CBD COP15: Peran Penting Pengakuan Masyarakat Adat untuk Wujudkan Perlindungan Keanekaragaman Hayati di Indonesia

Greenpeace Indonesia menyambut kesepakatan final Konferensi Keanekaragaman Hayati PBB ke-15 atau CBD COP15 di Montreal, Kanada, yang secara eksplisit mengakui peran penting masyarakat adat sebagai penjaga keanekaragaman hayati.

oleh Liputan6.com diperbarui 22 Des 2022, 14:48 WIB
Diterbitkan 22 Des 2022, 14:48 WIB
Spanduk di Danau Toba
Lewat aksi tersebut, aktivis menyampaikan pesan kepada para partisipan W20 Summit di Parapat, betapa pentingnya menjaga hutan dan hak-hak masyarakat adat, khususnya perempuan adat dari ancaman deforestasi dan eksploitasi lahan.

Liputan6.com, Jakarta - Greenpeace Indonesia menyambut kesepakatan final Konferensi Keanekaragaman Hayati PBB ke-15 atau CBD COP15 di Montreal, Kanada, yang secara eksplisit mengakui peran penting masyarakat adat sebagai penjaga keanekaragaman hayati. Ini mencakup pengakuan terhadap hak, wilayah, pengetahuan, serta pentingnya pelibatan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan.

“Implementasi kesepakatan ini harus memastikan bahwa hak, pengetahuan, pandangan, nilai, dan praktik hidup masyarakat adat dihormati. Setiap pengambil kebijakan mesti secara eksplisit merujuk Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP) serta prinsip-prinsip hak asasi manusia,” kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Sekar Banjaran Aji dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Kamis (22/12/2022).

Bagi Indonesia, kesepakatan CBD COP15 yang berakhir pada Senin, 19 Desember 2022 waktu Kanada ini mestinya mendorong pemerintah untuk mempercepat pengakuan terhadap masyarakat adat, termasuk wilayah mereka. Hingga Agustus 2022, sebanyak 17,7 juta hektare wilayah adat yang telah dipetakan masih belum mendapatkan pengakuan.

Adapun yang telah diakui baru 3,1 juta hektare, atau 15 persen dari total luas wilayah adat yang sudah dipetakan. Masyarakat adat yang tanahnya diakui pun masih harus berjuang secara hukum untuk menolak konsesi perusahaan demi mempertahankan hak-hak mereka.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan masih menganggap 70 persen tanah adat yang telah dipetakan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) sebagai kawasan hutan nasional, kendati putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 menyatakan sebaliknya.

Pada 2021, Persatuan Pembela Masyarakat Adat Nusantara melaporkan terdapat 13 kasus perampasan tanah terhadap masyarakat adat, yang berdampak pada 103.717 orang dan sekitar 251.000 hektare lahan. Jumlah kasus yang tak dilaporkan diperkirakan jauh lebih banyak.

Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat salah satunya diserukan oleh Orpha Yosua, perempuan muda Suku Namblong dari Lembah Grime Nawa, Jayapura, Papua. Lembah Grime Nawa merupakan kawasan yang kaya akan keanekaragaman hayati, salah satunya habitat burung Cenderawasih.

Bertemu Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Alue Dohong, di Montreal pada Minggu, 18 Desember 2022, Orpha menyampaikan perjuangan komunitasnya melawan aktivitas PT Permata Nusa Mandiri (PNM) di tanah adat mereka, termasuk pembalakan hutan secara ilegal yang diduga dilakukan perusahaan. Kepada Orpha, Wakil Menteri LHK menyatakan bakal mengecek kasus tersebut.

“Pemerintah Indonesia harus memastikan bahwa kebijakan di dalam negeri sejalan dengan target hasil COP15. Salah satunya dengan meninggalkan pola konservasi lawas dan menerapkan konservasi berbasis komunitas adat. Produk hukum yang sedang disusun, seperti Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat dan RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem juga harus sejalan dengan target global ini,” ujar Sekar.

Namun secara keseluruhan, patut disayangkan bahwa COP15 gagal mewujudkan ambisi, langkah-langkah konkret, serta pendanaan yang diperlukan untuk menghentikan kepunahan massal. Target 30x30 untuk melindungi setidaknya 30 persen daratan dan 30 persen lautan pada 2030 memang berhasil disepakati, tetapi tak setegas dan sejelas yang diharapkan.

Ketentuan yang melarang perusakan di kawasan lindung, misalnya, hilang dari teks terakhir kesepakatan CBD COP15. Hal ini berarti bahwa kegiatan skala industri yang merusak masih dapat terjadi di kawasan lindung.

Masalah lainnya ialah adanya ruang interpretasi bagi solusi palsu untuk menyelamatkan biodiversitas, seperti ketentuan tentang ‘penggunaan keanekaragaman hayati berkelanjutan’.

Sejak awal, solusi palsu seperti skema nature-based solutions dan offsets (tukar-menukar) memang mewarnai pembicaraan. Secara sederhana, skema biodiversity offsets adalah desain aktivitas untuk ‘menukar’ kerusakan keanekaragaman hayati di suatu tempat dengan melindungi biodiversitas di kawasan lain.

Pendanaan yang diputuskan sebesar US$ 20 miliar per tahun mulai 2025, kemudian US$ 30 miliar per tahun pada 2030 merupakan permulaan, tapi ini belum cukup mengingat kebutuhan pendanaan keanekaragaman hayati mencapai US$ 700 miliar.

“Tak jelas dari mana sisa uang itu akan diperoleh. Ini bukan cuma seberapa banyak, tapi juga seberapa cepat pendanaan itu bisa sampai ke negara berkembang terlebih dulu,” kata Sekar.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya