Liputan6.com, Cilacap - Ghibah diartikulasikan sebagai aktivitas membicarakan kejelekan atau keburukan orang lain, sementara orang yang dibicarakan tidak berada di tempat pembicaraan.
Baca Juga
Advertisement
Perbuatan ghibah sangat dilarang agama dan haram hukumnya. Bahkan pelaku ghibah diandaikan sebagai orang yang tega dan suka memakan daging saudaranya yang telah mati. Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (QS Al Hujurat: 12)
Selain ayat di atas, banyak hadis Nabi SAW yang melarang perbuatan ghibah. Meskipun ghibah haram, akan tetapi dalam situasi-situasi tertentu ternyata ghibah diperbolehkan.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Boleh Ghibah Jika
Mengutip NU Online, Imam An-Nawawi dalam kitab Al Adzkar, menyebutkan enam kondisi di mana seorang Muslim boleh melakukan ghibah.
Artinya, “Ketahuilah, ghibah–sekalipun diharamkan–dibolehkan dalam beberapa kondisi tertentu untuk suatu kemaslahatan. Hal yang membolehkan ghibah adalah sebuah tujuan yang dibenarkan menurut syar’i di mana tujuan tidak tercapai tanpa ghibah tersebut. Hal itu adalah satu dari enam sebab,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 292).
Lebih lanjut, Imam An-Nawawi menjelaskan enam situasi itu secara terperinci sebagai berikut:
1. Dalam sidang perkara di muka hakim.
Seseorang, korban atau saksi, boleh menceritakan penganiaya yang memperlakukannya secara zalim. atau keburukan yang dilakukan oleh pelaku kepadanya.
2. Dalam hal melaporkan pelanggaran hukum kepada aparat kepolisian atau otoritas terkait dengan niat mengubah kemungkaran tersebut.
3. Dalam meminta fatwa kepada seorang mufti.
Seseorang boleh menceritakan masalahnya untuk memberikan gambaran yang jelas bagi ulama yang mengeluarkan fatwa. Tetapi kalau penyebutan nama secara personal tidak dibutuhkan, lebih baik tidak mengambil jalan ghibah.
4. Dalam mengingatkan publik agar terhindar dari kejahatan pihak baik personal maupun institusi.
Hal ini dilakukan antara lain oleh para ahli hadis terhadap perawi-perawi bermasalah atau misalnya dalam konteks kekinian adalah travel umrah bermasalah.
Advertisement
Kepentingan Umum, Hukum dan Maslahat
5. Dalam kondisi di mana pihak-pihak tertentu melakukan kejahatan terang-terangan
Kejahatan terang-terangan yakni seperti meminum khamar, mengambil harta secara zalim, menarik upeti, mengambil kebijakan-kebijakan batil.
Dalam kondisi ini, kita boleh mengghibahkan pihak tersebut sesuai dengan kejahatan yang diperlihatkannya. Tetapi kita haram menyebutkan aib lain pihak tersebut yang tidak dilakukan secara terang-terangan.
6. Menandai seseorang dengan kekurangan fisik atau gelar-gelar buruknya
Misalnya ada orang bernama Abdullah dan kebetulan nama tersebut tidak hanya dimiliki satu orang. Atas dasar tersebut, kita boleh menyebutnya tanpa maksud merendahkan, “Abdullah yang buta, Abdullah yang tuli, Abdullah yang bisu, dan lain sebagainya.”
Sebaiknya sebutan itu didahului kata “maaf” untuk menghilangkan kesan merendahkan.
Meskipun demikian, Imam Nawawi menyarankan kita untuk menggunakan identifikasi lain bagi seseorang di luar identifikasi fisik. Enam kondisi ini bukan mengada-ada.
Singkatnya, ghibah dibolehkan untuk kepentingan umum, kepentingan hukum, atau maslahat yang dibenarkan oleh syara’.
Penulis: Khazim Mahrur