Selain Lansia dan Nakes, Ini Kelompok yang Perlu Mendapatkan Vaksin Booster Kedua

Selain nakes dan lansia, ada kelompok berisiko lainnya yang dianggap perlu untuk mendapatkan vaksin booster kedua. Lalu, siapa sajakah itu?

oleh Diviya Agatha diperbarui 24 Nov 2022, 13:00 WIB
Diterbitkan 24 Nov 2022, 13:00 WIB
Mobil Vaksinasi COVID-19 Keliling di Bogor
Petugas Dinas Kesehatan Kota Bogor menyuntikkan vaksin Covid-19 dosis ketiga (booster) di mobil vaksinasi keliling, Terminal Penumpang Tipe A Baranangsiang, Kota Bogor, Sabtu (23/4/2022). Pemkot Bogor menyediakan sentra vaksinasi Covid-19 dosis booster untuk pemudik Lebaran 2022 di terminal tersebut sebagai salah satu upaya pemenuhan syarat perjalanan sekaligus untuk menekan laju penularan Covid-19 di tengah tingginya mobilitas masyarakat. (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI akhirnya telah mengizinkan pemberian vaksinasi COVID-19 dosis keempat atau booster kedua untuk kelompok lanjut usia (lansia) di atas 60 tahun. Pemberiannya efektif ditetapkan per tanggal 22 November 2022.

Sebelumnya selain lansia, para tenaga kesehatan (nakes) juga telah lebih dulu diperbolehkan untuk mendapatkan vaksin booster kedua. Lalu, setelah nakes dan lansia, kelompok mana lagikah yang dianggap perlu untuk mendapatkan booster kedua?

Peneliti Keamanan dan Kesehatan Global Griffith University Australia, Dicky Budiman mengungkapkan bahwa kelompok lain yang perlu mendapatkan booster kedua adalah mereka yang sudah mendapatkan vaksinasi booster pertama lebih dari 5-6 bulan.

"Yang perlu mendapatkan booster kedua atau vaksinasi dosis keempat ini adalah orang-orang yang sudah melebihi 5 atau 6 bulan dosis vaksinasi dosis sebelumnya. Sebetulnya dia sudah harus mendapatkan dosis berikutnya," ujar Dicky melalui keterangan pada Health Liputan6.com, Kamis (24/11/2022).

Hal tersebut lantaran menurut Dicky, orang-orang yang berada dengan kondisi tersebut tetap masuk kategori berisiko. Mengingat varian COVID-19 yang baru muncul seperti XBB, BN.1, maupun CH.1 membuat kelompok berisiko menjadi bertambah.

"Kalau bicara soal subvarian baru, yang berisiko dengan keparahan dan meninggal bukan hanya lansia, bukan hanya komorbid. Tapi juga orang yang belum mendapatkan booster. Apalagi orang itu sudah pernah terinfeksi COVID-19 lebih dari dua kali, dan kelompok itu banyak di Indonesia," kata Dicky.


Dampak Jangka Panjang COVID-19

Gejala Long Covid
Gejala long covid yang dapat terjadi oleh penyintas COVID-19 lebih berisiko diderita oleh perempuan. (pexels.com/Edward Jenner)

Sehingga menurut Dicky, vaksin booster kedua sebetulnya sudah harus diberikan pada masyarakat umum. Di sisi lain, diperlukan pula dorongan untuk masyarakat umum melakukan vaksinasi booster pertama yang capaiannya masih terbilang rendah.

Hal tersebut lantaran dampak COVID-19 tak berhenti pada tingkat keparahan dan kematian. Namun masih ada dampak jangka panjang berupa long COVID-19 yang mana berpotensi meningkatkan beban pembiayaan negara kedepannya.

"Booster ketiga saja masih dibawah 30 persen dan ini yang mengkhawatirkan, karena sekali lagi, gelombang-gelombang dari COVID-19 itu akan menjadi pemicu bukan hanya kematian. Tapi yang semakin membesar disisi lain adalah para calon penderita long COVID-19, yang akan menjadi beban pembiayaan kesehatan negara 5-10 tahun kedepan," ujar Dicky.

Dicky mengungkapkan bahwa efektivitas vaksin untuk mencegah infeksi dan penularan sendiri sebenarnya sudah jauh menurun. Namun, bukan berarti vaksin yang ada saat ini tidak efektif.

"Efektivitas vaksin cegah infeksi dan penularan sudah jauh menurun dengan adanya subvarian baru. Tapi vaksin tetap ampuh cegah keparahan dan kematian. Apalagi untuk daerah bencana, vaksinasi booster harus diprioritaskan," kata Dicky.


Angka Kematian di RI yang Tinggi

Angka Kematian Pasien Covid-19 saat Isolasi Mandiri Melonjak
Proses pemakaman pasien Covid-19 isolasi mandiri di TPU Pondok Kelapa, Jakarta, Selasa (13/7/2021). Para pasien isolasi mandiri ini meninggal karena berbagai alasan, mulai dari terlambat mendapatkan pertolongan, rumah sakit penuh hingga tidak terpantau dengan baik. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Dalam kesempatan berbeda, Eks Direktur Penyakit Menular Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) Asia Tenggara, Prof Tjandra Yoga Aditama mengungkapkan bahwa angka kematian di Indonesia memang perlu untuk diwaspadai.

"Kasus COVID-19 kita meningkat dan angka kematiannya amat perlu diwaspadai. Jumlah kasus kita pada 9 Oktober 2022 dibawah 1000, yaitu 999 orang. Sekarang kasusnya sudah naik 7,5 kali lipat menjadi lebih dari 7.500 orang pada 22 November 2022 kemarin," ujar Tjandra melalui keterangan pada Health Liputan6.com, Rabu, 23 November 2022.

Tjandra menjelaskan, puncak kasus tertinggi di RI sebelumnya terjadi pada 9 Agustus 2022 dengan total 6.276 kasus. Kemudian kasus menurun dan saat ini kembali mengalami kenaikan yang bahkan sudah lebih tinggi.

"Memang sudah banyak dibicarakan bahwa kasus memang akan masih meningkat. Tetapi yang perlu jadi perhatian dan membuat kita prihatin adalah angka kematian," kata Tjandra.


Berkaca Soal Angka Kematian di Negara Lain

FOTO: Jumlah Kasus Aktif COVID-19 di Indonesia Melonjak
Para pekerja yang mengenakan masker berjalan kaki setelah meninggalkan perkantorannya di Jakarta, Rabu (2/2/2022). Satgas Penanganan COVID-19 turut mencatat sebanyak 25 orang meninggal dunia, membuat total angka kematian mencapai 144.373 orang. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Pada 8 Oktober 2022 lalu, angka kematian di Indonesia sempat berada dibawah 10 orang. Namun per 22 November 2022 kemarin, angka kematian sudah naik delapan kali lipat menjadi 51 orang.

"Ini terjadi pada 7.644 kasus kita. Jadi perbandingannya cukup tinggi, 51 per 7.644, atau 0.66 persen. Perbandingan seperti ini tidak terjadi di negara lain."

Tjandra mengungkapkan bahwa bila dibandingkan dengan Singapura, puncak kasus disana mencapai 11.934 orang pada 18 Oktober 2022. Namun angka kematian tertingginya hanya mencapai 5 orang.

Sehingga menurut Tjandra, persentase kematian di Indonesia jelas lebih tinggi dari negara-negara tetangga. Meskipun diketahui bahwa varian Omicron XBB yang beredar saat ini seharusnya punya gejala yang lebih ringan.

"Jadi jelas persentase kematian di negara kita lebih tinggi dari negara tetangga. Di kita jumlah yang meninggal yang sudah lebih 50 orang, dan persentasenya lebih tinggi dari negara tetangga," kata Tjandra.

"Padahal kita tahu bahwa XBB ini adalah bagian dari Omicron juga yang harusnya tidaklah terlalu berat, tetapi entah kenapa di kita menimbulkan angka kematian naik cukup tinggi. Ini harus diantisipasi segera," pungkasnya.

Infografis Kenali Gejalanya dan Jurus Redam Covid-19 Omicron XBB
Infografis Kenali Gejalanya dan Jurus Redam Covid-19 Omicron XBB (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya