Liputan6.com, Jakarta Tradisi ketupat lebaran telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Idul Fitri di Indonesia. Di setiap daerah, tradisi ini memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri yang mencerminkan kearifan lokal masyarakatnya. Meski bentuk perayaannya berbeda-beda, esensi dari tradisi ketupat lebaran tetap sama yaitu sebagai momentum untuk mempererat tali silaturahmi dan ungkapan rasa syukur.
Advertisement
Baca Juga
Advertisement
Sejarah ketupat sebagai hidangan khas lebaran di Indonesia dapat ditelusuri sejak masa penyebaran Islam di tanah Jawa. Sunan Kalijaga adalah tokoh yang memperkenalkan filosofi ketupat sebagai simbol perayaan Idul Fitri pada masa Kerajaan Demak. Dalam bahasa Jawa, "kupat" merupakan akronim dari "ngaku lepat" yang berarti mengakui kesalahan, dan "laku papat" yang bermakna empat tindakan yaitu lebaran, luberan, leburan, dan laburan.
Mari kita telusuri beragam tradisi ketupat lebaran yang berkembang di tiga daerah berbeda, yang masing-masing memiliki keunikan dan makna filosofisnya tersendiri, sebagaimana telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Rabu (22/1/2025).
Tradisi Kupatan Durenan Trenggalek
Tradisi kupatan di Desa Durenan, Trenggalek memiliki sejarah panjang yang telah berlangsung sejak tahun 1800-an. Digagas oleh KH Imam Mahyin dari Pondok Pesantren Babul Ulum, tradisi ini bermula dari kebiasaan beliau yang menjalankan puasa sunnah Syawal saat diminta mendampingi Adipati Trenggalek melakukan open house selama enam hari.
Makna kupatan di Durenan tidak hanya sebatas perayaan, tetapi juga memiliki nilai spiritual yang kuat karena terkait dengan amalan puasa sunnah Syawal. Berdasarkan hadist yang diriwayatkan Imam Muslim, puasa Syawal memiliki keutamaan pahala yang berlipat, di mana puasa Ramadhan dikalikan 10 menjadi 10 bulan, ditambah puasa 6 hari di bulan Syawal yang berlipat menjadi 2 bulan, sehingga total pahalanya setara dengan puasa setahun penuh.
Kegiatan dalam tradisi kupatan Durenan berpusat pada open house yang dilakukan warga, khususnya keluarga besar Pesantren Babul Ulum. Setiap rumah menyiapkan ketupat dalam jumlah besar untuk dihidangkan kepada para tamu yang berkunjung. Bahkan disebutkan bahwa berapapun jumlah ketupat yang dibuat selalu habis selama dibuat dengan keikhlasan.
Tujuan utama tradisi ini adalah mempererat tali silaturahmi antar warga. Menariknya, masyarakat Durenan menjadikan hari kupatan sebagai momentum utama untuk bersilaturahmi, berbeda dengan daerah lain yang umumnya bersilaturahmi saat Idul Fitri. Bahkan disebutkan bahwa masyarakat umum di sana tidak ada yang berani berkunjung sebelum hari kupatan.
Secara filosofis, tradisi kupatan Durenan mengajarkan pentingnya menggabungkan ritual ibadah dengan nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Hal ini tercermin dari paduan antara amalan puasa Syawal dengan kegiatan open house yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat.
Tradisi kupatan Durenan dilaksanakan pada H+8 Idul Fitri atau tanggal 8 Syawal. Pemilihan waktu ini berkaitan erat dengan selesainya rangkaian puasa Syawal yang dilakukan selama 6 hari setelah Idul Fitri.
Advertisement
Tradisi Lebaran Topat Lombok
Tradisi lebaran ketupat di Lombok atau yang dikenal dengan "Lebaran Topat" memiliki sejarah panjang yang terkait erat dengan penyebaran Islam di pulau tersebut. Tradisi ini telah berlangsung secara turun-temurun selama ratusan tahun dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Sasak.
Asal usul Lebaran Topat di Lombok berkaitan dengan pengaruh kepercayaan Waktu Telu, sebuah varian kepercayaan Islam yang pernah berkembang di Lombok. Bagi penganut Waktu Telu di masa lalu, lebaran ketupat diawali dengan ritual khusus bernama sholat qulhu sataq, yaitu shalat dengan membaca surat Al-Ikhlas sebanyak 200 kali.
Rangkaian kegiatan dalam tradisi ini dimulai dengan ziarah ke makam para wali dan ulama, khususnya di Makam Bintaro dan Makam Loang Baloq. Dilanjutkan dengan ritual berseraup (membasuh wajah dengan air makam), ngurisan (mencukur rambut bayi), dan puncaknya adalah tradisi Perang Topat di Pura Lingsar. Rangkaian ditutup dengan wisata pantai bersama keluarga.
Tujuan utama tradisi ini adalah memperkuat harmoni sosial dan nilai-nilai spiritual dalam masyarakat. Perang Topat di Pura Lingsar, misalnya, menjadi simbol kerukunan antara umat Islam dan Hindu yang telah terjalin sejak masa lampau. Tradisi ini juga bertujuan membersihkan diri dari sifat dengki dan iri hati.
Ketupat dalam tradisi Lombok memiliki makna filosofis yang dalam. Bentuk ketupat yang segi empat melambangkan empat unsur kehidupan: air, tanah, api, dan angin. Anyaman daun kelapa yang rumit melambangkan kompleksitas kehidupan bermasyarakat yang harus diikat dengan tali silaturahmi yang kuat.
Lebaran Topat di Lombok dilaksanakan pada hari keenam setelah Idul Fitri. Pelaksanaan tradisi ini diikuti oleh sekitar 90% masyarakat Lombok, menjadikannya salah satu warisan budaya yang paling dinanti setiap tahunnya.
Tradisi Ketupat Lebaran Jaton Gorontalo
Tradisi ketupat lebaran di Gorontalo memiliki sejarah unik karena dibawa oleh masyarakat transmigran Jawa-Tondano (Jaton) pada tahun 1909. Meskipun bukan merupakan tradisi asli Gorontalo, perayaan ini telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat setempat dan memberikan warna tersendiri dalam keberagaman budaya di daerah tersebut.
Tradisi ini berakar dari kebiasaan masyarakat Jaton yang merupakan transmigran dari Minahasa, Sulawesi Utara. Mereka membawa dan melestarikan tradisi ini sebagai bagian dari identitas budaya mereka, yang kemudian diterima dan diadopsi oleh masyarakat Gorontalo secara luas.
Rangkaian kegiatan dimulai dengan menjalankan puasa sunnah Syawal selama enam hari setelah Idul Fitri. Pada hari ketujuh, masyarakat berkumpul di masjid untuk berdoa bersama dan menyantap hidangan yang telah disiapkan. Keunikan utama tradisi ini adalah kebiasaan warga Jaton yang menyediakan makanan gratis bagi siapapun yang melintas di sepanjang jalan Yosonegoro.
Tujuan utama tradisi ini adalah mempererat tali silaturahmi tanpa memandang latar belakang. Hal ini tercermin dari keterbukaan masyarakat Jaton yang menerima siapa saja untuk bertamu dan menikmati hidangan, meski tidak saling mengenal. Perayaan juga dimeriahkan dengan berbagai hiburan rakyat seperti lomba pacuan kuda dan karapan sapi.
Secara filosofis, tradisi ini mengajarkan nilai-nilai kebersamaan, kedermawanan, dan pentingnya berbagi dengan sesama. Konsep menyediakan makanan gratis bagi siapapun yang lewat mencerminkan sikap inklusif dan semangat gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia.
Perayaan ketupat lebaran ala Jaton dilaksanakan pada hari ketujuh setelah Idul Fitri. Tradisi yang dipusatkan di "kampung jawa" Desa Yosonegoro ini telah berkembang dan diadopsi oleh masyarakat Gorontalo secara luas, menjadikannya bagian dari kekayaan budaya daerah tersebut.
Advertisement