Hukum Puasa Orang yang Berhalangan, Ketentuan dan Cara Menghitung Fidyah

Ada beberapa kalangan umat Islam yang tak mampu berpuasa karena sakit, usia, atau penyebab lainnya

oleh Liputan6.com diperbarui 27 Mar 2023, 20:30 WIB
Diterbitkan 27 Mar 2023, 20:30 WIB
Ilustrasi lansia dan panti jompo
Ilustrasi lansia dan panti jompo (Tri Yasni/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Umat Islam wajib berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan, terkecuali yang berhalangan atau uzur. Berhalangan misalnya wanita haid, nifas, menyusui, sakit atau kendala lainnya.

Mereka tak akan kehilangan berkah Ramadhan karena uzurnya itu. Islam juga telah mengatur mekanisme penggantinya.

Wanita haid atau nifas, misalnya, bisa mengganti utang puasa Ramadhan di bulan lainnya. Dalam Islam, penggantian puasa itu disebut dengan qadha.

Pun dengan orang yang berhalangan puasa karena problem kesehatan maupun faktor usia sehingga tidak mampu menjalankan ibadah puasa. Islam telah mengatur ketentuan penggantinya.

Jika masih kuat secara fisik akan diganti dengan qadha, namun jika lemah tubuhnya akan digantikan dengan fidyah. Fidyah adalah penggantian puasa bagi beberapa kategori orang yang termasuk di dalamnya. Seperti orang tua renta, orang sakit parah, wanita hamil dan lain sebagainya.

Berikut ini adalah orang yang berhak dan wajib mengganti puasa dengan fidyah, mengutip dari Kitab Al - Iqna' Fi Halli Alfadz Abi Syuja',Kitab Qut Al-Habib Al-Gharib, kitab Asna Al-Mathalib, dilansir laduni.id:

1. Orang Tua Renta

Fidyah adalah penggantian ibadah puasa bagi beberapa orang. Yang termasuk juga di dalamnya yaitu orangtua renta. Kakek atau nenek tua renta yang tidak sanggup lagi menjalankan puasa, tidak terkena tuntutan berpuasa.

Kewajibannya nanti digantikan dengan membayar fidyah sebesar satu mud makanan untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Batasan tidak mampu di sini adalah sekiranya dengan dipaksakan berpuasa menimbulkan kepayahan (masyaqqah) yang memperbolehkan tayamum.

Orang dalam jenis kategori ini juga tidak terkena tuntutan mengganti (qadha) puasa yang ditinggalkan (Syaikh Zakariyya Al-Anshari, kitab Asna Al-Mathalib, juz 1, hal. 428).

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

2. Orang yang Sakit Parah

Fidyah adalah penggantian puasa yang juga berlaku kepada orang yang sedang mengalami sakit parah. Orang sakit parah yang tidak ada harapan sembuh dan ia tidak sanggup berpuasa, tidak terkena tuntutan kewajiban puasa Ramadhan.

Sebagai gantinya, ia wajib membayar fidyah. Seperti orang tua renta, batasan tidak mampu berpuasa bagi orang sakit parah adalah sekiranya mengalami kepayahan apabila ia berpuasa, sesuai standar masyaqqah dalam bab tayamum.

Orang dalam kategori ini hanya wajib membayar fidyah, tidak ada kewajiban puasa, baik ada’ (dalam bulan Ramadhan) maupun qadha’ (di luar Ramadhan). Berbeda dengan orang sakit yang masih diharapkan sembuh, ia tidak terkena kewajiban fidyah.

Ia diperbolehkan tidak berpuasa apabila mengalami kepayahan dengan berpuasa, namun berkewajiban mengganti puasanya di kemudian hari (Syaikh Sulaiman Al-Bujairimi, Kitab Tuhfah Al-Habib, juz 2, hal. 397).

3. Wanita Hamil atau Menyusui

Fidyah adalah penggantian ibadah puasa yang juga berlaku pada wanita hamil serta menyusui. Ibu hamil dan wanita yang sedang menyusui diperbolehkan dalam Islam untuk meninggalkan puasa apabila ia mengalami kepayahan dengan berpuasa serta mengkhawatirkan keselamatan anak/janin yang dikandungnya.

Di kemudian hari, ia wajib mengganti puasa yang ditinggalkan, baik karena khawatir keselamatan dirinya atau anaknya. Mengenai kewajiban fidyah diperinci sebagai berikut: Jika ia khawatir keselamatan dirinya atau dirinya beserta anak atau janinya, maka tidak ada kewajiban fidyah. Jika hanya khawatir keselamatan anak atau janinnya, maka wajib membayar fidyah. (lihat Syaikh Ibnu Qasim Al-Ghuzzi, Fath Al-Qarib Hamisy Qut Al-Habib Al-Gharib, hal. 223).

4. Orang Mati dalam Fiqh Syafi’i

Orang mati dalam keadaan fiqih syafi’i atau orang mati yang meninggalkan utang puasa dibagi menjadi dua:

Pertama, orang yang tidak wajib difidyahi. Yaitu orang yang meninggalkan puasa karena uzur dan ia tidak memiliki kesempatan untuk mengqadha, semisal sakitnya berlanjut sampai mati. Tidak ada kewajiban apa pun bagi ahli waris perihal puasa yang ditinggalkan mayit, baik berupa fidyah atau puasa.

Kedua, orang yang wajib difidyahi. Yaitu orang yang meninggalkan puasa tanpa uzur atau karena uzur namun ia menemukan waktu yang memungkinkan untuk mengqadha puasa. Menurut qaul jadid (pendapat lama Imam Syafi’i), wajib bagi ahli waris atau wali mengeluarkan fidyah untuk mayit sebesar satu mud makanan pokok untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.

Biaya pembayaran fidyah diambilkan dari harta peninggalan mayit. Menurut pendapat ini, puasa tidak boleh dilakukan dalam rangka memenuhi tanggungan mayit. Sedangkan menurut qaul qadim (pendapat baru Imam Syafi’i), wali atau ahli waris boleh memilih di antara dua opsi, membayar fidyah atau berpuasa untuk mayit.

Qaul qadim dalam permasalahan ini lebih unggul daripada qaul jadid, bahkan lebih sering difatwakan ulama, sebab didukung oleh banyak ulama ahli tarjih. Ketentuan di atas berlaku apabila tirkah (harta peninggalan mayit) mencukupi untuk membayar fidyah puasa mayit, bila tirkah tidak memenuhi atau mayit tidak meninggalkan harta sama sekali, maka tidak ada kewajiban apa pun bagi wali atau ahli waris, baik berpuasa untuk mayit atau membayar fidyah, namun hukumnya sunah (Syaikh Nawawi Al-Bantani, Kitab Qut Al-Habib Al-Gharib, hal. 221-222).

5. Orang yang Mengakhirkan Qadha Ramadhan

Fidyah adalah penggantian ibadah puasa yang juga berlaku kepada orang yang mengakhirkan qadha Ramadhan.  Orang yang menunda-nunda qadha puasa Ramadhan padahal ia memungkinkan untuk segera mengqadha sampai datang Ramadhan berikutnya, maka ia berdosa dan wajib membayar fidyah satu mud makanan pokok untuk per hari puasa yang ditinggalkan. Fidyah ini diwajibkan sebagai ganjaran atas keterlambatan mengqadha puasa Ramadhan.

Berbeda dengan orang yang tidak memungkinkan mengqadha, semisal uzur sakit atau perjalanannya (safar) berlanjut hingga memasuki Ramadhan berikutnya, maka tidak ada kewajiban fidyah baginya, ia hanya diwajibkan mengqadha puasa.

Menurut pendapat Al-Ashah, fidyah kategori ini menjadi berlipat ganda dengan berlalunya putaran tahun. Semisal orang punya tanggungan qadha puasa sehari di tahun 2021, ia tidak kunjung mengqadha sampai masuk Ramadhan tahun 2023, maka dengan berlalunya dua tahun (dua kali putaran Ramadhan), kewajiban fidyah berlipat ganda menjadi dua mud ( 6 ons lebih 25 gram ). Maksudnya 1 Mud (ukuran seperempat dari yang kita keluarkan saat zakat fitrah) tersebut kalau di negara kita ya dengan menunaikan berupa beras.

Firman Allah SWT QS. Al-Baqarah 2:184

اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗ وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ (١٨٤)

184. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan [114], maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. [114] Maksudnya memberi makan lebih dari seorang miskin untuk satu hari. (QS. Al-Baqarah 2:184). 

Berapa Takaran 1 Mud?

Kemudian, terkait ukuran mud, satu mud merupakan satuan takaran. Satu mud menjadi ukuran minimal fidyah. Satu mud kira-kira setara dengan 3/4 liter atau 0,75 liter.

Mengutip laman NU, satu mud adalah takaran sebesar cakupan dua telapak tangan orang dewasa sebagaimana keterangan Syekh Wahbah Az-Zuhayli berikut ini:

والمد حفنة ملء اليدين المتوسطتين

Artinya, “Satu mud adalah cakupan penuh dua telapak tangan pada umumnya,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz II, halaman 910).

Mud adalah satuan takaran. Ia tidak mudah untuk dikonversi ke dalam satuan berat. Sebagian ulama menyetarakan takaran satu mud dengan timbangan seberat 0,6 Kg. Menurut ulama syafi’iyah, takaran satu mud (misalnya) beras memiliki ukuran yang setara dengan bobot 675 gram/6,75 ons beras.

Tim Rembulan

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya