Liputan6.com, Tibet - Mendaki ke puncak Gunung Everest adalah salah satu pencapaian terbesar di mata banyak pendaki gunung berpengalaman.
Sebagai gunung tertinggi di dunia, yang terletak di perbatasan Nepal dan Tibet, Everest menarik ratusan pendaki setiap tahun yang ingin mencapai puncaknya.
Baca Juga
Salah satunya adalah Akke Rahman, pria dari Kota Oldham di Inggris.
Advertisement
Rahman mencapai puncak Everest pada 13 Mei 2022. Ia memulai perjalanannya tahun lalu saat puasa Ramadhan. Itu merupakan misi yang berkesan meski sempat terjatuh ke jurang dan melewatkan perayaan Idul Fitri bersama keluarganya.
Kendati demikian dia tetap menggambarkan keindahan pemandangan dari puncak Everest sebagai "benar-benar melebihi apapun", demikian dikutip dari BBC pada Kamis (13/4/2023).
Rata-rata, pendakian dan penurunan gunung Everest bisa memakan waktu hingga dua bulan. Itu termasuk waktu sekitar 2 minggu yang dihabiskan di base camp Everest untuk beradaptasi dan menyesuaikan kondisi tubuh dengan suhu udara di sana. Kemudian, sekitar 6 minggu berikutnya akan dihabiskan untuk trekking ke puncak.
Rahman, yang mengumpulkan lebih dari £80.000 (sekitar 1.5 miliar rupiah) untuk Orphans Shelter Foundation (yayasan penampungan yatim piatu), memulai pendakiannya selama Ramadhan.
Ini berarti dia telah berpuasa selama hampir dua minggu sebelum berangkat dan terus melakukannya selama berhari-hari di awal perjalanannya.
"Itu benar-benar memperlambat saya," katanya. "Mulutku sangat kering rasanya seperti kamu bisa menyalakan korek api di dalamnya."
Proses Pendakian
Mendaki gunung Everest itu tidak mudah. Dibutuhkan latihan dan dedikasi berbulan-bulan untuk persiapan mencapai puncaknya.
Dengan ketinggian Everest yang mencapai 8,848 meters, orang biasanya menghabiskan waktu di base camp Everest dulu untuk menyesuaikan diri dengan kondisi ekstremnya (cuaca, suhu, udara).
Rahman akhirnya melewatkan beberapa hari puasa setelah sampai di base camp, karena dia sangat lelah. Dia mengatakan telah melakukan yang terbaik untuk melanjutkan puasanya.
"Jujur saja, saya merasa tidak nyaman melewatkan beberapa hari puasa, tetapi agama saya mengatakan hidup lebih berharga daripada kematian, jadi Anda harus menjaga diri sendiri terlebih dahulu," katanya.
Dari base camp, dia memulai rotasi pertamanya, mendaki sebagian gunung dan turun kembali untuk membantu mengadaptasikan kondisi tubuh. Namun saat menuju kembali ke base camp, Rahman terpeleset dan jatuh ke jurang, dan bergantung di tali pengaman sebelum akhirnya ditarik ke tempat aman oleh Sherpa (penjaga gunung yang tinggal di sana).
"Saya berada di sana selama sekitar 45 menit sambil memikirkan semua pikiran negatif dan semua hal yang orang-orang katakan untuk tidak pergi ke sini," kata dia.
Advertisement
Ketika di Puncak Everest
Tantangan yang dia hadapi - bersamaan dengan rasa rindu pada keluarganya - berpengaruh kuat padanya.
"Pada satu titik saya berpikir 'haruskah saya berhenti di sini saja?'" kata Rahman, yang memiliki tiga anak.
"Tapi saya memikirkan alasan saya di sini, semua pelatihan dan segala hal yang telah saya lakukan, selama bertahun-tahun persiapan itu telah mengarah ke sini dan ini adalah kesempatan saya."
"Ketika saya sampai di puncak, saya tidak dapat mengontrol emosi dan mulai menangis, karena akhirnya impian dan ambisi saya terwujud. Tuhan telah mewujudkan impian saya."
Pengalaman Orang Lain
Tentu saja sudah banyak yang berhasil mendaki gunung Everest ini. Salah satunya adalah Vanessa O'Brien. Pendaki perempuan asal Amerika Serikat itu berhasil mencapai puncak Gunung Everest selama lebih dari 50 hari pendakian.
Ia juga menjadi wanita pertama yang mencapai titik tertinggi dan terendah di Bumi. Ia mencapai Challenger’s Deep (10.925 meter) di dasar Palung Mariana menggunakan kapal selam pada 12 Juni 2020.
Pencapaian O'Brien bukan tanpa usaha keras. Ia harus berlatih agar bisa mencapai target yang ditetapkannya.
"Saya bekerja keras dengan pelatih kinerja, Ross Eathorne untuk berlatih menghadapi tantangan pendakian gunung di dataran tinggi," kata O'Brien, dikutip dari AsiaOne, Rabu (19/5/2021).
Sang pelatih menerapkan beberapa metode pelatihan untuk menyiapkan fisik perempuan itu. Di antaranya adalah menyeret karung pasir berat yang diikat ke tali dari atas ke bawah aula.
"Untuk membantu membangun stamina kardiovaskular dataran tinggi yang diperlukan untuk pendakian gunung, kami merancang sirkuit intensitas tinggi untuk diselesaikan saat membawa peralatan pendakian dan perlengkapan berkemah," kata Eathorne, pria berusia 52 tahun itu.
Untuk baca lebih lanjut mengenai pengalaman mendaki gunung yang dihadapinya, klik di sini.
Advertisement