Awas! Penyakit Hati ini Bisa Menular ke Siapa Saja, Termasuk Para Ulama

Menjaga diri dari penyakit hati juga termasuk hal yang penting bagi seorang muslim. Sebab, penyakit hati ini dapat menghampiri siapa saja bahkan alim ulama sekalipun.

oleh Putry Damayanty diperbarui 08 Okt 2024, 20:30 WIB
Diterbitkan 08 Okt 2024, 20:30 WIB
Ilustrasi sedih, kecewa, merenung, menyesal
Ilustrasi sedih, kecewa, merenung, menyesal. (Image by jcomp on Freepik)

Liputan6.com, Jakarta - Kesehatan tubuh tentunya menjadi prioritas utama dalam hidup. Namun, kebanyakan orang juga tidak menyadari bahwa ada penyakit yang justru lebih sukar untuk diobati daripada sakit fisik yaitu penyakit hati.

Jika penyakit fisik dapat didiagnosa dengan alat teknologi, berbeda halnya dengan penyakit hati yang justru lebih sulit dikenali. Maka tak heran bila ada orang yang tidak menyadari bahwa dirinya telah terjangkit penyakit hati.

Sebagaimana fitrahnya manusia memiliki hati yang suci. Namun hati itu lama-kelamaan bisa ternoda, yang akhirnya dapat menimbulkan penyakit hati.

Seperti halnya salah satu penyakit hati yang bisa terjangkit pada semua orang bahkan ulama sekali pun yaitu ujub. Ujub adalah perilaku membanggakan diri sendiri secara berlebihan.

Ujub merupakan sifat yang dilarang oleh Allah SWT. Hal ini secara tegas disebutkan dalam ayat Al-Qur'an yang artinya:

"Janganlah engkau terlalu bangga. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang membanggakan diri." (QS. Al-Qashash: 76)

 

Saksikan Video Pilihan ini:

Ciri dan Bahaya Sifat Ujub

Ilustrasi orang sombong, keras hati
Ilustrasi orang sombong, keras hati. (Image by 8photo on Freepik)

Dikutip dari laman NU Online, penyakit hati membanggakan diri sendiri ini bisa hadir pada diri setiap individu. Terlebih mereka yang memang memiliki kelebihan dibanding orang lain. Bisa itu kelebihan harta, ilmu, jabatan dan pengikut. Kelebihan inilah yang jika tidak hati-hati dikelola akan mendatangkan sikap bangga dan gampang meremehkan orang lain, termasuk para ulama, pejabat, orang hebat bisa terkena penyakit ini.

Di antara dampak penyakit membanggakan diri yang menjangkiti ulama yakni tidak mau menambah ilmu karena merasa sudah mengetahui semuanya. Padahal, menurut Abah Sujadi, sapaan karibnya, seorang ulama harus terus menambah wawasan keilmuannya dengan berbagai cara.

Karena diri merasa paling pintar dan paling hebat, maka semangat untuk terus mencari ilmu sebagai kewajiban dari lahir sampai dengan mati tidak dilakukan.

Sementara jika penyakit membanggakan diri menghampiri pejabat, maka di antara cirinya adalah senang dengan sanjungan yang diberikan orang lain. Ketika sudah senang dengan pujian, maka kritikan dan masukan bukan ditanggapi sebagai hal yang positif bahkan sebaliknya ia tidak berkenan dan menganggapnya sebagai sebuah perlawanan.

Selanjutnya jika orang hebat terdampak penyakit membanggakan diri maka ia akan memandang dirinya yang paling kuat dan orang lain kecil di hadapannya. Maka dalam hatinya akan bercokol kalimat "Siapa yang berani dengan saya?"

Cara agar Terhindar dari Sifat Ujub

Ajang untuk Mengevaluasi Diri
Ilustrasi Muslimah Credit: shutterstock.com

Membanggakan diri ini atau yang sering diidentikkan dengan istilah ujub ini merupakan penyakit yang harus dihindari oleh setiap orang. Ada 5 cara menurut Imam Al-Ghazali agar terhindar dari ujub, yaitu:

1. Bila yang disebut orang lain itu anak kecil maka sadarlah bahwa ia belum pernah bermaksiat kepada Allah, sementara dirimu yang lebih tua sebaliknya. Tak diragukan lagi, anak kecil itu lebih baik dari dirimu

2. Bila orang lain itu lebih tua, beranggapanlah bahwa ia beribadah kepada Allah lebih dulu ketimbang dirimu, sehingga tentu orang tersebut lebih baik dari dirimu

3. Bila orang lain itu berilmu, beranggapanlah bahwa ia telah menerima anugerah yang tidak engkau peroleh, menjangkau apa yang belum kau capai, mengetahui apa yang tidak engkau ketahui. Jika sudah begini, bagiamana mungkin kau sepadan dengan dirinya, apalagi lebih unggul?

4. Bila orang lain itu bodoh, beranggapanlah bahwa kalaupun bermaksiat orang bodoh berbuat atas dasar kebodohannya, sementara dirimu berbuat maksiat justru dengan bekal ilmu. Ini yang menjadi alasan atau dasar (hujjah) pada pengadilan di akhirat kelak

5. Bila orang lain itu kafir, beranggapanlah bahwa kondisi akhir hayat seseorang tidak ada yang tahu. Bisa jadi orang kafir itu di kemudian hari masuk Islam lalu meninggal dunia dengan amalan terbaik (husnul khatimah). Jika demikian, ia keluar dari dosa-dosa masa lalu sebagaimana keluarnya sehelai rambut dari adonan roti, mudah sekali. Sementara dirimu? Bisa jadi Allah sesatkan dirimu di ujung kehidupan, berubah haluan menjadi kafir, lalu menutup usiamu dengan amal terburuk (suul khâtimah).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya