Liputan6.com, Banjarnegara - Seperti juga kelahiran dan kematian, pendulum nasib akan selalu menjadi rahasia dan tak bisa direkayasa. Begitulah yang dialami oleh Am, perempuan cantik setengah baya, di Banjarnegara, Jawa Tengah.
Semula, dia adalah sinden kondang pada masanya. Namun, perjalanan hidup menuntunnya ke hal tak terduga, ruang pemasungan.
Am dulunya dikenal sebagai sinden yang cukup punya nama. Dia terkenal dengan suaranya yang merdu dan khas. Kala itu, ia kerap mengisi pentas-pentas wayang dengan dalang-dalang kondang di Banjarnegara.
Advertisement
Namun, sang sinden lantas terbelit masalah pelik yang menyebabkan jiwanya terguncang, dan bahkan mengalami gangguan jiwa (ODGJ). Bertahun-tahun, Am dipasung oleh keluarganya, hingga akhirnya Bupati Banjarnegara, kala itu, menyelamatkannya dari pasungan.
Baca Juga
Sajuri, ayah Ny Am, menyambut dengan suka cita. Ia mengucapkan terima kasih kepada pihak Pemkab khususnya Dinas Sosial, Kecamatan, Polsek, Danramil Mandiraja, TKSK dan desa setempat.
Dia menyebut, memasung anaknya bukan karena tak mengasihinya, justru karena kasih sayangnya yang begitu besar, sembari menunggu bantuan dari pemerintah. Sebab, Am sering mengamuk dan dikhawatirkan hilang atau kabur dari rumahnya.
Am sendiri memiliki tiga orang anak yang kini sudah beranak dewasa. Ia diceraikan suaminya yang tak setuju istrinya menggeluti panggung hiburan.
Kisah pemasungan Am ini bukan skenario sinetron. Praktik pasung memang masih banyak ditemui di sekitar kita. Berbagai latar belakang menjadi alasan langgengnya pemasungan meski hal itu jelas-jelas sudah dilarang.
Islam sangat menentang praktik pemasungan ini. Larangan diskriminasi ini pun terdapat dalam Al-Qur'an.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Larangan Diskriminasi Penyandang Difabel dalam Al-Qur'an
Mengutip NU Online, pemasungan atau pembelengguan di ruang terbatas ini tidak terjadi pada orang dengan disabilitas mental saja. Bahkan masih bisa ditemui di sekitar kita, orang dengan disabilitas fisik dikungkung di rumah dan kurang mendapat respek dari keluarga.
Diskriminasi disabilitas fisik, juga dapat memicu keputusasaan yang depresif bagi penyandangnya. Pemasungan dan pembelengguan di ruang terbatas ini mencakup perawatan di panti sosial, rumah sakit jiwa, serta pusat rehabilitasi berbasis agama yang membatasi ruang ekspresi dan sosialisasi para penyandang disabilitas mental maupun fisik.
Sebenarnya, bagaimana sudut pandang hukum atau ajaran Islam atas pemasungan dan pembelengguan tersebut? Dalam Al-Qur’an, salah satu ayat yang menjadi ajakan pemenuhan hak sosial penyandang disabilitas tercantum dalam Surat An-Nur ayat 61:
لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا مِنْ بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ إِخْوَانِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخَوَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَعْمَامِكُمْ أَوْ بُيُوتِ عَمَّاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخْوَالِكُمْ أَوْ بُيُوتِ خَالَاتِكُمْ أَوْ مَا مَلَكْتُمْ مَفَاتِحَهُ أَوْ صَدِيقِكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا...
Artinya: “Tidak ada halangan bagi orang buta tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit; dan tidak (pula) bagi diri kamu makan di rumah kamu, atau di rumah bapak-bapak kamu, di rumah ibu-ibu kamu, di rumah saudara-saudara kamu yang laki-laki, di rumah saudara kamu yang perempuan, di rumah saudara bapak kamu yang laki-laki, di rumah saudara bapak kamu yang perempuan, di rumah saudara ibu kamu yang laki-laki, di rumah saudara ibu kamu yang perempuan, di rumah yang kamu miliki kuncinya atau kawan kamu; Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau berpisah-pisah...”.
Advertisement
Tafsir Larangan Diskriminasi dan Eksklusi Sosial
Imam ath-Thabari dalam kitab tafsirnya Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an yang dikenal dengan Tafsir ath-Thabari, menyebutkan bahwa asbabun nuzul ayat tersebut adalah dahulu orang-orang Anshor di Madinah sebelum hadirnya Nabi Muhammad, sering merasa risih dengan orang-orang buta dan lumpuh, yang hemat mereka tidak akan bisa ikut menikmati makanan sebagaimana mereka lakukan.
Mereka berpikir akan lebih baik untuk menyendirikan makanan orang-orang cacat itu dibanding makan bersama. Dari sikap diskriminatif inilah, Allah menurunkan Surat An-Nur ayat 61, menyatakan bahwa tidak ada masalah untuk orang-orang buta dan lainnya untuk makan bersama mereka (Imam at Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Quran [Beirut: Muassasah ar-Risalah], jilid 19, hal. 219 – keterangan serupa dapat ditemukan dalam tafsir-tafsir yang lebih belakangan, seperti kitab tafsir karya Imam al-Mawardi, al-Qurthubi atau Ibnu Katsir).
Ada juga pendapat ulama dengan sudut pandang objek bicara – yaitu orang sakit, lumpuh dan buta tersebut. Ayat di atas dinilai menegur para penyandang disabilitas agar berbesar hati dan tidak enggan makan bersama orang lain atau berkunjung ke rumah saudara kaum muslimin.
Keterangan tafsir Surat An-Nur ayat 61 di atas yang juga menyinggung tentang “rumah-rumah” keluarga dan orang-orang terdekat, menunjukkan bahwa menghapuskan stigma dan diskriminasi untuk penyandang disabilitas – apalagi diikuti pengasingan dan pemasungan – hendaknya dimulai dari keluarga, tetangga serta orang-orang terdekat.
Dengan demikian, dari sudut pandang ajaran Islam, pemasungan dan pembelengguan adalah bentuk diskriminasi dan pengasingan sosial yang tidak boleh dilakukan atas penyandang disabilitas. Memberikan respek dan kesamaan hak adalah hal yang mesti dipenuhi, baik untuk penyandang disabilitas mental maupun fisik. Wallahu a’lam. (Muhammad Iqbal Syauqi)
(Sumber: https://islam.nu.or.id/fiqih-difabel/larangan-memasung-dan-mengasingkan-penyandang-disabilitas-pdrgN-)
Tim Rembulan