Liputan6.com, Jakarta Tiroid merupakan kelenjar penting dalam tubuh manusia yang berperan dalam mengatur metabolisme dan kesehatan tubuh. Hormon tiroid sangat diperlukan untuk membantu tubuh menggunakan energi agar tetap hangat, serta membuat otak, jantung, otot dan organ lainnya bekerja sebagaimana mestinya.
Namun data American Thyroid Association tahun 2022, prevalensi hipotiroid mencapai 12,4 juta orang dengan tingkat penanganan masih sangat rendah yaitu 1,9 persen. Padahal, dalam beberapa kasus hipotiroid dapat diturunkan dari ibu ke anaknya, yakni Hipotiroid Kongenital pada bayi baru lahir, yang dapat menyebabkan masalah kesehatan serius serta disabilitas intelektual.
Baca Juga
Sedangkan prevalensi hipertiroid sebanyak 13,2 juta dengan tingkat penanganan yang juga sangat rendah, hanya 6,2 persen.
Advertisement
Hal inilah yang mendorong PT Merck Tbk (“Merck”) bersama dengan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (“PB IDI”) dan Pengurus Pusat Indonesian Thyroid Association (“PP InaTA”) menandatangani Nota Kesepahaman sehubungan dengan program RAISE Tiroid.
"Program RAISE Tiroid ini akan menjangkau sekitar 52.000 tenaga kesehatan serta menyelenggarakan skrining pada 3 juta populasi dewasa berisiko tinggi di 7.000 fasilitas kesehatan," kata Presiden Direktur PT Merck Tbk, Evie Yulin dalam keterangan pers, Minggu (28/5/2023).
Dengan demikian diharapkan pada tahun 2030 terapi penanganan hipotiroid dapat meningkat menjadi 5,5 kali lipat atau sebanyak 11% dari sebelumnya 1,9% pada 2022 dan hipertiroid menjadi 2,5 kali lipat sebanyak 15% dari sebelumnya 6,2% pada tahun 2022.
Diharapkan dapat Meningkatkan Pemahaman Masyarakat
Ketua Bidang Kajian Penanggulangan Penyakit Tidak Menular Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Agustina Puspitasari menyampaikan akan pentingnya upaya untuk meningkatkan kapabilitas dokter di Indonesia untuk dapat melakukan deteksi dini gangguan tiroid, terutama pada populasi berisiko tinggi dan bayi baru lahir di daerah endemik.
"Kolaborasi ini membawa harapan baru bagi penanganan masalah tiroid di Indonesia. Kami berharap dapat meningkatkan pemahaman masyarakat, memperbaiki aksesibilitas skrining, dan memperkuat penatalaksanaan terpadu pasien dengan masalah gangguan tiroid di Indonesia," katanya.
Skrining dan diagnosis gangguan tiroid sedini mungkin sangat penting untuk mencegah komplikasi masalah kesehatan serius lebih lanjut, serta memastikan layanan kesehatan berkualitas terkait penanganan gangguan tiroid dapat diberikan bagi seluruh masyarakat.
Advertisement
Terapi Tiroid Belum Optimal
Ketua Pengurus Pusat Indonesian Thyroid Association (PP InaTA), Dr. dr. Tjokorda Gde Dalem Pemayun, mengatakan, kebutuhan untuk diagnosis, terapi dan evaluasi pasien gangguan fungsi tiroid di Indonesia masih belum optimal.
"Hal tersebut disebabkan oleh karena banyak aspek aspek antara lain: keterbatasan akses informasi, edukasi dari dokter, serta terbatasnya akses skirining awal dan pengobatan yang tepat," katanya.
Untuk itu, diperlukan kolaborasi multidisiplin untuk menjembatani kerja sama dalam mengatasi tantangan skrining, penanganan dan pelayanan gangguan tiroid di Indonesia.
" Penanggung Jawab utama kasus-kasus tiroid tidak hanya melibatkan satu spesialisasi saja, melainkan berbagai dokter spesialis di antaranya, dokter spesialis penyakit dalam bidang endokrin, bedah onkologi, patologi, kedokteran nuklir, anak, mata dan lain-lain. Diharapkan pelayanan tiroid terpadu ke masyarakat akan bisa menjadi lebih optimal di masa depan," pungkasnya.