Filosofi Larangan Pesta pada Bulan Suro, Berkabung Terbunuhnya Cucu Nabi dalam Tragedi Karbala

Dalam tradisi Jawa, tidak dianjurkan (lebih tepat dilarang) untuk menggelar sebuah acara besar, pesta atau walimah pada bulan Suro. Apa filosofinya?

oleh Liputan6.com diperbarui 21 Jul 2023, 14:30 WIB
Diterbitkan 21 Jul 2023, 14:30 WIB
Danau terbesar kedua di Irak mengering
Seorang pria berjalan di tanah garam dekat Danau Razzaza, juga dikenal sebagai Danau Milh, di kegubernuran Karbala, Irak, 14 Februari 2022. Danau Razzaza Irak pernah menjadi objek wisata terkenal dengan pemandangan indahnya dan banyak ikan yang menjadi andalan penduduk setempat. (AP/Hadi Mizban)

Liputan6.com, Jakarta - Tahun baru Islam 1445 Hijriyah telah tiba, seturut datangnya bulan Muharram. Tahun Baru Islam dimulai pada 1 Muharram.

Dalam kalender Jawa, Muharram disebut sebagai bulan Suro atau Sura. Penyebutan Suro itu terkait dengan peristiwa Asyura, terbunuhnya cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali RA di Karbala.

Tragedi Karbala itulah yang membuat sebagian umat Islam menganggap Muharram sebagai bulan berkabung, di luar keutamaannya sebagai salah satu dari empat bulan yang dimuliakan. Seringkali, bulan berkabung itu dinisbatkan kepada tradisi Islam Syiah, di mana mereka memperingati secara besar-besar peristiwa Karbala pada 10 Muharram.

Padahal, gugurnya Husein bin Ali bukan hanya hari berkabung untuk Syiah, melainkan umat Islam keseluruhan.

Dalam tradisi Jawa, tidak dianjurkan (lebih tepat dilarang) untuk menggelar sebuah acara besar, pesta atau walimah pada bulan Suro. Istilah lokalnya, ora ilok, dalam bahasa kekinian disebut pamali.

Bahkan, ada pandangan jika melakukan acara besar, misal hajatan penikahan atau khitan pada bulan Suro, akan mendatangkan malapetaka.

Tradisi tidak mengadakan acara pada Suro itu dianggap tak berdasar. Ada pula yang menyebutnya sebagai bid'ah, karena tidak ada tuntunannya dalam Islam.

Meski begitu, kenyataannya, larangan mengadakan pesta pada bulan Suro itu lestari hingga saat ini. Pasar-pasar sepi, dan bahkan, terjadi deflasi karena minimnya acara yang membutuhkan bahan pokok dalam jumlah besar.

Lantas, apa filosofi tidak mengadakan pesta pada bulan Suro dalam tradisi Jawa? Berikut ini adalah penjelasan Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, KH Marzuki Mustamar, yang mengungkapkan filosofi tradisi larangan menggelar pesta pada bulan Asyura.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Simak Video Pilihan Ini:


Penghormatan Terhadap Ahlul Bait

Danau terbesar kedua di Irak mengering
Nelayan berjalan di samping perahunya di tepi Danau Razzaza, juga dikenal sebagai Danau Milh, di provinsi Karbala, Irak, 14 Februari 2022. Danau Razzaza Irak pernah menjadi objek wisata terkenal dengan pemandangan indahnya dan banyak ikan yang menjadi andalan penduduk setempat (AP Photo/Hadi Mizban)

Kiai Marzuki menjelaskan, larangan itu dalam rangka menghormati keluarga Rasulullah saw yang berduka.

“Dilarangnya menggelar pesta atau acara besar pada bulan Asyura adalah bagian dari adab kita terhadap habaib. Pada bulan itu, ahlul bait termasuk para habaib sedang berduka,” terangnya, dalam tayangan YouTube NU Channel, dikutip dari nu.or.id, Jumat (21/7/2023).

Menurut dia, Suro adalah bulan prihatin bagi anak cucu Rasulullah saw. Hal ini dikarenakan cucu Nabi Muhammad saw yaitu Husain bin Ali bin Abi Thalib mengalami pembulian hingga terbunuh. Bahkan, dipenggal lehernya secara biadab di Padang Karbala.

 “Tentu para anak dan cucu-cucu Rasulullah saw termasuk para habaib jika teringat Husain dibunuh pada bulan itu akan menganggap Asyura sebagai bulan duka,” jelasnya.

Menurut Pengasuh Pesantren Sabiilul Rosyad, Gasek, Malang, Jawa Timur itu tidak pantas ketika seseorang mengaku cinta nabi tetapi pada bulan Asyura tetap mengadakan acara. “Di mana hatimu, ayo dijaga adabnya,” kata Kiai Marzuki.

Betapa kiai Jawa ingin menghormati dan menjaga hati ahlul bait dan habaib sampai-sampai membuat aturan untuk tidak mengadakan pesta atau acara besar di bulan Asyura. Karena tidak pantas umat bersenang-senang saat mereka mengingat tewasnya Husain bin Ali RA, cucu Rasulullah SAW.

 


Kearifan Lokal

KH Marzuki Mustamar, Ketua PWNU Jawa Timur. (Foto: Liputan6.com/YouTube KH Marzuqi Mustamar Channel)
KH Marzuki Mustamar, Ketua PWNU Jawa Timur. (Foto: Liputan6.com/YouTube KH Marzuqi Mustamar Channel)

Pada kesempatan yang sama, Kiai Marzuki juga mengungkapkan alasan kiai Jawa juga melarang untuk mengadakan pesta atau acara besar pada hari meninggalnya kakek atau nenek. Hal ini, kata dia, tidaklah musyrik atau bid’ah.

“Semisal di hari meninggalnya kakek pasti nenek yang masih hidup akan teringat. Maka alangkah baiknya pada hari wafat sang kakek mestinya anak-anak, menantu, dan cucu dapat berkumpul untuk membaca yasin, tahlil, dan mengirim doa” ujarnya.

“Ini dapat menyenangkan nenek dan juga membahagiakan kakek yang ada di alam kubur,” sambung kiai kelahiran Blitar, 22 September 1966, ini.

Kiai Marzuki menilai sangat tidak pantas jika hari meninggalnya kakek yang membuat nenek sedih ternyata anak cucunya justru mengadakan pesta dan acara besar.

“Supaya kita tidak menyakiti hati nenek, maka kiai Jawa membuat aturan untuk tidak mengadakan pesta atau acara besar pada waktu hari meninggalnya kakek. Itulah ajaran kiai-kiai Ahlussunnah Wal Jamaah,” jelas Kiai Marzuki.

Tim Rembulan

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya