Liputan6.com, Jakarta - Hari Kebangkitan Nasional atau Harkitnas di negeri ini diperingati setiap 20 Mei dan menjadi refleksi bagi seluruh elemen bangsa untuk terus meneladani perjuangan para pendiri negeri.
Di hari yang sarat makna ini, ada baiknya seluruh komponen bangsa menyadari kesalahan yang dilakukan. Pada saat yang sama berani menerima masukan agar kebangkitan secara bersama dapat benar-benar tercipta.
Sejarah Harkitnas ini sendiri diperingati untuk mengenang berdirinya organisasi Budi Utomo pada 1908.
Advertisement
Baca Juga
Sementara, mendiang KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah menyebutkan jika Harkitnas dinodai adanya ketidakjujuran. Repotnya ketidakjujuran ini dilakukan oleh pemimpin di negeri ini.
Simak Video Pilihan Ini:
Ketidakjujuran Diukur dari Komitmen Penegakan Hukum
Dilansir dari Jatim.nu.or.id, dalam sebuah kesempatan, mendiang KH Abdurrahman Wahid mengemukakan bahwa persoalan utama yang sedang dihadapi bangsa Indonesia di Harkitnas adalah ketidakjujuran. Dalam pandangan Gus Dur, ketidakjujuran dapat diukur dari komitmen penegakan hukum dan pengutamaan kepentingan umum.
“Kebangkitan nasional kita telah dinodai oleh adanya ketidakjujuran. Hukum kita masih tebang pilih. Mahkamah Agung itu tugasnya mengawasi penegakan hukum agar hukum bisa bunyi, kok malah jadi penakut,” katanya dalam dialog peringatan Hari Kebangkitan Nasional di Jakarta, beberapa waktu silam.
Demikian pula yang juga harus menjadi perhatian bersama, khususnya ini dilakukan para pemimpin bangsa yang terpilih lewat pesta demokrasi yakni memastikan kesejahteraan rakyat.
“Yang terpenting dalam kebangkitan nasional itu ya keadilan dan kesejahteraan,” ungkapnya.
Meski kebangkitan nasional Indonesia telah dirusak oleh bangsa sendiri, demikian Gus Dur, hari kebangkitan nasional tetap perlu untuk diperingati.
Menurutnya, momen kebangkitan nasional sangat perlu untuk memompa kembali semangat nasionalisme yang semakin terkikis oleh globalisasi.
Gus Dur mengingatkan, kebangkitan nasional pada masa berdirinya budi utomo, 1908, berbeda dengan kebangkitan nasional di era globalisasi.
“Dua hal yang perlu dihindari adalah fundamentalisme agama Islam dalam merespons globalisasi dan nasionalisme yang sempit,” tegasnya.
Advertisement
Kejujuran Menempati Kedudukan Istimewa dalam Ajaran Islam
Dari Nu Online, sifat jujur dan adil merupakan inti ajaran Islam. Kejujuran menempati kedudukan istimewa dalam ajaran Islam, sebab ia merupakan penopang atau penyangga jalan kebaikan bagi manusia. Menurut Imam al-Qusyairi, kejujuran menempati kedudukan setingkat di bawah kenabian, sebagaimana firman Allah SWT, "Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dan orang-orang yang menetapi kebenaran.'' (QS an-Nisa: 69).
Alquran memuji orang-orang yang jujur lebih dari 50 kali. Salah satunya yang termaktub dalam surah al-Ahzab ayat 24, "Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang-orang munafik jika dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka." Salah satu ciri kejujuran dalam ajaran Islam adalah jika batin seseorang serasi dengan perbuatan lahirnya. Umar bin Khattab pernah melarang umat Islam menilai dan melihat puasa atau shalat seseorang, tetapi hendaknya melihat kejujuran ucapan seseorang jika ia berbicara, amanahnya jika ia diberi tanggung jawab dan kemampuannya meninggalkan apa pun yang meragukan jika mendapat kenikmatan dunia.
Inti kejujuran adalah jika seseorang berkata benar dalam situasi-situasi di mana hanya dusta yang bisa menyelamatkannya. Pernyataan senada juga diutarakan Imam Thabari dengan menekankan pentingnya seseorang berkata dan berbuat jujur dalam kehidupan sehari-hari, walaupun kejujuran itu akan membunuh atau membinasakannya.
Dalam Tafsir al-Tabarani, diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari Ibnu Abbas, "Bahwa salah seorang dari golongan Ansor yang berperang bersama Rasulullah SAW kehilangan baju besi. Seorang laki-laki dari Ansor tertuduh mencuri baju besi tersebut. Pemilik baju besi itu menghadap Rasulullah dan mengatakan bahwa Tu'mah bin Ubairik yang mencuri baju besi itu dan meletakkannya di rumah seorang laki-laki Yahudi yang tidak bersalah. Kemudian, kerabat Tu'mah pergi dan menghadap Rasulullah pada suatu malam dan berkata kepada Beliau, "Sesungguhnya, saudara kami Tu'mah bersih dari tuduhan itu, sesungguhnya pencuri baju besi itu si Fulan, dan kami benar-benar mengetahui tentang itu, maka bebaskanlah sudara kami dari segala tuduhan di hadapan khalayak dan belalah dia".
Berdirilah Rasulullah membersihkan Tu'mah dari segala tuduhan dan mengumumkan hal itu di hadapan khalayak ramai. Maka, turunlah ayat 113 surat an-Nisa, "Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu. Tetapi, mereka tidak menyesatkan, melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakan sedikit pun kepadamu. Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu."
Penulis: Nugroho Purbo