.
Kebanyakan orang ternyata memang lebih memilih untuk menyindir atau marah-marah dengan cara lain ketimbang menyelesaikan masalah secara langsung.
"Hal ini sudah terbentuk sejak dari zaman dahulu. Jika dulu sebelum ada media sosial maka sindiran ini diucapkan secara lisan. Sejak ada teknologi digital maka hal ini diluapkan melalui teknologi digital. Harapannya adalah agar pihak yang merasa tersindir bisa menyadari hal tersebut secara otomatis," ujar Efnie.
Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan jika sedang diliputi kemarahan? Menurut Efnie, cara terbaik atau yang paling positif adalah dengan mengalihkannya pada sebuah kegiatan positif. Salah satunya dengan berolahraga.
"Emosi negatif dalam bentuk marah itu berbentuk energi, dan energi ini idealnya di release dengan cara-cara yang positif. Salah satunya adalah release dalam bentuk energi mekanik seperti olahraga," kata Efnie.
Selesaikan Masalah Jika Emosi Telah Mereda
Langkah selanjutnya yang dapat dilakukan ketika emosi telah mereda adalah beralih pada ranah penyelesaian masalah. Menyelesaikan masalah ketika emosi mereda dapat membantu stimulasi pada fungsi kerja otak.
"Lalu setelah dirasakan energi ketegangan tersebut mereda maka dilanjutkan dengan problem focused yaitu mencari langkah-langkah penyelesaian masalah," ujar Efnie.
"Sebaiknya mengasingkan diri terlebih dahulu ke tempat yang sepi dan tenang agar bisa memberikan stimulasi ketenangan pada fungsi kerja otak," tambahnya.
Dalam kesempatan berbeda, Efnie mengungkapkan bahwa saat mengalami kejadian kurang mengenakan, otak memang tidak mampu untuk menerima terlalu banyak kata-kata. Sehingga memang sebaiknya biarkan otak beristirahat dan mencerna dengan lebih baik saat kondisi sudah lebih tenang.
Advertisement