Liputan6.com, Jakarta Apapun bahannya, bagaimana pun bentuknya, apakah ia terbuat dari bulu, kain chiffon, atau renda, satu hal yang pasti adalah semua pengiring pengantin berpakaian sama.
Pernahkah terpikir di benak Anda dari mana tradisi ini berasal?
Baca Juga
Salah satu teori yang paling sering ditemukan di situs online adalah budaya mabuk dari Roma kuno, sebuah budaya yang sangat dihargai layaknya monogami.
Advertisement
Baca Juga
Beberapa pendapat berbeda mengatakan bahwa pada dasarnya pengiring pengantin adalah umpan untuk para roh yang jahat atau sekelompok wanita yang ditolak cintanya, sehingga tertarik kepada sebuah pesta pernikahan yang dapat membuatnya melupakan kesedihan yang dialami.
Ada juga yang berpendapat bahwa sekelompok wanita pengiring pengantin berpakaian sama untuk mengalihkan perhatian orang-orang jahat, agar sebuah pernikahan dapat berjalan dengan lancar, tanpa gangguan apapun.
Namun, Dr Liz Gloyn, selaku dosen mata kuliah Classic and Royal Holloway di University of London mengatakan kepada The Independent bahwa tidak ada hubungannya antara tradisi pernikahan republik Romawi atau imperial dengan budaya pengiring pengantin yang berpakaian sama saat ini, seperti dilansir dari independent.co.uk, Kamis (14/4/2016).
Dr. Liz menjelaskan bahwa kesalahpahaman ini tampaknya datang dari salah satu bagian tradisi pernikahan romawi yang disebut confarreatio, di mana maksudnya adalah dibutuhkan sepuluh orang saksi.
"Confarreatio memang membutuhkan sepuluh orang saksi, namun tidak ada sumber yang mengatakan bahwa mereka semua harus berpakaian yang sama. Fakta yang lebih mengejutkan adalah mereka semua seharusnya adalah kaum pria," jelas Dr. Liz.
Namun, Dr. Liz juga menambahkan bahwa seorang pengantin Romawi memang memiliki kelompok wanita yang bertugas mengantarkan ke rumah suaminya, dan mereka semua memiliki kostum tertentu untuk dikenakan.
Menurutnya, justru jilbab-lah yang seharusnya terinspirasi oleh era Romawi.
"Pengantinnya mengenakan sebuah jilbab berwarna kuning tua yang mungkin dimaksudkan sebagai pertanda baik dan menandai bahwa ia telah memasuki lingkungan sosial sebagai seseorang yang telah menikah dan diharapkan untuk menutupi kepalanya di hadapan publik," jelas Dr. Liz.
Lou Taylor, selaku Professor of Dress and Textile History di University of Brighton mengatakan bahwa gaun pengiring pengantin di negara-negara bagian barat yang identik dipengaruhi oleh Ratu Victoria pada tahun 1841.
Memasuki abad pertengahan, pernikahan dan pemakaman masih diatur oleh kerajaan dengan sangat hati-hati, termasuk jenis kain yang digunakan.
"Saat itu, Ratu Victoria memiliki 12 orang pengiring pengantin dan mereka semua memakai gaun modis offshoulder berwarna putih pada tahun 1840 dengan hiasan bunga di rambut mereka. Ke-12 orang ini adalah anak perempuan tertua dari strata tertinggi gelar bangsawan yang ada pada saat itu. Ini semakin meyakinkan saya bahwa alasan semua pengiring pengantin berpakaian sama adalah agar tidak ada ruang bagi satu sama lain untuk mencoba saling mengalahkan dengan menggunakan pakaian yang lebih mewah, apalagi mencoba mengalahkan pengantin," jelas Lou.
Lou menambahkan bahwa seragam yang dikenakan oleh kelompok pengiring pengantin juga dapat menunjukkan kekuasaan dari kerajaan tersebut dan sikap hormat kepada para tamu yang hadir.