Liputan6.com, Jakarta Jawa Tengah memiliki kekayaan budaya yang tak ternilai, termasuk dalam tradisi menyambut bulan suci Ramadan. Setiap tradisi ini merupakan hasil akulturasi yang harmonis antara budaya Jawa dan ajaran Islam, menciptakan warisan budaya yang khas dan penuh makna.
Di era modern ini, tradisi menyambut bulan puasa di Jawa Tengah tetap dilestarikan dengan penuh khidmat. Meskipun zaman terus berubah, nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap tradisi tetap relevan dan menjadi pedoman bagi masyarakat dalam menyucikan diri menjelang Ramadan.
Berbagai tradisi ini tidak hanya menjadi ritual tahunan, tetapi juga menjadi momen penting untuk mempererat tali silaturahmi antarwarga. Mari kita telusuri lima tradisi menyambut bulan puasa di Jawa Tengah yang masih lestari hingga saat ini, sebagaimana telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Senin (20/1/2025).
Advertisement
1. Nyadran, Tradisi Ziarah dan Bersih Desa
Nyadran merupakan tradisi tertua dalam menyambut bulan puasa di Jawa Tengah yang berakar dari kata "Sraddha" dalam bahasa Sanskerta, yang berarti keyakinan. Tradisi ini awalnya merupakan ritual animisme untuk menghormati leluhur, yang kemudian mengalami akulturasi dengan nilai-nilai Islam setelah masuknya agama Islam ke tanah Jawa melalui Wali Songo.
Di berbagai wilayah Jawa Tengah, Nyadran dikenal dengan nama yang berbeda-beda. Di Banyumas tetap disebut nyadran, sementara di Temanggung dan Boyolali dikenal sebagai sadranan. Waktu pelaksanaannya pun bervariasi, umumnya dilakukan pada bulan Ruwah (Sya'ban), sekitar 15-23 hari sebelum Ramadan.
Prosesi Nyadran dimulai dengan ziarah dan membersihkan makam leluhur, dilanjutkan dengan kerja bakti membersihkan lingkungan desa. Kegiatan ini melambangkan pembersihan diri secara lahir dan batin sebelum memasuki bulan suci. Puncak acara ditandai dengan kenduri atau selamatan, di mana warga berkumpul untuk berdoa bersama dan menikmati hidangan yang dibawa dari rumah masing-masing.
Makna simbolis Nyadran sangat dalam, meliputi aspek spiritual dan sosial. Secara spiritual, ini merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur dan permohonan berkah. Secara sosial, Nyadran menjadi ajang silaturahmi dan gotong royong antarwarga, memperkuat persatuan dan kerukunan masyarakat.
Advertisement
2. Padusan, Ritual Penyucian Diri
Padusan berasal dari kata "adus" dalam bahasa Jawa yang berarti mandi. Tradisi ini merupakan ritual pembersihan diri yang dilakukan sehari sebelum memasuki bulan Ramadan. Meskipun terdengar sederhana, Padusan memiliki makna spiritual yang mendalam dalam budaya Jawa.
Awalnya, Padusan dilakukan secara individual di tempat-tempat yang dianggap keramat atau suci, seperti mata air atau sumber air alami (umbul). Daerah-daerah di Jawa Tengah yang kaya akan sumber mata air seperti Magelang, Purworejo, Klaten, dan Boyolali menjadi lokasi utama pelaksanaan tradisi ini.
Di masa kini, Padusan telah berkembang menjadi kegiatan komunal yang dilakukan bersama-sama di kolam renang atau pemandian umum. Meskipun bentuknya berubah, esensi Padusan tetap sama: membersihkan diri lahir dan batin sebagai persiapan menyambut bulan suci Ramadan.
Ritual ini mengandung filosofi mendalam tentang pentingnya kesucian jiwa dan raga dalam menjalankan ibadah puasa. Air, sebagai sumber kehidupan dan pembersih, menjadi simbol penyucian diri dari segala dosa dan kesalahan masa lalu.
3. Dugderan, Festival Budaya Khas Semarang
Dugderan adalah tradisi khas masyarakat Semarang yang namanya berasal dari bunyi "dug" (bedug) dan "der" (meriam). Tradisi ini mulai diperkenalkan pada masa pemerintahan Bupati RMTA Purbaningrat pada tahun 1881, sebagai cara untuk mengumumkan dimulainya bulan Ramadan kepada masyarakat.
Festival ini biasanya diselenggarakan seminggu sebelum Ramadan di sekitar Masjid Agung Semarang. Acara dimulai dengan prosesi Warak Ngendog, sebuah karnaval yang menampilkan replika hewan mitologis yang merupakan simbol akulturasi budaya Jawa, Arab, dan Tionghoa.
Dugderan tidak hanya menjadi pengumuman dimulainya puasa, tetapi juga berkembang menjadi festival budaya dan kuliner yang meriah. Pasar malam Dugderan menawarkan berbagai makanan khas Semarang seperti wingko babat, bandeng presto, dan beragam jajanan tradisional lainnya.
Makna simbolis Dugderan terletak pada penyatuan berbagai unsur budaya dan terciptanya harmoni sosial. Bunyi bedug dan meriam melambangkan pengumuman resmi, sementara Warak Ngendog menjadi simbol kerukunan antaretnis yang ada di Semarang.
Advertisement
4. Dandangan, Tradisi Pesisir Utara
Dandangan adalah tradisi yang berkembang di pesisir utara Jawa, khususnya di Kudus dan sekitarnya. Nama ini berasal dari bunyi bedug "dang-dang-dang" yang diperdengarkan dari Menara Kudus untuk mengumumkan dimulainya bulan Ramadan.
Tradisi ini konon sudah ada sejak 450 tahun lalu, dimulai oleh Sunan Kudus (Ja'far Shodiq). Setiap menjelang Ramadan, beliau akan mengumumkan masuknya bulan puasa dari Menara Kudus dengan diiringi tabuhan bedug, yang kemudian menjadi cikal bakal tradisi Dandangan.
Seperti Dugderan di Semarang, Dandangan juga berkembang menjadi festival rakyat yang meriah. Selama beberapa hari menjelang Ramadan, area sekitar Menara Kudus dipenuhi pedagang yang menjajakan berbagai makanan, pakaian, dan pernak-pernik untuk keperluan puasa.
Festival ini memiliki makna ganda: sebagai pengumuman dimulainya Ramadan dan sebagai ajang silaturahmi masyarakat. Dandangan juga menjadi simbol bagaimana Islam disebarkan dengan cara yang damai dan menyatu dengan budaya lokal.
5. Tradisi Makan Telur Mimi, Tradisi Unik dari Kendal
Salah satu tradisi unik dalam menyambut bulan puasa di Jawa Tengah adalah makan telur Mimi di Kendal. Tradisi ini berkembang di kawasan pesisir Kaliwungu, di mana masyarakat berbondong-bondong mencari dan mengolah telur ikan Mimi (belangkas) menjelang Ramadan.
Tradisi ini memiliki keunikan tersendiri karena telur Mimi hanya bisa didapatkan pada waktu-waktu tertentu, khususnya menjelang Ramadan. Para nelayan percaya bahwa mereka hanya akan menemukan telur Mimi saat mendekati bulan puasa, menjadikan tradisi ini semakin istimewa.
Telur Mimi biasanya diolah menjadi bothok, yaitu campuran telur dengan parutan kelapa yang dibungkus daun pisang dan dikukus. Makanan ini dijual di sekitar Masjid Besar Kaliwungu dan menjadi hidangan khas yang ditunggu-tunggu menjelang Ramadan.
Meskipun tampak sederhana, tradisi ini mengandung makna mendalam tentang keberkahan dan rezeki yang datang pada waktu yang tepat. Ini juga menjadi pengingat bahwa setiap musim membawa berkahnya sendiri.
Tradisi menyambut bulan puasa di Jawa Tengah merupakan warisan budaya yang tak ternilai. Setiap tradisi tidak hanya menjadi ritual tahunan, tetapi juga mengandung nilai-nilai luhur yang relevan hingga saat ini. Dari Nyadran hingga tradisi makan telur Mimi, semuanya mencerminkan bagaimana leluhur kita dengan bijak memadukan nilai-nilai Islam dengan kearifan lokal.
Mari terus melestarikan tradisi-tradisi ini sebagai bagian dari identitas budaya kita, sambil tetap menjaga esensi spiritual dalam menyambut bulan suci Ramadan.
Advertisement