Liputan6.com, Jakarta Sudah 18 tahun Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) belum juga disahkan. Padahal perlindungan terhadap PRT menjadi sebuah urgensi untuk melindungi PRT sebagai pekerja dan warga negara. Urgensi inilah yang saat ini turut didesak oleh para ulama perempuan Indonesia.
Baca Juga
Advertisement
Di Kongres Ulama Perempuan Indonesia atau KUPI II, pengesahan RUU PPRT menjadi salah satu bahasan utama. Isu PRT dibahas dalam Halaqoh Kebangsaan atau Focus Grup Discussion (FGD) bertajuk “Merumuskan Strategi Bersama untuk Percepatan Pengesahan RUU PPRT”. Halaqoh yang sekaligus mengawali KUPI II di Pondok Pesanten Hasyim Asy’ari Jepara pada Kamis(24/11/2022) ini membahasa tentang strategi KUPI dalam mendukung advokasi pengesahan RUU PPRT.
Halaqoh Kebangsaan ini diisi oleh Ari Ujianto dari JALA PRT, Luluk Nur Hamidah yang merupakan anggota DPR RI periode 2019-2024, K.H Abdullah Aniq Nawawi pengurus LBM NU, dan pihak Kementerian Ketenagakerjaan RI. KUPI II sendiri berlangsung dari 24 sampai 26 November 2022.
Urgensi pengesahan RUU PPRT
Ulama perempuan bersepakat, perlindungan terhadap PRT adalah hal yang urgen. Ini karena sebagai pekerja, PRT termasuk rentan karena punya jam kerja panjang. Mereka juga rentan mendapat kekerasan. Hal-hal tersebut menjadi alasan agar Rancangan Undang-Undang (RUU) PRT harus segera disahkan.
"Kami bersepakat, bahwa perlindungan terhadap pekerja rumah tangga itu adalah hal yang urgen" ujar Pera Sopariyanti, Direktur Rahima dalam konferensi persnya pada Kamis(24/11/2022).
Pera juga mengatakan bahwa pekerja rumah tangga di dalam negeri juga perlu diperjuangkan. Ini karena biasanya, pekerja di luar negeri-lah yang biasa diadvokasi. Padahal PRT di dalam negeri juga rentan.
"Kalau selama ini kita mengadvokasi pekerja rumah tangga di luar negeri, kenapa yang di dalam negeri kita tidak pernah melakukan advokasi" tambah Pera.
PRT ada di siklus privat di mana berbagai tindak kekerasan tidak terpublish. Lemahnya perlindungan hukum makin membuat PRT sulit mendapatkan perlindungan dan hak-haknya.
Advertisement
Tantangan pengesahan RUU PPRT
Salah satu tantangan yang saat ini masih dihadapi dalam pengesahan RUU PPRT adalah relasi kuasa yang menempatkan PRT dalam posisi yang paling rendah. Masih ada asumsi-asumsi yang dimiliki pemberi kerja terhadap pengesahan RUU Ini. Para pemberi kerja tersebut merasa akan dirugikan jika RUU PPRT disahkan.
"Padahal sebetulnya di dalam RUU PPRT itu juga diatur bagaimana pembagian upah, relasi bekerja, yang saya kira itu bisa menguntungkan bagi para kedua belah pihak" ujar Pera.
Saat ini KUPI bersama jaringan lainnya sedang berusaha mengafirmasi tentang status PRT sebagai pekerja, bukan pembantu atau asisten. Dengan begitu, PRT berhak atas hak-haknya sebagai pekerja.
Misi Keislaman
Ada banyak proses yang dilakukan mulai dari penguatan ulama perempuan di akar rumput. Ulama perempuan di akar rumput ini memiliki misi keislaman. Misi keislaman tersebut dibahas dalam halaqah KUPI II, yaitu tentang pekerja rumah tangga.
Pera Sopariyanti, Direktur Rahima dalam konferensi persnya menyatakan bahwa PRT adalah manusia dan juga warga negara yang memiliki hak yang sama.
"Di dalam Islam, mereka juga subjek utama di dalam kehidupan, dan Islam melarang siapapun melakukan kezaliman terhadap siapapun manusia" jelas ketua III KUPI II ini.
Desakan pengesahan RUU PPRT ini juga selaras dengan visi KUPI dalam keislaman. Ini karena Islam menghargai semua manusia sebagai manusia terhormat.
"Apapun latar belakangnya, agama, ras, suku, dan semuanya, Tuhan menciptakan mereka dengan mulia. Karena itu tidak selayaknya melakukan tindakan kezaliman." ujar Pera.
Desakan pengesahan RUU PPRT juga merupakan bagian dari menagih tanggung jawab negara untuk melindungi PRT.
Advertisement