Sombong Sekali Tak Percaya Kitab Tafsir, Ini Syarat Berat Mufassir: Harus Hafal Al-Qur'an dan Kuasai 12 Disiplin Ilmu

Seorang pria di Lombok Tengah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembakaran kitab tafsir Al-Qur'an. Dua kitab tersebut yakni, tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Risalah Qusyairiyah

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Sep 2022, 10:30 WIB
Diterbitkan 15 Sep 2022, 10:30 WIB
Ilustrasi – Al Quran terjemahan. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Ilustrasi – Al Quran terjemahan. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Jakarta Seorang pria di Lombok Tengah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembakaran kitab tafsir Al-Qur'an. Dua kitab tersebut yakni, tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Risalah Qusyairiyah.

Pengakuan tersangka, dia tak mempercayai kitab tafsir dan mengajurkan agar umat Islam kembali ke Al-Qur'an. Masih belum jelas maksud yang dikemukakan oleh si tersangka.

Bisa jadi, dia lebih memilih belajar Al-Qur'an melalui terjemahannya. Jika ini yang terjadi, maka boleh disebut si tersangka berlaku sombong dan karena dangkalnya ilmu pengetahuannya.

Dua kitab tafsir ini memang banyak beredar di Indonesia dan legal. Salah satunya, Kitab Tafsir Ibnu Katsir bahkan kerap menjadi acuan untuk kitab tafsir Al-Qur'an lainnya.

Nah, kembali ke pelaku, bisa jadi, dia hendak meniru mengartikan Al-Qur'an meski tak menguasai metodologi dan keilmuan yang memadai. Tak dipungkiri, memang ada kelompok Islam yang hendak mempelajari Al-Qur'an hanya dari terjemahannya saja.

Kelompok ini tak mau tahu bahwa asa sederet syarat berat yang harus dipenuhi untuk menafsirkan ayat demi ayat Al-Qur'an. Salah satu yang paling dasar adalah hafal Al-Qur'an. Lantas, siapa siapa yang berhak menafsirkan Al-Qur’an, bolehkan dilakukan oleh individu?

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

Syarat Mufassir: Hafal Al-Qur'an, Kuasai Hadis, Ahli Bahasa, Dll

Ilustrasi Al-qur'an
Ilustrasi Al-qur'an (sumber: Pixabay)

Mengutip NU Online, Ikatan Keluarga Besar Tafsir Hadis Indonesia, gabungan antara Ikatan Serjana Qur’an Hadis ISQH dan Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir Hadis Indonesia FKMTHI dalam rapat akbar sidang keagamaan di pesantren Raudatul Mardiyyah Demangan Kudus 16-17 November 2016 menghasilkan keputusan tentang syarat-syarat menafsirkan Al-Qur’an sebagai berikut:

a. Menafsirkan Al-Qur’an boleh dilakukan secara individu dengan syarat; beragama Islam, hafal Al-Qur’an, ahli hadis, ahli bahasa (balaghah), ahli sejarah serta keilmuan pendukung lainnya.

b. Menafsirkan Al-Qur’an boleh dilakukan secara berkelompok (berdasarkan ijma’) seperti lembaga fatwa atau organisasi keagamaan dengan cara mendatangkan para pakar (ahli), seperti ahli Al-Qur’an, ahli hadis, ahli bahasa (balaghah), ahli sejarah serta keilmuan pendukung lainnya.

Hasil sidang akbar ini juga berisi imbauan kepada seluruh umat Islam Indonesia sebagai berikut:

1. Tidak boleh menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan hawa nafsu.

2. Sebaiknya umat Islam menyerahkan urusan agama kepada ahli agama.

3. Mendukung sepenuhnya sikap atau fatwa keagamaan dari lembaga fatwa yang diakui negara.

4. Menafsirkan Al-Qur’an hanya boleh dilakukan jika memenuhi kriteria pada poin A dan B di atas.

5. Umat Islam senantiasa menjaga ukhuwwah Islamiyyah (persaudaraan seagama) dan ukhuwah wathaniyyah (persaudaraan sebangsa) dengan cara menjaga sikap, menjunjung tinggi nilai-nilai agama, dan Pancasila dalam kebhinekaan demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Menurut Ketua Umum ISQH Ikatan sarjana Quran Hadis Indonesia, Fuazan Amin, keputusan di atas merupakan jawaban terhadap kegaduhan yang selama ini terjadi di masyarakat terkait tafsir Al-Qur’an, sekaligus pembelajaran bagi umat Islam agar menghindari isu, atau penjelasan yang tidak jelas sumbernya apalagi menyangkut Al-Qur’an.

12 Disiplin Ilmu yang Harus Dikuasai Penafsir Al-Qur'an

Ilustrasi Al-Quran
Ilustrasi Al-Quran. (Foto oleh GR Stocks dari Pexels)

Mengutip muhammadiyah.or.id, dalam menghadapi tantangan zaman, pengkajian tafsir Al-Qur’an terus dilakukan untuk menemukan berbagai makna baru. Akan tetapi, penafsiran Al-Qur’an tidak bisa dilakukan sembarangan hanya dengan satu disiplin ilmu saja. Jika nekat melakukannya, justru akan melahirkan tafsir liberal yang keliru dan berbahaya bagi keimanan seorang muslim.

“Untuk menjadi mufasir minimal harus menguasai 12 ilmu. Tidak bisa seorang menjadi mufasir. Dia harus menguasai ilmu sabanun nuzul. Sebab kalau kita tidak tahu maka kita akan rancu, dan kacau dalam menentukan hukum,” jelas Sekretaris Majelis Tabligh PP Muhammadiyah Okrisal Eka Putra dalam Kajian Kamis Pagi Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, dikutip Rabu (14/9/2022).

Secara umum, ada 15 disiplin ilmu yang harus dipelajari untuk menafsirkan Al-Qur’an dari filologi, tata bahasa, morfologi, akar kata, susunan kata, hukum Islam dan lain-lain hingga sebab-sebab turunnya ayat (Asbabun Nuzul).

Sebagai contoh, Okrisal mengutip Surat Al-Baqarah ayat 221 tentang larangan pernikahan berbeda keyakinan. Para ahli tafsir dengan penguasaan minimal 12 ilmu tafsir menyimpulkan bahwa pernikahan beda keyakinan adalah haram.

Sementara itu, kurangnya ilmu tafsir justru membuat adanya sebagian cendekiawan yang justru menyimpulkan bolehnya menikah berbeda keyakinan karena mengaitkan dengan kondisi peperangan pada zaman tersebut.

Padahal, sesuai Asbabun Nuzul Al-Baqarah ayat 221 turun sebagai jawaban Allah atas permohonan sahabat bernama Ibnu Abi Murtsid Al-Ghanawi yang meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menikahi wanita musyrik yang cantik dan terpandang.

“Makanya untuk menjadi ahli tafsir, kita membutuhkan beberapa ilmu yang mendukung ilmu tersebut,” pesannya.

Tim Rembulan

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya