6 Tradisi Lebaran di Jawa Tengah yang Unik dan Penuh Makna, Bikin Ketupat Isi sampai Mengarak Sapi

Simak tradisi lebaran di Jawa Tengah yang kaya akan nilai budaya dan filosofi! Dari Sesaji Rewanda di Semarang hingga Lomban di Jepara, kenali ragam tradisi unik perayaan Idul Fitri di Tanah Jawa.

oleh Mabruri Pudyas Salim diperbarui 24 Jan 2025, 14:20 WIB
Diterbitkan 24 Jan 2025, 14:20 WIB
Kupat lepet adalah makanan khas Banyumas dan Jawa secara umum penuh falsafah di hari lebaran Idul Fitri. (Liputan6.com/Tagana Banyumas/Muhamad Ridlo)
Kupat lepet adalah makanan khas Banyumas dan Jawa secara umum penuh falsafah di hari lebaran Idul Fitri. (Liputan6.com/Tagana Banyumas/Muhamad Ridlo)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Lebaran di Jawa Tengah tidak hanya sekadar momentum berkumpul dan bermaaf-maafan. Di berbagai daerah, masyarakat memiliki tradisi unik yang telah diwariskan secara turun-temurun untuk memeriahkan hari raya Idul Fitri.

Tradisi lebaran di Jawa Tengah ini mencerminkan kearifan lokal yang menyatu dengan nilai-nilai Islam. Setiap daerah memiliki keunikannya tersendiri, mulai dari ritual syukuran hingga perayaan yang melibatkan seluruh masyarakat.

Berikut lima tradisi lebaran di Jawa Tengah yang masih terjaga hingga kini, sebagaimana telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Jumat (25/1/2025).

Sesaji Rewanda di Semarang

Semarang memiliki beragam tradisi lebaran yang unik, salah satunya adalah Sesaji Rewanda yang digelar di Kelurahan Kandri, Gunungpati. Tradisi ini menjadi bukti harmonisnya akulturasi antara budaya Jawa, nilai-nilai Islam, dan kearifan lokal dalam menjaga keseimbangan alam.

Ritual Sesaji Rewanda berawal dari kisah perjalanan Sunan Kalijaga yang singgah di Goa Kreo. Konon, saat mencari kayu jati untuk pembangunan Masjid Demak, beliau mendapat bantuan dari kawanan monyet penghuni goa tersebut. Sebagai bentuk terima kasih, Sunan Kalijaga berpesan agar masyarakat setempat selalu menjaga hubungan baik dengan para monyet.

Setiap tanggal 1 Syawal, masyarakat Kandri menyelenggarakan arak-arakan empat gunungan sejauh 800 meter menuju Goa Kreo. Prosesi diawali dengan barisan empat orang berkostum monyet yang melambangkan pemimpin kawanan monyet di masa Sunan Kalijaga. Mereka diikuti pembawa replika batang kayu jati bersejarah, rombongan pembawa gunungan, dan para penari.

Gunungan yang dibawa memiliki isi berbeda-beda, termasuk nasi golong yang dikhususkan untuk monyet penghuni Goa Kreo. Setibanya di pelataran goa, pengunjung disuguhi pertunjukan tari gambyong, semarangan, dan tari wanara yang menggambarkan kehidupan monyet. Setelah doa bersama, gunungan dibagikan kepada pengunjung, kecuali gunungan buah yang memang diperuntukkan bagi kawanan monyet.

Ritual ini sarat makna sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan sekaligus wujud komitmen masyarakat dalam menjaga keseimbangan alam. Kini, Sesaji Rewanda tidak hanya menjadi tradisi budaya, tetapi juga berkembang sebagai atraksi wisata unggulan yang menunjukkan keunikan tradisi lebaran di Jawa Tengah, khususnya Kota Semarang.

Syawalan di Kalicari Semarang

Ide THR untuk anak
Pemberian THR menjadi momentum yang sangat ditunggu-tunggu ketika Lebaran. (pexels.com/@karolina-grabowska)... Selengkapnya

Tradisi lebaran di Jawa Tengah memiliki banyak variasi yang mencerminkan kearifan lokal masing-masing daerah. Di kawasan Kalicari, Pedurungan, Semarang, masyarakat memiliki tradisi syawalan unik yang telah berlangsung lebih dari dua dekade.

Seusai salat Subuh di hari pertama Syawal, warga Kalicari berbondong-bondong berkumpul untuk bersilaturahmi. Momen bermaaf-maafan ini menjadi istimewa karena setiap rumah menyiapkan uang untuk dibagikan kepada anak-anak yang berkunjung. Pemberian uang ini merupakan bentuk apresiasi bagi anak-anak yang telah menunaikan ibadah puasa selama Ramadhan.

Keunikan lain dari syawalan di Kalicari adalah tradisi berbagi makanan antar warga. Tidak ada aturan baku mengenai jenis hidangan yang harus dibawa. Setiap keluarga bebas membawa makanan sesuai kemampuan, mulai dari nasi gudangan, sate, hingga aneka kue lebaran. Keberagaman hidangan ini justru menciptakan suasana kebersamaan yang lebih hangat.

Tradisi ini menjadi bukti bagaimana masyarakat Kalicari memaknai lebaran tidak hanya sebagai momen bermaaf-maafan, tetapi juga kesempatan untuk mempererat tali silaturahmi dan berbagi kebahagiaan. Keberlangsungan tradisi selama lebih dari 20 tahun menunjukkan kuatnya komitmen warga dalam melestarikan nilai-nilai kebersamaan di tengah arus modernisasi.

Kupat Jembut di Kampung Jaten Cilik

Tradisi Berjualan Ketupat Siap Saji Jelang Lebaran
Pedagang menyiapkan ketupat matang di pinggir jalan kawasan Rawamangun, Jakarta, Senin (19/7/2021). Jelang Hari Raya Idul Adha, pedagang ketupat matang atau siap saji musiman mulai ramai menjajakan makanan khas Lebaran tersebut di pinggir jalan kawasan Rawamangun. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)... Selengkapnya

Tradisi membuat kupat jembut di Kampung Jaten Cilik, Tlogomulyo, Pedurungan, Semarang muncul dari sejarah yang menyentuh. Berawal saat warga kembali ke kampung halaman setelah mengungsi akibat Perang Dunia II sekitar tahun 1950-an, mereka menciptakan tradisi ini sebagai ungkapan syukur di tengah keterbatasan.

Kupat jembut sendiri merupakan ketupat istimewa dengan isian yang unik. Berbeda dengan ketupat biasa, kupat jembut diisi dengan tauge dan sambal kelapa yang memberikan cita rasa khas. Yang lebih menarik, di sela-sela janur ketupat disisipkan uang yang menjadi kejutan bagi anak-anak yang mendapatkannya.

Proses pembuatan kupat jembut melibatkan seluruh warga kampung. Mereka bergotong royong menyiapkan bahan-bahan, mulai dari beras, janur untuk pembungkus, hingga bumbu-bumbu untuk sambal kelapa. Setiap keluarga memberikan sumbangan sesuai kemampuan, baik berupa bahan makanan maupun uang yang akan disisipkan.

Keunikan kupat jembut tidak hanya terletak pada isinya, tetapi juga pada cara pembagiannya. Anak-anak berkumpul menanti dibagikannya kupat jembut dengan penuh antusias. Mereka akan berebut ketupat, berharap mendapatkan yang berisi uang. Momen ini menjadi salah satu yang paling dinanti dalam perayaan lebaran.

Tradisi ini menunjukkan bagaimana masyarakat Kampung Jaten Cilik mengubah kenangan masa sulit menjadi momen kebahagiaan bersama. Meskipun telah berlangsung lebih dari 70 tahun, semangat berbagi dan kebersamaan dalam tradisi kupat jembut tetap terjaga, menjadi warisan berharga yang menandai perayaan lebaran di kawasan ini.

Lomban di Jepara

Tradisi Melarung Kepala Kerbau
Tradisi lomban atau larung kepala kerbau di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, pada tahun ini kembali digelar, Senin (9/5/2022). (Liputan6.com/ Ist)... Selengkapnya

Masyarakat pesisir Jepara dan Karimunjawa memiliki tradisi unik dalam merayakan lebaran yang disebut Lomban. Diselenggarakan seminggu setelah Idul Fitri, tradisi ini memadukan unsur syukuran dengan kearifan lokal masyarakat pesisir.

Lomban berasal dari kata 'lelumban' yang berarti bermain air. Para nelayan menghias perahu mereka dengan warna-warni cerah, menciptakan pemandangan meriah di lautan. Setiap perahu dihiasi dengan bendera, kain, dan ornamen tradisional yang melambangkan keragaman budaya pesisir Jawa.

Puncak perayaan ditandai dengan lomba perahu hias menuju tengah laut. Para peserta membawa makanan khas lebaran untuk dinikmati bersama di atas perahu. Hidangan yang dibawa biasanya berupa ketupat, opor ayam, dan aneka kue tradisional. Suasana semakin meriah dengan pesta kembang api yang menerangi langit malam.

Bagi masyarakat nelayan Jepara, Lomban bukan sekadar perayaan. Tradisi ini menjadi wujud syukur atas berkah laut yang telah menghidupi mereka. Sekaligus menjadi doa bersama agar diberi keselamatan dan rezeki melimpah saat melaut.

Kini, tradisi Lomban telah berkembang menjadi festival budaya yang menarik wisatawan. Namun, nilai-nilai kearifan lokal tetap terjaga, menunjukkan bagaimana masyarakat pesisir Jepara mampu mempertahankan identitas budaya mereka di tengah perkembangan zaman.

Kupatan di Rembang

ilustrasi ketupat lebaran/pexels
ilustrasi ketupat lebaran/pexels... Selengkapnya

Kupatan atau Syawalan di Rembang menjadi perayaan lebaran yang dinanti masyarakat, berlangsung di hari ketujuh bulan Syawal. Pusat perayaan berada di kompleks Taman Rekreasi Pantai Kartini (Dampo Awang Beach), menghadirkan ratusan pedagang dari berbagai kota seperti Lamongan, Jombang, Kudus, dan Blora.

Tradisi ini mirip dengan Dandangan di Kudus, di mana pedagang menawarkan beragam produk mulai dari bunga hias, gerabah, mainan, hingga kuliner. Para pedagang memilih lokasi strategis di sepanjang pantai, menciptakan suasana meriah layaknya pasar rakyat. Acara semakin semarak dengan pertunjukan musik yang menghibur pengunjung.

Pembukaan Kupatan ditandai dengan ritual bancaan satu gunungan ketupat yang dipimpin Bupati Rembang. Ritual ini melambangkan rasa syukur dan berbagi berkah kepada masyarakat. Bagi warga Rembang, ketupat memiliki makna filosofis 'ngaku lepat' atau mengaku salah, menjadi simbol permohonan maaf di akhir perayaan lebaran.

Di rumah-rumah warga, Kupatan dirayakan dengan membuat ketupat beserta lauk pauknya. Tradisi saling berkirim ketupat menjadi bagian penting dalam perayaan ini, terutama dari yang muda kepada yang lebih tua. Kebiasaan ini memperkuat tali silaturahmi antar warga.

Selain nilai budaya dan religius, Kupatan di Rembang juga memiliki dampak ekonomi yang signifikan. Event ini menjadi destinasi wisata yang menarik pengunjung dari berbagai daerah, membuka peluang ekonomi bagi pedagang lokal dan sekitarnya. Keberlangsungan tradisi ini menunjukkan harmonisnya nilai-nilai budaya, agama, dan ekonomi dalam kehidupan masyarakat Rembang.

Bakdan Sapi di Boyolali

PMK
Suasana Pasar Pon, salah satu pasar sapi di Blora sebelum wabah PMK kembali melanda. (Liputan6.com/ Ahmad Adirin)... Selengkapnya

Di lereng Gunung Merapi, tepatnya di Desa Sruni, Kecamatan Musuk, Boyolali, terdapat tradisi unik bernama Bakdan Sapi yang digelar setiap hari kedelapan bulan Syawal. Tradisi ini memadukan perayaan lebaran ketupat dengan ritual syukur para peternak sapi perah yang menjadi mayoritas profesi warga setempat.

Perayaan diawali dengan kenduri kupatan di pagi hari, di mana seluruh warga berkumpul di jalanan desa. Setelah itu, para petani menghias sapi mereka dengan wewangian dan mengkalungkan ketupat di leher hewan tersebut. Sekitar 300 hingga 400 ekor sapi berpartisipasi dalam tradisi yang telah berlangsung turun-temurun ini.

Puncak acara adalah kirab keliling kampung yang dimulai dengan arak-arakan gunungan sayur. Di belakangnya, Seni Tari Topeng Ireng memeriahkan suasana, diikuti siswa-siswi pembawa ketupat dan para pemuda Dukuh Mlambong. Para peternak kemudian mengarak sapi-sapi mereka untuk "bertemu" dengan sapi lainnya dari seluruh penjuru desa.

Bagi masyarakat Desa Sruni yang 98 persen berprofesi sebagai petani sapi perah dan seluruhnya beragama Islam, Bakdan Sapi bukan sekadar tradisi. Mereka meyakini ritual ini membawa berkah, mulai dari kesehatan ternak hingga kemudahan dalam pengembangbiakan sapi. Seperti diungkapkan Suyanto, salah satu peserta: "Kalau orang Jawa dipercaya membawa berkah, sapi cepat bunting, cepat beranak, sehat semua."

Lebih dari sekadar ritual, Bakdan Sapi menjadi wadah pemersatu warga sekaligus wujud syukur atas rezeki yang diperoleh dari beternak sapi. Tradisi ini menunjukkan bagaimana masyarakat Boyolali mengemas nilai-nilai Islam, kearifan lokal, dan mata pencaharian mereka dalam satu perayaan yang unik dan bermakna.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya