Liputan6.com, Jakarta - Di masyarakat maupun di media sosial sering kita mendengar kisah anak perempuan yang dilarang menikah oleh ayahnya, padahal sudah menemukan calon suami yang dinilai sekufu.
Maksud sekufu dalam suatu perkawinan yaitu sepadan atau sama antara seorang suami dengan istrinya, baik dalam agamanya, kedudukannya, pendidikannya, kekayaannya, status sosial dan sebagainya.
Menanggapi hal tersbut KH Yahya Zainul Ma'arif atau Buya Yahya menyatakan orang tua atau ayahnya berdosa melarang anaknya menikah.
Advertisement
"Seorang ayah punya anak perempuan anak perempuan yang punya hajat untuk menikah, sudah ketemu laki-laki yang sekufu dengannya. Eh orang tuanya keras kepala tidak mau menikahkan," ujarnya dalam unggahan Youtube @buyayahyaofficial
Baca Juga
Simak Video Pilihan Ini:
Kenapa Larang Anak Menikah Berdosa?
"Namanya wali adl, wali yang melarang anak menikah, dosa dia tapi tetap umat Nabi Muhammad SAW," katanya.
Dosa tersebut lantaran, dengan dilarangnya hal ini memungkinkan anaknya amelakukan hal-hal haram berikutnya.
"Dosa karena apa? Karena akan membuka pintu haram bagi sang anak nanti. Dosa wali adl. Sampai dalam keadaan begini seorang perempuan boleh nikah, dinikahkan oleh seorang wali, apakah hakim atau yang lainnya," jelas Buya Yahya.
"Karena kebutuhan pribadi harus dipenuhi, enggak bisa diwakilkan siapapun," tandasnya.
Lalu bagaimana sebenarnya batasan orang tua menentukan pasangan untuk anaknya?
Advertisement
Seperti Apa Batasan Orang Tua Menentukan Pasangan Anaknya
Menukil nu.or.id, salah satu Mufti Mesir kontemporer, Syekh Ali Jumah pernah ditanya perihal batasan hak orang tua dalam menentukan pasangan anaknya. Kemudian ia menjawab bahwa hak orang tua dalam menentukan calon suami maupun istri hanya sebatas memberikan nasihat dan mengarahkan pada calon yang lebih baik saja, bukan memaksanya untuk menikah dengan calon tertentu. Dalam kitabnya disebutkan,
سَاوَى الْاِسْلَامُ بَيْنَ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ فِي حَقِّ اخْتِيَارِ كُلٍّ مِنْهُمَا لِلْأَخَرِ، وَلَمْ يَجْعَلْ لِلْوَالِدَيْنِ سُلْطَةُ الْاِجْبَارِ عَلَيْهِمَا. فَدَوْرُ الْوَالِدَيْنِ فِي تَزْوِيْجِ أَوْلَادِهِمَا يَتَمَثَّلُ فِي النُّصْحِ وَالتَّوْجِيْهِ وَالْاِرْشَادِ، وَلَكِنْ لَيْسَ لَهُمَا أَنْ يَجْبِرَا أَوْلَادَهُمَا ذُكُوْرًا أَوْ اِنَاثًا
Artinya, “Islam menyamaratakan laki-laki dan wanita dalam menentukan hak pilih keduanya pada yang lain (pasangannya-calon suaminya). Dan, (Islam) tidak memberikan otoritas pemaksaan bagi kedua orang tua atas keduanya (laki-laki dan perempuan). Oleh karenanya, hak orang tua dalam menikahkan anaknya sebatas memberi nasihat, mengarahkan, dan menunjukkan, dan tidak boleh baginya untuk memaksa anaknya (menikah dengan orang tertentu), baik laki-laki maupun perempuan.” (Syekh Ali Jumah, al-Bayan lima Yusghilu al-Azhan, [Darul Maqattham: 2009], halaman 67).
Pendapat senada juga disampaikan oleh al-Imam al-Faqih Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad ibn Muflih al-Muqdisi (wafat 763 H) dalam kitabnya menjelaskan bahwa orang tua tidak memiliki hak untuk menentukan calon suami atau calon istri yang tidak diinginkan anaknya, bahkan jika di saat yang bersamaan ia menolak ketentuan orang tuanya, maka ia tidak termasuk anak yang durhaka,
لَيْسَ لِأَحَدِ الْأَبَوَيْنِ أَنْ يُلْزِمَ الْوَلَدَ بِنِكَاحِ مَنْ لَا يُرِيدُ، وَإِنَّهُ إذَا امْتَنَعَ لَا يَكُونُ عَاقًّا
Artinya, “Tidak ada hak bagi salah satu orang tua untuk menentukan calon (suami/istri) yang tidak diinginkan anaknya. Sungguh, jika ia menolak maka ia tidak termasuk durhaka.” (Ibnu Muflih, al-Adabus Syar’iyah wa al-Minah al-Mar’iyah, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 1999 M\1419 H], juz II, halaman 55).
Awas Jangan Paksa Anaknya Menikah dengan yang Tak Dicintai
Dengan demikian, memaksa seorang anak untuk menikah dengan orang yang tidak dicintainya adalah tindakan yang tidak tepat. Sebab, pernikahan tidak boleh dibangun atas dasar paksaan dan tekanan.
Kedua calon suami dan istri memiliki hak dan kebebasan untuk menentukan calon pendamping hidupnya sendiri. Berkaitan dengan hal ini, dalam riwayat sahabat Ibnu Abbas disebutkan bahwa pada masa Rasulullah terdapat seorang gadis yang dinikahkan oleh orang tuanya dengan laki-laki yang tidak dicintai putrinya, akhirnya gadis tersebut mengadukan nasibnya kepada nabi, kemudian nabi memberikan hak kepadanya untuk memilih antara meneruskan pernikahannya atau tidak,
أَنَّ جَارِيَةً بِكْرًا أَتَتِ النَّبِىَّ فَذَكَرَتْ لَهُ أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِىَ كَارِهَةٌ، فَخَيَّرَهَا النَّبِىُّ
Artinya, “Sungguh terdapat seorang gadis datang kepada nabi, kemudian ia menceritakan bahwa ayahnya menikahkannya, sedangkan ia tidak senang (dengan pilihan ayahnya), maka nabi memberikan pilihan (antara meneruskan dan merusak pernikahan) kepadanya.” (HR Ahmad).
Dalam riwayat yang lain, Rasululah dengan tegas melarang untuk memaksa seorang anak menikah,
لَاتُنْكِحُهَا وَهِيَ كَارِهَةٌ
Artinya, “Jangan nikahkan wanita, sedangkan ia dalam keadaan terpaksa.” (HR An-Nasai).
Dengan berdasarkan dua hadits tersebut, Syekh Ali Jumah dalam kitabnya menegaskan bahwa haram hukumnya bagi kedua orang tua memaksa anakanya untuk menikah dengan orang yang tidak ia cintai.
Seorang anak memiliki hak yang bebas dalam menentukan hidupnya dengan siapa. Ia juga diperbolehkan untuk menolak paksaan orang tua tersebut,
فَالزَّوَاجُ يُعْتَبَرُ مِنْ خُصُوْصِيَاتِ الْمَرْءِ، وَاِنَّ اِجْبَارَ أَحَدِ الْوَالِدَيْنِ اِبْنَتَهُ عَلَى الزَّوَاجِ بِمَنْ لَا تُرِيْدُ مُحَرَّمٌ شَرْعًا لِأَنَّهُ ظُلْمٌ
Artinya, “Pernikahan merupakan hak husus bagi setiap orang. Oleh karenanya, pemaksaan salah satu orang tua pada anak perempuannya untuk menikah dengan orang yang tidak dia inginkan adalah diharamkan secara syariat, karena termasuk perbuatan zalim.” (Syekh Ali Jumah, 68). Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hak orang tua dalam pernikahan anaknya hanyalah sebatas mengarahkan, menasihati, dan menunjukkan saja. Ia tidak memiliki hak untuk memaksa anaknya menikah dengan orang tertentu, bahkan sebaliknya, seorang anak memiliki kebabasan untuk memilih pasangan hidupnya. Wallahu a’lam.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
Advertisement