Liputan6.com, Jakarta Penelitian kemasan kaleng di Universitas Stanford dan Johns Hopkins University yang dipublikasikan Environmental Research baru-baru ini menunjukkan adanya paparan Bisfenol A (BPA) pada makanan kaleng.
Disebutkan, semakin banyak mengkonsumsi makanan kaleng maka akan semakin berpeluang untuk seseorang terkontaminasi BPA. Jadi, jika BPOM mau melabeli ‘berpotensi mengandung BPA” sebaiknya juga merujuk pada penelitian ini.
Baca Juga
“Saya dapat makan tiga kaleng peach, orang lain bisa makan satu kaleng sup krim jamur, dan saya memiliki paparan lebih besar terkena BPA," kata pemimpin penelitian, Jennifer Hartle dari Stanford Prevention Research Center, seperti dilansir Laboratory Equipment.
Advertisement
Seperti diketahui, BPA merupakan senyawa kimia yang diberikan sebagai pelapis dalam kaleng makanan. Senyawa ini sempat menjadi senyawa andalan dalam pembuatan kemasan, namun sifat kimia yang mirip hormon membuat bahan ini dilarang pada beberapa produk seperti botol bayi.
Penelitian berfokus pada analisis kadar BPA dalam produk makanan kaleng dan mengukur paparan senyawa itu pada sekelompok manusia. Hartle dan tim menemukan bahwa makanan kaleng dengan BPA tinggi berpengaruh pada kandungan senyawa tersebut dalam urin manusia.
Kandungan BPA berbeda pada masing-masing jenis makanan. Namun beberapa jenis makanan kaleng rupanya memiliki implikasi besar pada kandungan BPA dalam urin, seperti jenis sup, pasta, sayuran, dan buah.
Studi yang dilakukan oleh Hartle sebelumnya menemukan bahwa anak-anak menjadi pihak yang paling rentan terpapar BPA. Hal ini karena makanan kaleng banyak digunakan pada menu makan siang di sekolah dan aneka jajanan lainnya.
Pakar Dorong BPOM Uji Laboratorium BPA pada Makanan Kaleng
Merujuk kepada penelitian ini, pakar kimia dari Departemen Kimia Universitas Indonesia, Agustino Zulys, pun menyarankan agar BPOM segera melakukan uji laboratorium terhadap paparan BPA yang ada dalam makanan kemasan kaleng juga dan tidak hanya terhadap kemasan galon guna ulang yang berbahan Polikarbonat.
Hal itu karena sudah ada penelitian yang dipublikasikan oleh Environmental Research yang menunjukkan bahwa mengkonsumsi makanan kaleng berhubungan dengan tingginya konsentrasi BPA dalam urin.
“BPOM perlu meneliti sejauh mana migrasi dari pelapis kaleng anti karat atau BPA yang terdapat dalam kemasan kaleng itu terjadi ke makanannya. Dalam hal ini, BPOM bisa melakukan kerjasama juga dengan perguruan tinggi,” ujarnya.
Dia menuturkan bahan makanan kemasan kaleng yang bersifat asam bisa memungkinkan BPA yang ada dalam lapisan kaleng terlarut. “Makanya, makanan kaleng tidak boleh untuk makanan-makanan yang sifatnya asam,” tukasnya.
Advertisement
BPA Bisa Bermigrasi ke Bahan Makanan
Pakar teknologi pangan dari IPB, Azis Boing Sitanggang, juga mengatakan adanya kecenderungan BPA dalam kemasan makanan kaleng itu bermigrasi ke bahan makanannya.
“Tapi, seberapa besar pelepasan BPA-nya kita tidak tahu. Karena di Indonesia belum ada studi untuk meng-compare langsung dan itu perlu dikaji lagi lebih jauh,” tuturnya.
Proses migrasi BPA dari kemasan kaleng itu bisa disebabkan beberapa faktor. Di antaranya proses laminasi BPA-nya, PH atau tingkat keasaman produk dalam kemasan kaleng itu, dan pindah panas dari produk pangannya.
Dia mencontohkan sarden, jamur, nanas yang dikalengkan itu beda-beda pindah panasnya saat disterilisasi, sehingga perlakuan kombinasi suhu dan waktu pemanasannya juga berbeda-beda .
“Ketika itu beda-beda, berarti peluang migrasi BPA-nya juga berbeda-beda. Tapi, semakin asam bahan makanannya atau PH semakin rendah, kemungkinan besar bisa merusak laminasi epoksinya,” katanya.
Bahaya Makanan Kemasan Kaleng yang Rusak
Pakar polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ahmad Zainal Abidin, juga mengatakan kemasan kaleng yang sudah rusak alias penyok tidak boleh dikonsumsi masyarakat.
Hal itu disebabkan pecahnya lapisan epoksi yang melapisi logam pada kaleng kemasannya, sehingga mengakibatkan terjadinya migrasi BPA ke dalam produknya. “Jika itu terjadi, kemungkinan makanan atau minuman yang ada dalam kemasan itu bisa beracun,” ujarnya.
Dia mengatakan bahaya migrasi BPA yang disebabkan kemasan kaleng penyok dan tergores ini lebih besar dibanding jika itu terjadi pada galon air yang berbahan Polikarbonat (PC). “Kalau galon kan sudah diuji penyok atau tidak penyok migrasi BPA-nya itu rendah. Apalagi bagian luar dan dalam galon itu kan terbuat dari bahan PC. Jadi kalaupun pecah juga tetap keluarnya Polikarbonat juga. Tapi kalau kaleng kemasan, itu bagian dalamnya epoksi. Jadi, ketika dia penyok, epoksinya akan sobek dan menyebabkan terjadinya migrasi BPA ke dalam produknya,” tuturnya.
Karenanya, jika BPOM mau melakukan pelabelan lolos batas aman BPA, menurutnya, kemasan kaleng ini seharusnya yang lebih diutamakan ketimbang galon air berbahan PC. Kata Ahmad Zainal, barang-barang seperti plastik itu bersifat inert atau tidak bereaksi, baik dalam asam maupun basa. “Jadi, plastik itu nggak terlalu masalah dengan situasi asam ataupun basa. Yang bermasalah itu adalah kemasan kaleng karena ada lapisan epoksinya, di mana jika terkelupas bisa membuat produknya beracun,” tukasnya.
Dr. Melyarna Putri, M.Gizi dari KlikDokter juga menyarankan tidak boleh sering-sering mengkonsumsi makanan kaleng dalam jumlah yang terlalu banyak. “Meski kandungan nutrisinya sama dengan makanan segar, tapi makanan kaleng ditambahkan bahan kimia selama proses pengemasan. Bahan kimia yang digunakan dalam pengemasan salah satunya adalah BPA yang digunakan untuk menghalau karat dari kaleng. Bahan kimia ini tidak baik untuk kesehatan kalau dikonsumsi dalam jumlah yang terlalu banyak,” ujarnya.
Menurutnya, jika mengkonsumsi terlalu banyak makanan kaleng dapat meningkatkan risiko terkena diabetes karena paparan BPA dari kemasan kalengnya. “Terlalu banyak terpapar BPA dalam tubuh dapat menyebabkan gangguan pada sistem metabolisme tubuh dan mengurangi sensitivitas insulin, sehingga kadar gula darah akan terus naik,” katanya.
Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof. Dr. Anwar Daud, SKM., M.Kes, C.EIA bahkan menegaskan kontaminasi BPA secara signifikan lebih tinggi pada kemasan kaleng daripada makanan non kaleng seperti makanan segar, makanan beku, dan kemasan plastik. Jadi, menurutnya, jika mau melabeli “berpotensi mengandung BPA” itu lebih cocok kepada kemasan kaleng ketimbang kemasan air.
“Tapi, kalaupun berencana mau melabeli kemasan pangan, harusnya semua kemasan itu harus dilabeli dengan menyatakan ini bebas bahan berbahaya. Jangan ada diskriminatif kalau mau mengamankan kemasan pangan. Kalau mau dilabeli, ya semua harus dilabeli,” ujarnya.
Advertisement