Rukun Jual Beli dalam Islam, Pahami Dalil, Syarat dan Unsurnya

Rukun jual beli dalam islam beserta dengan syarat dan dalil-dalilnya.

oleh Woro Anjar Verianty diperbarui 02 Feb 2023, 11:50 WIB
Diterbitkan 02 Feb 2023, 11:50 WIB
Ilustrasi jual beli
Ilustrasi jual beli. (Photo copyright by Freepik)

Liputan6.com, Jakarta Rukun jual beli merupakan salah satu aspek kehidupan yang turt diatur dalam Islam, rukun jual beli ini merupakan pedoman yang digunakan untuk bertransaksi, terutama dalam perdagangan barang. Dalam rukun jual beli Islam terdapat empat unsur utama dalam melakukan transaksi jual beli, yaitu adanya penjual, adanya pembeli, adanya barang, dan adanya ijab qabul.

Sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, mengetahui rukun jual beli dalam Islam menjadi salah satu pengetahuan yang penting diketahui oleh masyarakat secara umum. Hal ini agar setiap transaksi yang dilakukan, dapat sesuai dengan anjuran agama. Memahami rukun jual beli juga menjamin transaksi yang halal dan tanpa riba.

Masuk ke dalam kajian fiqih muamalah, kajian tentang rukun jual beli berisi tentang hukum dan aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT untuk mengatur urusan manusia yang berkaitan dengan urusan duniawi dan pergaulan sosial. Hukum-hukum jual beli ini dapat dengan mudah ditemukan dalam Al Quran dan Hadist. 

Untuk dapat lebih memahami rukun jual beli dalam Islam, berikut ini telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber rukun jual beli dalam Islam beserta dengan syarat dan dalil-dalilnya, Kamis (2/2/2023).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Pengertian dan Klasifikasi Jual Beli Dalam Islam

[Bintang] Poin yang Menyatakan BPJS HARAM
Ilustrasi kesepakatan | Via: cheboksary.ru

Dalam dunia perdagangan, jual beli dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan. Penjualan adalah transaksi yang paling kuat dalam dunia perdagangan dan pada umumnya merupakan bagian terpenting dari kegiatan bisnis. Secara etimologis, jual beli berarti menukar harta dengan harta. Jual beli adalah dua kata yang saling bertentangan, dimana transaksi jual beli akan melibatkan penjual dengan pembeli.

Jual beli sendiri dapat diklasifikasikan dalam banyak divisi dengan sudut pandang yang berbeda. Klasifikasi tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Barang Dagangan

Dilihat dari sisi ini, jual beli terbagi menjadi tiga jenis:

a) Pertama : Jual beli umum, yaitu menukarkan uang dengan barang.

b) Kedua : Jual beli ash-sharf atau Money Changer, yaitu menukarkan uang dengan uang.

c) Ketiga : Jual beli muqayyadah atau barter, yaitu menukar barang dengan barang.

2. Dari sisi cara standarisasi harga

a) Jual beli dengan tawar-menawar (bargaining), adalah jual beli dimana penjual tidak memberitahukan modal barang yang dijualnya.

b) Percaya beli dan jual. Ini adalah tindakan jual beli di mana penjual memberi tahu harga modal penjualan. 

c) Jual beli muzayadah (lelang), adalah perbuatan jual beli dimana penjual menawarkan barang dagangannya, mula-mula para pembeli saling menawar dengan menaikkan jumlah pembayaran dari pembeli sebelumnya, kemudian penjual akan menjual dengan harga tertinggi dari pembeli. 

3. Berdasarkan Metode Pembayaran

a) Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran secara langsung.

b) Jual beli dengan menunda pembayaran.

c) Jual beli dengan menunda penyerahan barang.

d) Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama tertunda.

Syarat dan Unsur Rukun Jual Beli dalam Islam

Menurut Imam Al-Rafi’I sebagaimana dikutip Syekh Zakaria Al-Anshory dalam kitab Fathul Wahâb, syarat sahnya jual beli antara lain:

1. Ada dua orang yang saling bertransaksi (muta'âqidain), yang terdiri dari penjual dan pembeli.

2. Adanya sighat/lafadz yang menunjukkan surat keterangan jual beli, meliputi lafadh ijab dan lafadh qabul. Ini adalah persyaratan utama.

3. Barang yang ditransaksikan (ma'qud 'alaih). Unsur al-ma'qud 'alaih ini terdiri dari 'harga' (thaman) dan 'barang yang dinilai' (mothman).


Dalil-Dalil Rukun Jual Beli dalam Islam

Surat Fathir ayat 29:

إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ

Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi,"

 

Surat Al-Baqarah ayat 275:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Artinya: "Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusan (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya."

 

Surat An-Nisa Ayat 29

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.


Hukum Jual Beli Barang Secara Kredit

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, penjualan kredit adalah cara penjualan barang dengan pembayaran non tunai (pembayaran ditangguhkan atau dicicil). Sedangkan yang dimaksud dengan pembelian secara kredit adalah pembelian yang dilakukan terhadap suatu barang dengan pembayaran harga barang yang dilakukan secara bertahap sesuai dengan tahapan pembayaran yang disepakati kedua belah pihak (pembeli dan penjual). 

Ulama Syafi'iyah, Hanafiyah, Al-Muayyid billah, dan mayoritas ulama lainnya berpendapat bahwa jual beli kredit diperbolehkan. Hal ini didasarkan pada beberapa hal, seperti:

1. Tidak diperbolehkan memperdagangkan barang-barang riba.

Syarat pertama adalah tidak melakukan transaksi barang ribawi. Barang ribawi adalah barang yang diperjualbelikan atau dipertukarkan tidak sesuai dengan syariat agama, sehingga mengarah pada transaksi riba. 

Barang yang termasuk riba adalah Uang, Perak atau Emas, Permata, Kurma, Gandum, Garam, dan sejenisnya. Barang-barang di atas harus diperjualbelikan secara tunai atau tunai. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ubadah bin Ash Shomit radhiyallahu 'anhu, katanya, Rasulullah-shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, tidak peduli dengan takaran yang sama, berat dan uang yang sama. Jika jenisnya berbeda, maka juallah sebagai kamu mau asalkan dalam bentuk tunai dan segera serahkan kuitansinya.” (H.R. Muslim)

2. Barang yang dijual adalah milik sendiri.

Seorang penjual harus menjual barang yang dimilikinya sendiri. Tidak boleh penjual mengkreditkan barang yang bukan haknya. Misalnya dropshipping. Ini sebenarnya kontroversi. Anda menjual barang yang kondisinya tidak anda ketahui. Pengiriman juga dilakukan melalui seller pertama. Anda hanya perantara. Ini dapat menyebabkan masalah pengiriman, baik terlambat atau mungkin hilang. Hal yang merugikan pembeli bisa menimbulkan dosa.

3. Serah terima barang harus dilakukan tepat waktu

Biasanya dalam sistem kredit, barang diberikan kepada pembeli pada saat pembayaran uang muka dilakukan. Ini harus dilakukan tepat waktu, tidak boleh ditunda. Karena bagaimanapun pembeli sudah memiliki hak atas barang tersebut. Kecuali ada kesepakatan tertentu.

4. Waktu pembayaran harus jelas

Dalam sistem kredit, yang terpenting adalah persetujuan dan pencatatan prosedur transaksi. Termasuk waktu pembayaran juga harus jelas. Dengan demikian tidak akan ada konflik.

5. Jika terlambat, tidak boleh ada sistem penambahan bunga.

Dalam bertransaksi dengan sistem kredit, jangan sampai anda menerapkan bunga tambahan saat pembeli terlambat membayar. Ini bisa membuat anda terjerumus ke dalam riba yang merupakan dosa besar.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya