George VI: Kisah Raja yang Mengubah Wajah Monarki Inggris

Kisah Kehidupan Raja George VI

oleh Woro Anjar Verianty diperbarui 11 Sep 2024, 16:15 WIB
Diterbitkan 11 Sep 2024, 16:15 WIB
Raja George VI
Ratu Elizabeth tersenyum saat George VI, Raja Inggris Raya, memberi hormat kepada orang banyak, pada 26 Juni 1938 di London. (AFP)

Liputan6.com, Jakarta George VI, yang lahir sebagai Albert Frederick Arthur George, merupakan sosok yang tak terlupakan dalam sejarah monarki Inggris. Menjadi raja pada masa yang penuh gejolak, George VI menghadapi tantangan besar dalam memimpin kerajaan. Dari krisis abdikasi hingga Perang Dunia II, masa pemerintahan George VI ditandai dengan berbagai peristiwa bersejarah yang membentuk dunia modern dan mengubah wajah monarki Inggris selamanya.

Meskipun awalnya tidak dipersiapkan untuk menjadi raja, George VI membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang tangguh dan berdedikasi. Selama masa pemerintahannya, George VI berhasil mengembalikan kepercayaan publik terhadap monarki yang sempat goyah akibat abdikasi kakaknya, Edward VIII. Keberanian dan ketabahan George VI dalam menghadapi tantangan masa perang menjadikannya simbol ketahanan nasional, menginspirasikan rakyatnya untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan.

Warisan George VI tidak hanya terlihat dalam perannya sebagai raja, tetapi juga dalam transformasi Kekaisaran Inggris menjadi Persemakmuran. Di bawah pemerintahan George VI, proses dekolonisasi dipercepat, mengubah hubungan Inggris dengan bekas koloninya dan membentuk ulang peta dunia. Dedikasi George VI terhadap tugas kerajaan, meskipun menghadapi masalah kesehatan yang serius, menjadikannya salah satu raja yang paling dihormati dalam sejarah Inggris modern, dengan pengaruh yang masih terasa hingga hari ini.

Lebih jelasnya, berikut ini telah Liputan6.com rangkum kisah Raja George VI, pada Rabu (11/9).

Awal Kehidupan dan Jalan Menuju Tahta

Raja Inggris George VI
Raja Inggris George VI (Wikipedia)

George VI, yang lahir pada 14 Desember 1895 di York Cottage, Sandringham Estate, Norfolk, tidak pernah dipersiapkan untuk menjadi raja. Sebagai putra kedua Raja George V dan Ratu Mary, Albert (nama panggilannya) hidup di bawah bayang-bayang kakaknya, Edward, yang merupakan pewaris takhta. Masa kecilnya ditandai dengan berbagai tantangan kesehatan, termasuk masalah pencernaan kronis dan kaki yang lemah, yang membuatnya harus mengenakan penyangga yang menyakitkan.

Pendidikan Albert dimulai di Royal Naval College, Osborne, pada tahun 1909. Meskipun awalnya berjuang dengan studi akademisnya, ia menunjukkan ketekunan yang luar biasa. Selama Perang Dunia I, ia bertugas di HMS Collingwood dan bahkan terlibat dalam Pertempuran Jutland pada tahun 1916. Pengalaman ini membentuk karakternya dan memberikannya pemahaman mendalam tentang pengorbanan dan keberanian yang diperlukan dalam masa perang.

Setelah perang, Albert melanjutkan pendidikannya di Trinity College, Cambridge, mempelajari sejarah, ekonomi, dan ilmu kewarganegaraan. Pada tahun 1920, ia dianugerahi gelar Duke of York oleh ayahnya. Dalam perannya sebagai Duke of York, Albert mulai mengambil lebih banyak tugas kerajaan, mengunjungi tambang batubara, pabrik, dan fasilitas industri lainnya. Kunjungan-kunjungan ini membuatnya mendapat julukan "Pangeran Industrial" dan membangun hubungan yang kuat antara monarki dan rakyat biasa.

Perjalanan Albert menuju tahta dimulai secara tak terduga pada tahun 1936 ketika kakaknya, yang telah menjadi Raja Edward VIII, memutuskan untuk turun takhta demi menikahi Wallis Simpson, seorang wanita Amerika yang telah bercerai dua kali. Krisis abdikasi ini mengguncang fondasi monarki dan menempatkan Albert dalam posisi yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Meskipun awalnya enggan dan merasa tidak siap, Albert akhirnya menerima tanggung jawab sebagai raja. Ia mengambil nama George VI, menekankan kontinuitas dengan ayahnya dan berusaha mengembalikan kepercayaan publik terhadap monarki. Dalam catatannya, ia menulis dengan penuh emosi tentang beban berat yang harus ia pikul, menggambarkan "takhta yang berguncang" yang harus ia stabilkan kembali.

 

Masa Pemerintahan dan Peran Selama Perang Dunia II

Raja George VI (Sumber: Wikimedia Commons)
Raja George VI (Sumber: Wikimedia Commons)

Awal masa pemerintahan George VI ditandai dengan ketegangan politik menjelang Perang Dunia II. Meskipun secara konstitusional terikat untuk mendukung kebijakan perdamaian Perdana Menteri Neville Chamberlain, George VI segera menyadari ancaman yang ditimbulkan oleh Nazi Jerman. Ketika perang akhirnya pecah pada September 1939, George VI dengan cepat mengambil peran sebagai simbol perlawanan nasional.

Selama Perang Dunia II, George VI dan istrinya, Ratu Elizabeth, memainkan peran penting dalam menjaga semangat rakyat Inggris. Mereka menolak meninggalkan London selama The Blitz, bahkan ketika Istana Buckingham dibom pada September 1940. Ratu Elizabeth dengan berani menyatakan, "Saya senang kami telah dibom. Ini membuat saya merasa bisa menatap East End." Keputusan mereka untuk tetap di London dan berbagi bahaya yang sama dengan rakyat biasa sangat meningkatkan popularitas keluarga kerajaan.

George VI dan Ratu Elizabeth melakukan kunjungan rutin ke daerah-daerah yang terkena bom, pabrik-pabrik amunisi, dan pasukan. Kunjungan-kunjungan ini tidak hanya meningkatkan moral rakyat tetapi juga membangun hubungan yang lebih dekat antara monarki dan rakyat. George VI juga mengunjungi pasukan di luar negeri, termasuk di Prancis, Afrika Utara, Malta, Normandia, dan Italia Selatan, menunjukkan dedikasinya terhadap angkatan bersenjata dan perannya sebagai simbol nasional.

Hubungan George VI dengan Perdana Menteri Winston Churchill menjadi salah satu aspek penting dari masa perang. Mereka bertemu secara rutin setiap Selasa selama empat setengah tahun untuk membahas strategi perang dan isu-isu penting lainnya. Pertemuan-pertemuan ini tidak hanya membahas strategi perang tetapi juga memperkuat moral pemimpin negara. Catatan harian George VI tentang pertemuan-pertemuan ini menjadi sumber sejarah yang tak ternilai, memberikan wawasan unik tentang proses pengambilan keputusan selama masa-masa kritis perang.

Keberanian dan ketabahan George VI selama masa-masa sulit ini memperkuat posisinya sebagai simbol ketahanan nasional. Ia belajar untuk mengatasi kegagapannya, memberikan pidato-pidato yang menginspirasi bangsa. Salah satu momen yang paling diingat adalah ketika ia berbicara kepada bangsa pada Hari Kemenangan di Eropa, dengan rakyat bersorak "Kami ingin Raja!" di depan Istana Buckingham.

Transformasi Kekaisaran dan Warisan

George VI (tengah), dinobatkan sebagai Raja Inggris pasa 12 Mei 1937
George VI (tengah), dinobatkan sebagai Raja Inggris pasa 12 Mei 1937 (National Portrait Gallery)

Masa pemerintahan George VI menyaksikan perubahan besar dalam struktur Kekaisaran Inggris. Proses dekolonisasi yang dimulai sebelum perang dipercepat, dengan India dan Pakistan merdeka pada tahun 1947. George VI melepaskan gelar Kaisar India dan menjadi Raja India dan Pakistan, menandai awal era baru dalam hubungan Inggris dengan bekas koloninya.

Transformasi Kekaisaran menjadi Persemakmuran adalah salah satu warisan terbesar George VI. Deklarasi London 1949 yang ia tandatangani meletakkan dasar Persemakmuran modern dan mengakuinya sebagai Kepala Persemakmuran. Ini menandai pergeseran dari kekaisaran kolonial menjadi asosiasi sukarela negara-negara merdeka, sebuah konsep revolusioner pada masanya.

George VI memainkan peran penting dalam transisi ini, mengunjungi berbagai negara Persemakmuran dan membangun hubungan personal dengan para pemimpin mereka. Kunjungannya ke Afrika Selatan pada tahun 1947, misalnya, menunjukkan kompleksitas hubungan ini. Meskipun menghadapi tekanan politik dari pemerintah apartheid, George VI tetap berpegang pada prinsip-prinsip kesetaraan dan rasa hormat terhadap semua rakyatnya.

Warisan George VI juga terlihat dalam penghargaan yang ia dirikan, seperti George Cross dan George Medal, yang mengakui keberanian sipil luar biasa. Penghargaan-penghargaan ini, yang masih diberikan hingga hari ini, mencerminkan nilai-nilai yang ia junjung tinggi: keberanian, pengorbanan, dan pelayanan kepada sesama.

Akhir Hidup dan Pengaruh Abadi

Tahun-tahun terakhir kehidupan George VI ditandai dengan perjuangan melawan berbagai penyakit. Stres perang, ditambah dengan kebiasaan merokoknya yang berat, mengambil alih kesehatannya. Ia mengalami kanker paru-paru dan penyakit Buerger, yang menyebabkan masalah sirkulasi serius.

Meskipun menghadapi masalah kesehatan yang serius, George VI tetap berkomitmen pada tugasnya sebagai raja. Ia menjalani operasi pengangkatan paru-paru kiri pada September 1951, tetapi tetap berusaha menjalankan tugas-tugas kerajaannya. Keputusannya untuk tetap di London selama Festival of Britain pada tahun 1951, meskipun kesehatannya memburuk, menunjukkan dedikasinya yang tak tergoyahkan.

Kematian George VI pada 6 Februari 1952 di Sandringham House mengejutkan bangsa. Ia ditemukan meninggal di tempat tidurnya, pada usia 56 tahun, akibat trombosis koroner. Kepergiannya yang tiba-tiba menandai akhir dari era dan awal dari era baru di bawah pemerintahan putrinya, Elizabeth II.

Warisan yang George VI tinggalkan adalah monarki yang telah pulih dari krisis abdikasi dan menjadi simbol stabilitas dan kontinuitas. Ia berhasil mengubah persepsi publik tentang monarki, dari institusi yang terkesan jauh dan terpisah menjadi bagian integral dari identitas nasional Inggris.

Pengaruh George VI terus terasa hingga saat ini. Kisahnya, terutama perjuangannya mengatasi gagap, telah menginspirasi banyak orang dan bahkan diabadikan dalam film pemenang Oscar, "The King's Speech" pada tahun 2010. Film ini tidak hanya menghidupkan kembali minat publik terhadap George VI tetapi juga menyoroti kualitas-kualitas yang membuatnya menjadi pemimpin yang efektif: ketekunan, kerendahan hati, dan rasa tanggung jawab yang mendalam.

Dedikasi George VI terhadap tugas, keberanian selama perang, dan perannya dalam transformasi Kekaisaran menjadi Persemakmuran menjadikannya salah satu tokoh paling penting dalam sejarah monarki Inggris abad ke-20. Ia membuktikan bahwa kekuatan karakter dan dedikasi terhadap tugas dapat mengubah seseorang yang tidak dipersiapkan untuk menjadi raja menjadi pemimpin yang dihormati dan dicintai oleh rakyatnya.

Hari ini, warisan George VI terus hidup melalui institusi-institusi yang ia dukung, nilai-nilai yang ia junjung tinggi, dan contoh kepemimpinan yang ia tunjukkan. Kisahnya tetap menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang, mengingatkan kita bahwa keberanian, ketekunan, dan dedikasi dapat mengatasi hambatan apa pun dan membuat perbedaan yang signifikan dalam kehidupan orang lain.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya