Â
Liputan6.com, Jakarta - Pesatnya perkembangan teknologi, khususnya gadget, membawa dampak positif sekaligus negatif, terutama bagi anak-anak. Kehadiran ponsel pintar, tablet, komputer hingga konsol game berhasil mengubah kebiasaan anak-anak. Selain itu, perubahan zaman juga membentuk sikap dan pribadi yang berbeda bagi anak-anak.
Baca Juga
Mengintip Ratusan Mainan Artistik Unik di Hong Kong Art Toy Story 2024 Jakarta, Buka Peluang Kolaborasi dengan Seniman Lokal
Garin Nugroho Rilis Film Bisu Berlatar Budaya Bali, Suara Gamelan dan Musik Elektronik Bakal Diputarkan Langsung Selama Ditonton
Saat 100 Perempuan Penari Bergerak Serempak Menarikan 38 Tarian Nusantara di Festival Art ChipelaGong
Jika dibandingkan antara anak zaman dulu dan anak zaman sekarang, tentulah sangat berbeda. Dahulu, mereka jarang menghabiskan waktu di depan layar, sementara saat ini bisa berjam-jam duduk anteng bermain gadget.
Advertisement
Keresahan tersebut dirasakan oleh sebuah komunitas Cerita Cinta Anak Indonesia (CCAI). CCAI merupakan komunitas sosial yang memiliki kepedulian pada anak, khususnya anak-anak kaum marjinal, berkebutuhan khusus, dan difabel.
Bertajuk ‘Senandung Anak Jaman’, CCAI kembali menggelar pentas drama musikal pada Minggu, 16 Februari 2020, di Ciputra Artpreneur, Kuningan, Jakarta Selatan. Pertunjukan itu mengisahkan tentang persahabatan dan kebersamaan dalam keragaman.
Dongeng bertema ‘gadget: friend or enemy?’ ini mengisahkan tentang keberadaan gadget yang masih dianggap negatif oleh sebagian kalangan masyarakat. Padahal, pemakaian gadget dapat seimbang dengan aspek-aspek lainnya sehingga kemungkinan besar tak akan ada dampak buruk yang terjadi.
Selain masalah gadget, pertunjukan ini mengangkat tentang isu bullying, menabung, dan cinta budaya. Pertunjukan yang berlangsung selama dua jam dibuka dengan seorang anak perempuan, Valerie, yang tak mendengar ketika dipanggil oleh bundanya karena asyik bermain ponsel sambil menggunakan headphone. Sang bunda akhirnya mendongengi putrinya dengan kisah sosok bernama Kenjiro.
Cerita berkembang dengan adegan sekelompok anak yang sedang bermain permainan tradisional. Ketika mereka kekurangan teman untuk bermain, mereka mengajak Kenjiro dan kawan-kawan untuk bergabung.
Namun, Kenjiro dan kawan-kawannya justru mencibir karena mereka tak bermain game di gadget. Akhir cerita pertunjukkan tersebut ditutup dengan cerita Kenjiro dan kawan-kawannya yang tersesat di hutan dan tak bisa menggunakan gawainya karena tak mendapat sinyal. Dalam adegan itulah, penonton bisa mengambil kesimpulan bahwa pentingnya kebersamaan.
Â
Â
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Undang Tawa
Selain itu, dongeng musikal ini bukan hanya menampilkan kondisi anak-anak saat ini yang lebih dekat dengan gadget ketimbang budaya tradisional melainkan juga menampilkan adegan permainan tradisional. Permainan seperti lompat tali, gobak sodor, engrang, gasing, bahkan ular naga berhasil membangkitkan memori masa kecil para penonton.
Dongeng musikal ini berhasil beberapa kali membuat penonton tertawa karena adegan dari setiap pemainnya. Penggunaan bahasa yang ringan dan mudah dimengerti oleh anak-anak membuat mereka tak bosan menyaksikan pertunjukkan selama dua jam.
Di beberapa adegan, para pemain juga mengajak interaksi langsung ke penonton sehingga acara terasa menyenangkan. Selain itu, kostum, aksesori, dan tata cahaya yang ada juga selaras dengan acara pertunjukan. Beberapa anak ada yang memerankan sebagai pohon, hewan, dan lainnya.
Pagelaran ini menampilkan 119 anak lebih dari berbagai sekolah di Jabodetabek. Selain itu, terdapat Denis Adhishwara, Inayah Wahid, Sogi Indra, Dhuaja Liza Harun, dan Wilson Family yang ikut memeriahkan panggung dongeng musikal Anak Sepanjang Zaman.
Uniknya, dari 1.100 kursi yang tersedia, CCAI menyediakan 600 kursi gratis untuk anak lintas iman, komunitas anak-anak kaum marjinal, berkebutuhan khusus, dan difabel. Acara ini juga didukung oleh 100 sukarelawan lintas profesi, mulai dari pekerja seni, pengusaha, pelatih vokal, penyanyi, dan lainnya. (Ulya Kaltsum)
Advertisement