Sensasi Steak Hotel Tanpa Chef di Semarang

Sensasi menikmati steak yang dimasak bukan oleh chef, namun oleh tukang masak biasa.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 26 Jan 2015, 10:00 WIB
Diterbitkan 26 Jan 2015, 10:00 WIB
Sensasi Steak Hotel Tanpa Chef di Semarang
Sensasi menikmati steak yang dimasak bukan oleh chef, namun oleh tukang masak biasa.

Liputan6.com, Semarang- Sebuah Wrangler Anaconda Unlimited warna hitam berjalan pelan di jalan Sultan Agung Semarang, Minggu (25/1/2015) siang. Mendekati pintu masuk Akademi Kepolisian, lampu sein sebelah kiri menyala. Dan mobil mahal asal Amerika itupun membelok, memasuki halaman sebuah restoran.

Usai parkir, Tantri (9 th) wajahnya berbinar ketika mengetahui ia hendak diajak makan orang tuanya. Dengan semangat ia melangkah masuk.
 
"Pa, aku nanti pesenin Buddy's Special Steak ya. Aku mau mainan dulu sama Buddy," kata Tantri. 
 
Dan ia pun bermain di depan sebuah patung sapi dua dimensi yang bernama Buddy. Sementara kedua orang tuanya memasuki ruangan dan memesan menu.
 
Demikian gambaran satu keluarga saat berniat merasakan sensasi steak yang dimasak bukan oleh chef, namun oleh tukang masak biasa. Steak dengan fresh meat atau daging segar ini merupakan hasil olahan Holycow.
 
Menurut Dyani Darwis, Operation Manager Holycow, steak olahan Holycow memang berbeda. Mereka memilih fresh meat atau daging segar tanpa bumbu, dan baru dibumbu saat dimasak.
 
"Biasanya steak kan sebelum dimasak sudah seasoning biar meresap. Kami justru memakai daging segar dan baru seasonings saat dimasak," kata Dyani. 
 
Holycow steak hotel memiliki sejarah yang cukup menarik. Didirikan oleh Iswanda Mardio (32) bersama isterinya, Wynda Mardio. Keduanya bukan orang-orang yang akrab dengan dunia memasak secara komersial. Iswanda Mardio adalah praktisi periklanan, sedangkan Wynda Mardio seorang praktisi broadcasting.
 
Mereka mendirikan warung steak kakilima dengan tenda di kawasan Radio Dalam Jakarta. Modal nekad dan kesukaan berwisata kuliner serta pergaulan dengan para ekspatriat, menjadikan pasangan muda ini mampu mengolah steak dengan cita rasa berbeda.
 
"Saya pakai nama Holycow, sebenarnya cuma biar gampang diingat saja. Isteri saya yang mengolah bumbu dan dikirim ke semua TKP atau gerai kami," kata Iswanda Mardio.
 
Fantastik. Bisnis kaki lima yang bermula coba-coba ini tak sampai setahun akhirnya mampu membuka gerai atau mereka sebut TKP kepanjangan dari Tempat Karnivor Pesta di empat kota besar. Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya.
 
"Kami memiliki resep khusus agar steak yang dihasilkan empuk. Selain seratus persen fresh meat impor, juga menerapkan lima tingkat kematangan. Jika menggunakan daging lokal, nggak bisa membayangkan berapa lama kami harus memasak," kata Iswanda.
 
Dengan racikan bumbu yang terpusat, citarasa yang dihasilkan juga menjadi standar. Dyani Darwis menyebutkan bahwa hal ini kadang menimbulkan problema di lapangan. 
 
"Secara sosio geografis, local taste tiap daerah kan berbeda. Misalnya di Semarang cenderung lebih manis, di Surabaya lebih asin. Nah untuk mensiasati hal ini, kami menyediakan double seasoning, atau bumbu tambahan untuk mengakomodasi local taste," kata Dyani Darwis.
 
Meski memiliki citarasa standart, artinya rasa steak di empat kota tersebut sama, namun di masing-masing TKP memiliki menu khusus yang mencerminkan local taste.
 
 
"Di Semarang kami persembahkan sweet mushroom saute. Ini jelas mewakili citarasa lokal semarang," kata Dyani Darwis.
 
Sementara Liputan6.com berbincang dengan Iswanda Mardio selaku owner dan Dyani Darwis selaku operation manager, Tantri sudah selesai menyantap pesanannya. Ia kemudian menuju ke ruangan bermain anak.
 
Tjahyono, orang tua Tantri menuturkan, ia memilih makan siang di Holycow, selain karena tempat parkirnya luas, juga interior ditata berasa hommy. 
 
"Selesai makan, saya tinggal pindah ke Al Fresco jadi bisa merokok," kata Tjahjono.
 
Yang dimaksud Al Fresco adalah sebuah ruangan semi terbuka, dengan cahaya matahari bisa masuk ruangan dan bisa merokok. Namun tak seperti smoking area pada umumnya, ruangan ini lebih dingin karena dilengkapi AC. Untuk membuang asap rokok, ada exhaust.
 
Matahari mulai bergeser ke barat. Saat Liputan6.com hendak berpamitan, tertumbuk pada angka-angka di daftar menu. Ya, untuk menyantap steak empuk yang biasa terdapat di hotel atau Wagyu Steak ini, harga dipatok mulai dari Rp 65 ribu hingga tertinggi Rp 315 ribu. 
 
"Semua menyesuaikan ukurannya. Semakin berat atau besar daging yang kita pakai, semakin mahal. Saya kira range harga itu tak terlalu mahal untuk kota Semarang," kata Iswanda.
 
Tempat parkir yang luas itu selalu silih berganti dihuni mobil dan sepeda motor. Meski awalnya memilih segmentasi anak muda, ternyata Holycow Semarang justru didominasi oleh pengunjung keluarga muda. So, jika berkunjung ke Semarang tak perlu khawatir dengan makanan. Cobalah mencicipi Wagyu Steak Hotel tanpa harus menginap di hotel bintang lima, sehingga lebih irit. (Ige/Liz)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya