Liputan6.com, Jakarta Ketika Hari Raya Idul Fitri tepatnya setelah shalat Id, salah satu budaya masyarakat Indonesia yang selalu dilakukan adalah halal bihalal. Tradisi dan budaya ini adalah ajang saling bersilaturahim, untuk bermaaf-maafan kepada keluarga dan sanak saudara ataupun kolega. Arti halal bil halal sendiri adalah sebuah ungkapan dalam bahasa Indonesia, yang merujuk pada tradisi atau acara di mana sekelompok orang berkumpul setelah selesai bulan Ramadan, atau pada momen-momen tertentu seperti Idul Fitri.
Secara bahasa, Halal Bihalal terdiri dari dua kata, yaitu Halal (حلال) dan Bihalal (بحلال) yang secara harfiah mempunyai pengertian halal dengan halal, halal dibalas dengan halal, ridha dibalas dengan ridha, rela dibalas dengan rela, maaf dibalas dengan maaf. Arti halal bil halal umumnya dilakukan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan oleh sekelompok orang.
Arti halal bil halal bertujuan menghormati sesama manusia, dalam bingkai silaturahmi. Halal bil halal menjadi kesempatan bagi individu untuk mengakui kesalahan mereka, meminta maaf kepada orang-orang yang mungkin telah terluka atau tersinggung, dan memulai lembaran baru dengan hati yang tulus. Halal Bihalal juga mengingatkan kita tentang nilai-nilai luhur seperti kesederhanaan, kerendahan hati, dan rasa syukur.
Advertisement
Berikut ini sejarah halal bil halal yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Rabu (23/8/2023).
Sejarah
Halal bil halal adalah istilah yang disebutkan oleh KH Abdul Wahab Chasbullah, seorang ulama besar yang merupakan pendiri Nahdlatul Ulama. Penggunaan istilah halal bihalal ini dilatarbelakangi atas keresahan KH Wahab Chasbullah, pada kondisi bangsa Indonesia yang saat itu belum lama merdeka, sedangkan para elit politiknya dan petinggi negara justru tidak akur dan saling berseteru. Apalagi sekitar tahun 1948, Indonesia sedang mengalami pemberontakan yang dilaukan oleh DI/TII dan juga PKI di Madiun.
Dikisahkan menurut riwayat dari Kiai Masdar, pada pertengahan bulan Ramadan KH Wahab Chasbullah dan Presiden Soekarno bertemu ke Istana Negara. Presiden Soekarno menyampaikan rasa gelisahnya mengenai situasi politik yang sedang tidak sehat tersebut, dan meminta nasehat dari Kiai Wahab. Karena Hari Raya Idul Fitri hampir tiba, di mana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturrahim, KH Wahab Chasbullah lantas memberi saran kepada Presiden Soekarno untuk mengadakan acara silaturahim dengan para elit politik dan masyarakat. Namun, Soekarno kurang setuju dengan sebutan “Silaturahim”, Bung Karno menjawab, “Silaturrahim kan biasa, saya ingin istilah yang lain”.
Melansir dari laman pecihitam.org, istilah halal bihalal berasal dari kalimat ‘thalabu halal bi thariqin halal’ yang artinya mencari keharmonisan hubungan, atau mencari penyelesaian masalah dengan cara mengampuni kesalahan. Bung Karno pun setuju penyebutan “silaturahmi khusus Idul Fitri” dari Kiai Wahab tersebut.
Kemudian di Hari Raya Idul Fitri tahun tersebut, Presiden Soekarno lantas mengadakan halal bihalal mengundang seluruh kalangan dari elit politik dan masyarakat umum untuk datang ke Istana. Mereka duduk bersama, berbincang, dan saling memaafkan. Seiring berjalannya waktu ternyata gelaran ini menjadi tradisi dan budaya yang berketerusan di Indonesia, hingga kalangan masyarakat dan dimaknai sebagai acara ‘sah’ untuk bermaaf-maafan di Hari Raya Idul Fitri setiap tahunnya.
Advertisement
Pelanggaran Syariah dalam Halal Bil Halal
Mengakhirkan permintaan maaf hingga datangnya Idul Fitri
Ketika melakukan kesalahan atau kezhaliman pada orang lain, sebagian orang menunggu Idul Fitri untuk meminta maaf, seperti disebutkan dalam ungkapan yang terkenal “urusan maaf memaafkan adalah urusan hari lebaran”. Dan jadilah “mohon maaf lahir batin” ucapan yang “wajib” pada hari Raya Idul Fitri. Padahal belum tentu kita akan hidup sampai Idul Fitri dan kita diperintahkan untuk segera menghalalkan kezhaliman yang kita lakukan, sebagaimana keterangan hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لِأَخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا؛ فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلا دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لِأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Shallallah ‘alaih Wasallam bersabda
“Barang siapa melakukan kezhaliman kepada saudaranya, hendaklah meminta dihalalkan (dimaafkan) darinya; karena di sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan dinar dan dirham, sebelum kebaikannya diberikan kepada saudaranya, dan jika ia tidak punya kebaikan lagi, maka keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan kepadanya”. (HR. al-Bukhari nomor 6.169)
Ikhtilath (campur baur lawan jenis) yang bisa membawa ke maksiat yang lain, seperti pandangan haram dan zina. Karenanya, Nabi Shallallah ‘alaihWasallam melarangnya, seperti dalam hadits Abu Usaid berikut:
عَنْ أَبِى أُسَيْدٍ الأَنْصَارِىِّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ وَهُوَ خَارِجٌ مِنَ الْمَسْجِدِ فَاخْتَلَطَ الرِّجَالُ مَعَ النِّسَاءِ فِى الطَّرِيقِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لِلنِّسَاءِ « اسْتَأْخِرْنَ فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرِيقَ عَلَيْكُنَّ بِحَافَاتِ الطَّرِيقِ ». فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تَلْتَصِقُ بِالْجِدَارِ حَتَّى إِنَّ ثَوْبَهَا لَيَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَا بِهِ.
Dari Abu Usaid al-Anshari ia mendengar Allah SWT berkata saat keluar dari masjid, dan kaum pria bercampur baur dengan kaum wanita di jalan. Maka beliau mengatakan kepada para wanita:
“Mundurlah kalian, kalian tidak berhak berjalan di tengah jalan, berjalanlah di pinggirnya.” Maka para wanita melekat ke dinding, sehingga baju mereka menempel di dinding, saking lekatnya mereka kepadanya”. (HR. Abu Dawud no. 5272, dihukumi hasan oleh al-Albani) [15]
Berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram
Maksiat ini banyak diremehkan oleh banyak orang dalam halal bihalalatau kehidupan sehari-hari, padahal keharamannya telah dijelaskan dalam hadits berikut:
عن مَعْقِل بن يَسَارٍ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:”لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ”
Allah SWT “Sungguh jika seorang di antara kalian ditusuk kepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. (HR. ath-Thabrani, dihukumi shahih oleh al-Albani) [16]
Al-Albani berkata: “Ancaman keras bagi orang yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Di dalamnya terkandung dalil haramnya menjabat tangan wanita, karena tidak diragukan lagi bahwa berjabat tangan termasuk menyentuh. Banyak umat Islam yang jatuh dalam kesalahan ini, bahkan sebagian ulama.” [17]
Makna
Berdasarkan tinjauan bahasa, kata halal sendiri diambil dari kata halla atau halala yang bermakna menyelesaikan masalah atau kesulitan atau meluruskan benang kusut atau mencairkan yang membeku atau melepaskan ikatan yang membelenggu. Oleh sebab itu, halal bihalal dimaknai sebagai bentuk menyambungkan kembali apa-apa yang terputus.
Selaras dengan Ajaran Islam
Tradisi halal bi halal setelah Idul Fitri memang hanya ada di Indonesia. Meski tidak ada tuntunan langsung dalam syariat, namun maksud dan tujuan tradisi tersebut sangat sesuai dengan hadits Nabi Muhammad Saw:
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٌ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَيَكُوْنَ دِيْنَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّــــئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang telah menganiaya kepada orang lain baik dengan cara menghilangkan kehormatannya ataupun dengan sesuatu yang lain maka mintalah halalnya pada orang tersebut seketika itu, sebelum adanya dinar dan dirham tidak laku lagi (sebelum mati). Apabila belum meminta halal sudah mati, dan orang yang menganiaya tadi mempunyai amal sholeh maka diambilah amal sholehnya sebanding dengan penganiayaannya tadi. Dan apabila tidak punya amal sholeh maka amal jelek orang yang dianiaya akan diberikan pada orang yang menganiaya”. (HR. Al Bukhori)
Rasulullah SAW bersabda :
إِذَا الْتَقَيَا فَتَصَافَحَا تَحَاتَتْ ذُنُوْبُهُمَا
“Sesungguhnya apabila dua orang islam bertemu kemudian bersalaman maka gugurlah dosa dari keduanya.”
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا
“Tidak ada dua orang muslim yang bertemu kemudian bersalaman kecuali dosa keduanya diampuni oleh Allah swt sebelum mereka berpisah.” (HR. Tirmidzi)
Selain itu, budaya silaturrahim dengan saling berkunjung ke rumah saudara juga merupakan perintah Allah Swt sebagaimana firman-Nya:
وَالَّذِيْنَ يَصِلَوْنَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَنْ يُوْصَلَ
“Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah swt perintahkan supaya dihubungkan (Yaitu mengadakan hubungan silaturahim dan tali persaudaraan).” (QS. Ar Ra’du : 21)
Rasulullah Saw juga menerangkan tentang keutamaan silaturahim sebagaimana sabda beliau:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa ingin dilapangkan rizqinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menghubungkan tali persaudaraan (silaturrahim).” (HR. Bukhori)
لَا يَدْخُلُ اَلْجَنَّةَ قَاطِعٌ يَعْنِي قَاطِعَ رَحِمٍ
“Tidak akan masuk surga seorang pemutus, yaitu pemutus tali persaudaraan.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Advertisement