2 Cerita Legenda Asmara Nusantara yang Berakhir Tragis di Hari Bahasa Ibu Internasional

Bak kisah cinta Romeo dan Juliet, Indonesia juga memiliki cerita legenda bertema percintaan yang tragis. Keduanya diangkat kembali lewat teater persembahan anak-anak muda untuk rayakan Hari Bahasa Ibu Internasional.

oleh Asnida Riani diperbarui 04 Mar 2019, 08:15 WIB
Diterbitkan 04 Mar 2019, 08:15 WIB
Pertunjukan Teater
Pementasan drama Jayaprana dan Layonsari oleh Oryza Lokabasa. (dok. Liputan6.com/Esther Novita Inochi)

Liputan6.com, Jakarta - Tak hanya Italia dengan Romeo dan Julietnya, Indonesia pun memiliki cerita legenda tentang percintaan yang berakhir tragis. Kisah tersebut diungkapkan dalam cerita tradisonal yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia.

Oryza Lokabasa berkesempatan menampilkan dua cerita tradisional berakhir tragis tersebut dalam pertunjukan teater. Komunitas yang memiliki minat di bidang seni, bahasa, dan budaya tersebut menyelenggarakan pertunjukan teater berbahasa daerah untuk memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional.

Pertunjukan tersebut diadakan Sabtu, 2 Maret 2019 di Gedung Sapta Pesona, Jakarta Pusat. Dari empat cerita tradisional yang mereka tampilkan, dua di antaranya merupakan kisah romansa. Cerita tersebut berasal dari Bali dan Jawa Timur.

Cerita pertama adalah Jayaprana dan Layonsari. Bagi masyarakat Bali, kisah ini merupakan simbol cinta suci, sejati, dan abadi. Cerita berasal dari kerajaan kecil di Pulau Bali yang saat itu dipimpin oleh Raja Kalianget.

Kisahnya bermula dari sosok I Nyoman Jayaprana yang hidup sebatang kara. Dilansir dari mantrahindu.com, seluruh keluarganya meninggal akibat terkena wabah yang menjangkiti Kerajaan Kalianget.

Bukan hanya Jayaprana, Raja Kalianget pun berduka karena sebagian warganya meninggal. Ia pun memutuskan untuk blusukan dan melihat kondisi warganya. Dari situlah pertemuan awal Jayaprana dan Raja Kalianget.

Jayaprana kemudian diangkat menjadi abdi di Kerajaan Kalianget. Layaknya anak sendiri, Kalianget sungguh menyayanginya. Apalagi, Jayaprana dikenal rajin, pintar, dan tekun dalam kesehariannya.

Tibalah Jayaprana menginjak umur dewasa, Raja Kalianget memintanya untuk menikah. Pilihannya adalah dayang-dayang istana, tapiJayaprana menolak. Ia lebih memilih gadis biasa.

Jayaprana kemudian berjalan-jalan ke pasar di dekat istana. Di situlah ia menemukan cinta sejatinya, seorang gadis yang cantik jelita dan merupakan anak penjual bunga. Namanya Ni Komang Layonsari.

Beruntungnya, mereka saling tertarik. Apalagi, pinangan Jayaprana terhadap pujaan hatinya diterima oleh Jero Bendesa, sang ayah. Mereka akhirnya menikah, dan Raja Kalianget mengadakan pesta yang meriah untuk abdinya yang telah ia anggap anak tersebut.

Di hari pernikahan, kedua mempelai berlutut di hadapan Sang Raja. Ternyata, Raja Kalianget juga terpesona dengan kecantikan Layonsari. Lama-kelamaan, muncullah perasaan cinta di hati Raja hingga ingin memiliki sang gadis.

Sejak saat itu, Raja selalu berusaha memisahkan kedua insan tersebut. Puncaknya, Raja berniat ingin membunuh Jayaprana.

Ketika niat jahat Raja Kalianget tersebut berhasil, Layonsari terkejut. Apalagi, ia mengetahui fakta bahwa Sang Raja yang dikenal bijaksana membunuh suaminya.

Raja Kalianget tidak berhasil memiliki Layonsari karena kesetiaannya kepada sang suami. Layonsari lebih memilih mati daripada menikah dengan sang Raja.

Pedang sang Raja yang tertancap di tubuh Jayaprana digunakan sang istri untuk menusuk dirinya. Layonsari menghembuskan nafas terakhirnya. Di surga, Jayaprana dan Layonsari kembali dipertemukan dan mereka berakhir bahagia.

 

Roro Mendut

Roro Mendut
Pementasan Roro Mendut oleh Oryza Lokabasa. (dok. Liputan6.com/Esther Novita Inochi)

Adapula cerita tentang kisah sejati dari Jawa Timur yang dipentaskan di pertunjukan ini. Kisah tersebut merupakan legenda Roro Mendut yang berasal dari Kerajaan Mataram pada abad ke-17.

Awalnya, Roro Mendut dirampas oleh panglima Kerajaan Mataram dari Kadipaten Pati. Sultan Agung, pemimpin Kerajaan Mataram saat itu memberikan hasil rampasan perang kepada Tumenggung Wiroguno. Berkat jasanya sebagai panglima perang, ia berhak mendapatkan semua hasil kekayaan termasuk gadis tersebut.

Dari semua kekayaan, Roro Mendutlah yang menarik perhatiannya. Sayangnya, Roro Mendut menolak dijadikan selir oleh panglima itu. Hatinya terpikat kepada seseorang di Kadipaten Pati bernama Pronocitro.

Wiroguno sangat terpukul menerima penolakan tersebut. Apalagi posisinya sebagai panglima perang, ia merasa harga dirinya runtuh. Ia pun memutuskan untuk memberikan hukuman kepada Roro Mendut.

Roro Mendut diharuskan membayar pajak dalam jumlah yang sangat besar. Awalnya ia bingung, tapi ketika berjalan di pasar, ia menemukan cara yang cerdik. Roro Mendut menghisap dan menjual rokok linting di sebuah warung.

Kelihaiannya dalam menjual dan membuat rokok linting membuat dagangan Roro Mendut laku. Itulah yang membuat Roro Mendut selalu berhasil membayar pajak. Apalagi, Roro Mendut selalu merekatkan lem rokok dengan lidahnya sendiri, membuat banyak pria yang mau membeli rokok di Roro Mendut.

Di Pati, Pronocitro terus mencari Roro Mendut. Hingga sampailah ia kepada Kerajaan Mataram, di mana ia melihat Roro Mendut. Pemuda tersebut memutuskan untuk membantu Roro Mendut membayar pajaknya agar ia bisa pulang ke Pati.

Mendengar kabar tersebut, Tumenggung Wiroguno sangat murka. Ia akhirnya menantang Pronocitro untuk bertarung.

Pertarungan berakhir seri, tapi kisah cinta Roro Mendut berakhir tragis. Kekasihnya tewas tertusuk oleh keris Wiroguno. Karena tak kuasa menahan sedih, Roro Mendut mengakhiri hidupnya dengan keris Wiroguno dan mati tergeletak di tubuh sang kekasih.

Sejak saat itu, kisah cinta mereka menjadi abadi. Mereka dianggap sebagai lambang kesetiaan dan keteguhan insan Nusantara kala itu. (Esther Novita Inochi)

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya